Mohon tunggu...
Rokhmin Dahuri Institute
Rokhmin Dahuri Institute Mohon Tunggu... Dosen - Rokhmin Dahuri

Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan – IPB; Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI); Wakil Ketua Dewan Pakar ICMI Pusat; Member of International Scientific Advisory Board of Center for Coastal and Ocean Development, University of Bremen, Germany; Honorary Ambassador of Jeju Islands Province and Busan Metropolitan City, Republic of Korea to Indonesia; dan Menteri Kelautan dan Perikanan – RI (2001 – 2004).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membangun Kompetensi dan Enterpreneurship Generasi Muda

22 Maret 2017   10:52 Diperbarui: 22 Maret 2017   19:00 1424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Banyak faktor yang menyebabkan Indonesia masih belum menjadi negara maju dan makmur, serta tertinggal dari negara-negara tetangga dengan potensi pembangunan yang terbatas.  Pertama adalah Indonesia belum memiliki konsep (Visi, Misi, Tujuan, Target, Kebijakan, dan Program) pembangunan yang tepat dan benar serta dilaksanakan secara berkesinambungan.  Sejak era Reformasi tahun 1997/1998 setiap ganti rezim pemerintahan (Presiden, Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota) dari tingkat pusat sampai daerah, maka gantilah arah dan kebijakan pembangunannya.  Akibatnya, perkembangan dan akumulasi kemajuan pembangunan menjadi sangat lambat, ibarat membangun “istana pasir” atau selalu kembali ke kwadran-1, tidak pernah mencapai kwadran-4 (negara maju, makmur, dan berdaulat). 

Kedua, sejak awal masa Orde Baru tahun 1969/1970 sampai sekarang pertumbuhan ekonomi Indonesia terlalu dominan bertumpu pada eksploitasi SDA alam (seperti minyak dan gas, mineral dan bahan tambang, kayu hutan, CPO dan komoditas perkebunan lain, udang, ikan tuna, mutiara, dan rumput laut) dan mengekspornya dalam bentuk komoditas mentah.  Sehingga, nilai tambah (added value) dan efek pengganda (multiplier effects) ekonomi dari sejumlah komoditas tersebut bukan kita yang menikmati, tetapi bangsa lain yang mengimpor dan memproses komoditas (raw materials) tersebut menjadi ratusan produk hilir (finished products).  Kontribusi yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi (PDB = Produk Domestik Bruto)  Indonesia yang berikutnya adalah konsumsi.  Sedangkan, kontribusi investasi (seperti pembangunan industri, pertanian, kelautan dan perikanan, dan pertambangan serta energi) dan ekspor masih lebih kecil ketimbang dari impor dan konsumsi.  Padahal, salah satu syarat bagi sebuah negara-bangsa untuk menjadi maju, makmur, dan berdaulat adalah bila kontribusi investasi dan ekspor terhadap PDB lebih besar dari pada konrtibusinya sektor konsumsi dan impor.

Fenomena ini jelas menggambarkan kegagalan kita bangsa Indonesia di dalam melakukan industrialisasi.  Sebab, tanpa memperkokoh dan mengembangkan industrialsasi, suatu negara-bangsa tidak mungkin mampu menyediakan lapangan kerja bagi rakyatnya yang jumlahnya terus bertambah dari waktu ke waktu.  Tanpa industrialisasi yang sukses, suatu negara-bangsa pun tidak akan mampu menghasilkan barang dan jasa (goods and services) yang kompetitif (berdaya saing) dengan volume produksi yang mencukupi untuk memenuhi kebutuhan domestik maupun ekspor (O’Conor and Kjolllerstrom, 2008).  Tanpa industrialisasi yang berhasil, suatu negara-bangsa pun akan gagal melakukan transformasi struktur ekonomi.  Malangnya, hingga kini Indonesia belum mampu melaksanakan transformasi struktur ekonominya.  Hal ini tercermin dari masih banyaknya penduduk yang bekerja di sektor pertanian, yakni sekitar 38% total angkatan kerja.  Sementara, kontribusi sektor pertanian terhadap PDB terus mengalami penurunan, dimana pada 1980-an sekitar 60% dan tahun lalu hanya 14%.  Negara yang berhasil melakukan transfromasi struktur ekonominya, jika pangsa PDB pertanian sebesar 14% seperti sekarang di Indonesia, maka pangsa tenaga kerja pertanian maksimal 20 persen (Pakpahan, 2004).

Alih-alih meningkatkan industrialisasi, sejak era Reformasi yang terjadi justru deindustrialisasi.  Fenomena ini terkonfirmasi dari kontribusi sektor industri bagi perekonomian nasional yang pada masa Orde Baru (1990-an) pernah mencapai 30% PDB, sekarang hanya sekitar 15% PDB. 

Di negara-negara industri maju yang sukses melakukan transformasi struktur ekonominya, rakyat dengan pendapatan yang tinggi (sejahtera) bukan hanya mereka yang bekerja di sektor sekunder (manufakturing) dan tersier (jasa), tetapi juga para petani dan nelayan. Sebab, dengan jumlah (proporsi) petani dan nelayan yang semakin menurun, mereka bisa berusaha pertanian dan perikanan dengan ukuran unit usaha (bisnis) yang tetap besar atau semakin besar, sehingga memenuhi skala ekonomi. Lebih dari itu, para petani dan nelayan pun bisa menggunakan teknologi budidaya dan penangkapan ikan yang lebih modern (produktif dan efisien), tanpa merusak lingkungan atau mengancam kelestarian SDA. Mereka pun mampu mengorganisir diri dan melakukan manajemen usaha dengan baik.  Sehingga, memiliki posisi tawar yang tinggi untuk setiap saat mendapatkan sarana produksi yang berkualitas dengan harga relatif murah, dan dapat memasarkan produknya dengan harga jual sesuai nilai keekonomiannya.

Ketiga, sistem politik-ekonomi yang membuat sebagian besar rakyat Indonesia tidak bisa mendapatkan (tidak memiliki akses) sumber permodalan, lahan untuk usaha dan pemukiman, teknologi, sekolah yang berkualitas, infrastruktur, dan informasi bisnis.  Segenap aset ekonomi produktif ini hanya bisa dinikmati oleh segelintir penduduk Indonesia. Kondisi ini selain  mengakibatkan tingginya pengangguran dan kemiskinan, juga menyebabkan ketimpangan sosial (kesenjangan kelompok kaya vs miskin) yang sangat lebar.

Data BPS mengungkapkan bahwa jumlah pengangguran terbuka pada Februari 2016 sekitar 7,02 juta orang (5,5% total angkatan kerja sebanyak 127 juta orang) dan pengangguran semi-terbuka (disguished unemployment) sekitar 30 juta orang.  Banyaknya rakyat yang hidup di bawag garis kemiskinan (Rp 361.000/orang/bulan) mencapai 27,76 juta jiwa (10,7% total penduduk).  Bila kita menggunakan garis kemiskinan Bank Dunia, yakni 2 dolar AS/orang/hari (60 dolar AS/orang/bulan), maka rakyat Indonesia yang miskin sekitar 120 juta orang atau 47% total penduduk.

Yang lebih mencemaskan bahwa kesenjangan antara kelompok penduduk kaya vs miskin kian melebar.  Hal ini dapat dilihat dari rasio GINI yang pada 2004 sebesar 0,31 meningkat menjadi 0,41 pada 2014 dan 2015, lalu sedikit turun menjadi 0,397 tahun lalu. Itu pun karena perhitungannya berdasarkan pada pengeluaran individu. Bila perhitungannya atas dasar pendapatan, maka rasio GINI tahun lalu sekitar 0,46.  Menurut laporan Credit Suisse’s Global Wealth Report 2016, 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3% kue ekonomi nasional. Dalam hal kesenjangan kaya vs miskin, Indonesia merupakan negara terburuk keempat di dunia. Rusia merupakan negara terburuk, dimana 1% orang terkayanya menguasai 74,5% total kekayaan negaranya, diikuti oleh India dan Thailand dimana 1% orang terkayanya menguasai 58,4% dan 58% dari total kekayaan negaranya. 

  Kondisi kehidupan sosial-ekonomi yang sangat timpang ini terkonfirmasi dari Laporan Bank Dunia (2014), yang mengungkapkan bahwa pada 2013, 10 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 77 persen total kekayaan negara ini.  Lalu, hasil penelitian Oxfam (2017) menemukan bahwa saat ini kekayaan kolektif dari empat orang terkaya di Indonesia sekitar 25 miliar dolar AS (Rp 335 triliun) melampaui total kekayaan 40 persen penduduk termiskin, sekitar 100 juta orang. 

Selain pengangguran dan kemiskinan, ketimpangan sosial-ekonomi diyakini telah memicu semakin masif dan meluasnya perkelahian antar kelompok masyarakat, demonstrasi anarkis, radikalisme, perampokan (begal), pembunuhan, pemerkosaan (seperti yang diderita remaja Yuyun di Lebang Rejong beberapa waktu lalu), konsumsi narkoba, dan beragam penyakit sosial lainnya.  Sejumlah fakta empiris membuktikan, bahwa di negara-negara yang jurang antara kaya vs. miskin nya sangat lebar (koefisien GINI > 0,5)  seperti Tunisia, Suriah, Libya, Yaman, Mesir, dan Venezuela; ketimpangan ekonomi telah menyulut kecemburuan sosial yang membuncah, demonstrasi anarkis, dan perang saudara berkepanjangan yang berujung pada disintegrasi bangsa.

Keempat, masih rendahnya kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) Indonesia. Hal ini tercermin dari rendahnya kapasitas inovasi, produktivitas tenaga kerja, dan IPM (Indeks Pembangunan Manusia) Indonesia.  Di kawasan ASEAN, produktivitas tenaga kerja Indonesia hanya setara dengan 9.200 dolar AS/tahun.  Sementara itu, produktivitas tertinggi diraih oleh Singapura sekitar 92.000 dolar AS/tahun, diikuti oleh Malaysia (33.000 dolar AS/tahun) dan Thailand (15.400 dolar AS/tahun).  Rata-rata produktivitas tenaga kerja di  tingkat ASEAN sebesar 10.700 dolar AS/tahun.  Kapasitas inovasi bangsa Indonesia hanya berada pada peringkat-97 dari 141 negara yang disurvei.  Sebagai perbandingan, Singapura menempati peringkat-7, Malaysia ke-32, Thailand ke-55, Brunei Darussalam ke-62, Pilipina ke-83, dan Kamboja ke-83 (Cornel University, INSEAD dan Wipo, 2015).  Pada 2016 IPM Indonesia hanya menempati peringkat-110 (rendah) dari 188 negara yang disurvei (UNDP, 2016).  Saat ini 60% total angkatan kerja Indonesia hanya berpendidikan SD (Sekolah Dasar), 30% berpendidikan SLTP dan SLTA, dan hanya 10 % yang berpendidikan diploma, S1, S2, dan S3.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun