Mohon tunggu...
Rokhmin Dahuri Institute
Rokhmin Dahuri Institute Mohon Tunggu... Dosen - Rokhmin Dahuri

Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan – IPB; Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI); Wakil Ketua Dewan Pakar ICMI Pusat; Member of International Scientific Advisory Board of Center for Coastal and Ocean Development, University of Bremen, Germany; Honorary Ambassador of Jeju Islands Province and Busan Metropolitan City, Republic of Korea to Indonesia; dan Menteri Kelautan dan Perikanan – RI (2001 – 2004).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membangun Kompetensi dan Enterpreneurship Generasi Muda

22 Maret 2017   10:52 Diperbarui: 22 Maret 2017   19:00 1424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Tingginya pengangguran dan kemiskinan dipastikan merupakan penyebab utama dari masalah gizi buruk dan rendahnya kualitas SDM yang terus menghantui bangsa ini.  Karena, sebuah keluarga yang orang tuanya menganggur atau miskin, faktanya sangat sulit untuk bisa mencukupi kebutuhan pangan yang sehat dan bergizi bagi anggota keluarganya.  Apalagi untuk memenuhi  kebutuhan dasar manusia lainnya berupa sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan, dan transportasi.  Riskesdas (Riset Kesahatan Dasar) tahun 2016 mengungkapkan bahwa jumlah anak Indonesia (usia di bawah 15 tahun) yang menderita gizi buruk pada 2016 sebanyak 37,2% meningkat dari 35,6% pada 2010.  Lebih menyedihkan lagi, sekitar 8,8 juta anak balita mengalami stunting growth (tubuh pendek, tidak normal) akibat gizi buruk.  Jumlah anak balita bertubuh pendek di Indonesia merupakan yang terbesar kelima di dunia setelah Etiopia, Somalia, Zimbawe, dan Nigeria. Penderita gizi buruk khronis atau stunting growth, jika tidak segera ditolong, fisiknya akan lemah, mudah sakit, dan perkembangan otakanya terganggu.  Sehingga, akan melahirkan generasi yang lemah, kurang cerdas dan inovatif.  Sebuah “generasi yang hilang” (a lost generation).

Selain rendahnya kualitas sistem pendidikan, gizi buruk dan rendahnya status kesehatan mayoritas rakyat Indonesia akibat kemiskinan telah menyebabkan produktivitas dan kapasitas inovasi bangsa Indonesia berada di papan bawah diantara bangsa-bangsa di dunia.  Apabila buruknya kualitas SDM dan rendahnya kapasitas inovasi akibat pengangguran dan kemiskinan yang masif itu tidak segera diperbaiki, maka peluang kita untuk dapat mengkapitalisasi bonus demografi pada 2020 – 2040 bakal terbuang percuma. Alih-alih, Indonesia bakal terjebak terus sebagai negara berpendapatan menengah (middle-income trap), alias tidak bisa naik kelas menjadi negara yang maju, sejahtera, dan berdaulat.

Kelima, rendahnya jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) bangsa Indonesia.  Padahal, salah satu syarat suatu negara-bangsa bisa menjadi maju, makmur, dan berdaulat adalah jumlah entrepreneur (wirausahawan) nya minimal 7% dari total penduduknya (Mc. Lelland, 2007). Sampai sekarang jumlah entrepreneur di Indonesia hanya 1,6% total penduduk. Sementara di Thailand, Malaysia, dan Singapura, jumlah entrepreneur nya sudah mencapai 3%, 5%, dan7% total penduduknya masing-masing (Kementerian Koperasi dan UKM, 2016).

Keenam, infrastruktur seperti pelabuhan, bandara, jaringan jalan, jaringan listrik dan gas, jaringan irigasi, air bersih, telekomunikasi, dan konektivitas digital (internet) masih di bawah Malaysia, Brunei Darussalam, dan Thailand.  Apalagi dbandingkan dengan negara-negara maju dan kaya, seperti Singapura, Korea Selatan, Jepang, Australia, AS, Kanada, dan negara-negara Eropa Barat.

Ketujuh, iklim investasi dan kemudahaan berbisnis (ease of doing business) berupa perizinan, pembebasan lahan, ketenagakerjaan, keamanan berusaha, konsistensi kebijakan pemerintah,  dan lainnya, belum sekondusif dan seatraktif di negara-negara emerging economies lainnya.  Apalagi dibandingkan dengan negara-negara industri maju dan makmur.

Kedelapan, sistem dan mekanisme kerja politik-ekonomi dan kelembagaan belum mampu membangun masyarakat meritokrasi. Yakni sebuah sistem kehidupan berbangsa dan bernegara yang memberikan penghargaan (insentif) sosial-ekonomi atau kepercayaan memimpin kepada anak bangsa (warga negara) yang cakap (capable), kompeten, beretos kerja tinggi, dan berakhlak mulia .  Sebaliknya, memberikan disinsentif dan hukuman (punishment) bagi warga negara yang malas, jahat, preman, atau hipokrit.

IV. DINAMIKA KECENDERUNGAN GLOBAL 

Untuk menyusun Peta Jalan Pembangunan yang dapat menghantarkan Indonesia menjadi maju, adil-makmur, dan berdaulat; maka selain faktor-faktor internal, kita pun harus mempertimbangkan dinamika lingkungan strategis global. Sejak memasuki abad-21, dunia mengalami empat kecenderungan global (global trends) yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia dan maju-mundurnya suatu bangsa.  Pertama adalah fakta bahwa dunia semakin penuh sesak oleh manusia (increasingly more crowded world).  Pada tahun 1950 penduduk dunia baru 2,5 miliar orang, lalu membengkak menjadi 6,1 miliar orang pada 2000 (UN, 2002).  Kemudian, tahun lalu penduduk dunia menyentuh angka 7 miliar jiwa.  Pada 2025 diperkirakan akan mencapai 8 miliar orang, dan di akhir abad-21 akan sekitar 10 – 12 miliar orang (UN, 2011).  Jumlah penduduk dunia yang terus bertambah dan pendapatan (kualitas hidup) nya yang juga meningkat sudah barang tentu akan melipatgandakan kebutuhan manusia terhadap bahan pangan, energi, air, dan berbagai jenis SDA lain beserta segenap produk turunannya. 

Kedua adalah bahwa dunia semakin datar (flat world) (Friedman, 2010).  Seiring dengan kemajuan di bidang teknologi, khususnya teknologi informasi, komunikasi, dan transportasi, maka pergerakan atau perpindahan manusia, barang, komoditas, dan informasi dari satu lokasi (negara) ke lokasi lain di bumi semakin cepat, dan seakan tanpa sekat. Kecenderungan global kedua ini ditambah dengan rezim perdagangan bebas yang dianut oleh hampir semua negara-negara di dunia telah dan akan terus mengakselerasi serta memperluas perdagangan barang dan jasa antar negara.  Yang pada gilirannya melipatgandakan aktivitas produksi, konsumsi, dan transportasi semua komoditas, barang, dan jasa yang semuanya berasal dari SDA dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) yang dihasilkan oleh planet bumi ini.

Ketiga, bahwa pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan pendapatan masyarakat dunia telah membuat intensitas (laju) pemanfaatan SDA dan jasa-jasa lingkungan di berbagai belahan dunia terus mengalami peningkatan.  Ekosistem hutan, terutama di negara-negara industri maju, kayunya telah ditebang habis untuk kayu bakar, bahan bangunan, perabot rumah tangga (furniture),  dan keperluan lainnya.  Kawasan hutannya telah dialihfungsikan untuk lahan pertanian, kawasan industri, pemukiman, infrastruktur, dan peruntukan lainnya.  Sehingga, fungsi hidroorologis ekosistem hutan (pengendali banjir di musin penghujan dan kekeringan serta pencegah kebakaran hutan pada musim kemarau) menyusut drastis, bahkan di beberapa negara atau daerah telah hancur.  Luas hutan dan kualitas bio-ekologisnya yang terus menyusut juga telah menyebabkan fungsinya sebagai penyerap karbon (carbon sink) dan gas-gas rumah kaca lainnya terus menurun. Kerusakan serupa juga tengah melanda danau, sungai, pesisir (seperti hutan mangrove, terumbu karang, dan padang lamun), lautan, dan ekosistem alam lainnya. Akibatnya, segenap fungsi ekologis, termasuk fungsi penyerap (penetralisir) limbah dan gas-gas rumah kaca, dari ekosistem-ekosistem alam tersebut pun mengalami penurunan.

Di sisi lain, laju pembuangan limbah padat, cair, maupun gas (termasuk CO2 dan gas-gas rumah kaca lainnya) ke lingkungan alam (darat, laut, dan udara) terus membumbung tinggi. Kosekuensinya, banyak ekosistem lahan darat, perairan tawar, perairan laut, dan udara (atmosfer) yang telah mengalami pencemaran, dari tingkat ringan sampai sangat berat (heavily polluted).  Sebagaimana dimaklumi, laju emisi CO2 dan gas-gas rumah kaca (GRK) lainnya telah melampaui kapasitas absorbsi atmosfer bumi untuk menetralisirnya.  Sehingga, dalam dua dekade terakhir telah mengakibatkan perubahan iklim global (global climate change).  Kecenderungan global ketiga berupa pemanasan global (global warming) beserta segenap dampak negatipnya (peningkatan suhu bumi, permukaan laut, cuaca ekstrem, dan lainnya) dapat menurunkan daya dukung bumi (earth’s  carrying capacity) dalam menyediakan ruang kehidupan manusia maupun dalam memproduksi bahan pangan, air, energi, dan SDA lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun