Cucu...
Pikiranku menerawang.
* * *
"Apa?" Edah bagaikan menyalak begitu kakiku menyentuh lantai warungnya.
Aku marah diperlakukan seperti itu? Ah, tidak. Biasa saja.
"Mau apa? Ngutang lagi?" tanyanya menggelegar.
"Beras saja, Dah. Setengah kilo saja." Aku mendekat ke arah meja jualannya.
"Heh! Yang kemarin saja sudah sampai tigaratus tigabelas ribu! Kapan kaubayar?" tanyanya sambil memicingkan mata.
"Minggu depan Mbak Utari ngirim uang, Dah. Aku bayar semuanya. Kasihan Simbok, sakit dan belum makan nasi sedari kemarin. Aku belum dapat uang dari gaplek," jawabku masih dengan nada lembut. Nyaris menghiba.
Edah terdiam, menatapku masih dengan mata terpicing. Namun dia mulai bergerak untuk mengambilkanku setengah kilo beras, seperti yang kuminta.
Tak lama kemudian, aku pulang. Sesampainya di pagar rumah, aku mendapati pintu depan terbuka lebar. Aneh. Padahal aku tak pernah meninggalkan pintu dalam kondisi terbuka begitu. Angin akan masuk, dan itu akan membuat Simbok semakin parah sakit paru-parunya.