Mohon tunggu...
Rokhmin Dahuri Institute
Rokhmin Dahuri Institute Mohon Tunggu... Dosen - Rokhmin Dahuri

Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan – IPB; Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI); Wakil Ketua Dewan Pakar ICMI Pusat; Member of International Scientific Advisory Board of Center for Coastal and Ocean Development, University of Bremen, Germany; Honorary Ambassador of Jeju Islands Province and Busan Metropolitan City, Republic of Korea to Indonesia; dan Menteri Kelautan dan Perikanan – RI (2001 – 2004).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membangun Kompetensi dan Enterpreneurship Generasi Muda

22 Maret 2017   10:52 Diperbarui: 22 Maret 2017   19:00 1424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

I. PENDAHULUAN

Kita bersyukur bahwa sejak merdeka 71 tahun lalu, bangsa Indonesia secara umum mengalami perbaikan di berbagai bidang kehidupan, mulai dari infrastruktur, kesehatan, pendidikan, sampai ekonomi. Kinerja makroekonomi (pertumbuhan ekonomi dan PDB) Indonesia sejak 1970-an sampai sekarang pun lumayan bagus. Di masa Orde Baru (1970 – 1996) ekonomi Indonesia tumbuh rata-rata 7 persen/tahun, lalu turun hingga minus 9 persen pada saat krisis keuangan Asia (1997 – 1999), naik lagi menjadi rata-rata 5,5 persen/tahun pada kurun waktu 2000 – 2014, dan akibat perlambatan ekonomi global pada 2015 hanya tumbuh 4,88 persen dan tahun lalu 5,02 persen.  Besaran ekonomi (PDB) Indonesia pun cukup kinclong, yang saat ini mencapai 1,1 trilyun dolar AS atau terbesar ke-10 di dunia. Bahkan, dengan asumsi kondisi politik-ekonomi  tetap stabil atau membaik, pada 2030 PDB Indonesia diperkirakan akan mencapai 3,4 trilyun dolar AS atau terbesar ke-5 di dunia setelah China, AS, India, dan Jepang (Pricewaterhouse Cooper, 2017).

Namun, persoalannya adalah bahwa hingga kini Indonesia masih berstatus sebagai negara berkembang berpendapatan-menengah bawah dengan PDB perkapita 3.543 dolar AS (UNDP, 2016), dan kapasitas IPTEK hanya di kelas-3 (UNESCO, 2016). Padahal, suatu negara bisa dinobatkan sebagai negara maju dan makmur (berpendapatan tinggi), bila kapasitas IPTEK nya berada di kelas-1 dan PDB perkapitanya diatas 11.750 dolar AS (UNDP, 2010 dan UNESCO, 2010).  Selain itu, Indonesia juga masih menghadapi permasalahan tingginya angka pengngguran dan kemiskinan, kesenjangan antara kelompok penduduk kaya vs miskin yang sangat lebar, sangat tingginya disparitas pembangunan antar wilayah, daya saing dan IPM (Indeks Pembangunan Manusia) yang rendah. Jika kita tidak segera mengatasi segenap permasalahan ini, maka cita-cita luhur kemerdekaan kita untuk mewujudkan Indonesia yang maju, adil-makmur, dan berdaulat nampaknya masih lama.  Bahkan, bisa lebih buruk, kita akan menjadi bangsa yang gagal (a fail state) untuk naik kelas, dari negara-bangsa berkembang menjadi negara-bangsa yang maju, sejahtera, dan berdaulat. 

II. INDONESIA MEMILIKI MODAL DASAR LENGKAP UNTUK MENJADI BANGSA YANG MAJU, SEJAHTERA, DAN BERDAULAT

Fakta bahwa sampai sekarang Indonesia masih berstatus sebagai negara berkembang berpendapatan-menengah bawah (a low middle-income country) dengan sederet permasalahan diatas sungguh merupakan suatu ironi yang sangat menyesakkan dada.  Betapa tidak, negara-negara tetangga di Asia dengan potensi (modal dasar) pembangunan yang jauh lebih kecil ketimbang Indonesia, tingkat kemajuan (kapasitas) IPTEK dan tingkat kemakmuran (PDB perkapita) nya jauh melampaui kita bangsa Indonesia.  Contohnya di lingkup ASEAN, PDB perkapita Singapura sebesar 56.319 dolar AS, Brunei Darussalam (40.647 dolar AS), Malaysia (10.804 dolar AS), dan Thailand (5.445 dolar AS) (Lampiran-1).  Sementara, dua negara Asia yang tandus dan sangat miskin SDA (Sumber Daya Alam), yakni Jepang dan Korea, bahkan sudah menjadi negara-bangsa yang sangat maju dan makmur dengan kapasitas IPTEK masing-masing berada di kelas-1 dan PDB perkapita sebesar  52.000 dolar AS dan 38.000 dolar AS.

Sejatinya, Indonesia merupakan satu dari sedikit negara di dunia yang memiliki modal dasar pembangunan yang sangat lengkap dan besar untuk menjadi negara-bangsa yang maju, sejahtera, dan berdaulat.  Modal dasar pertama adalah berupa jumlah penduduk yang besar, saat ini sekitar 260 juta orang, merupakan yang terbesar keempat di dunia setelah China (1,4 milyar orang), India (1,1 milyar orang), dan Amerika Serikat (370 juta orang).  Ini tentu merupakan potensi pasar domestik dan human capital yang luar biasa besarnya.  Lebih dari itu, Indonesia juga bakal mendapatkan bonus demografi (demographic dividend) pada tahun 2020 sampai 2040 (Lembaga Demografi FEB-UI dalam Harian Kompas, 1 Maret 2017, halaman-12).   Ini artinya bahwa dalam kurun waktu 20 tahun itu, jumlah penduduk usia produktif (15 – 64 tahun) akan lebih besar daripada yang tidak produktif, yakni umur kurang dari 15 tahun dan diatas 64 tahun. 

Apabila sejak sekarang kita mampu menyiapkan generasi muda yang lebih berkualitas, memiliki kompetensi dan profesionalisme yang mumpuni, dan jiwa wirausaha (entrepreneurship) yang tinggi untuk mengisi angkatan kerja pada 2020 – 2040, maka kita patut memiliki optimisme yang tinggi, bahwa dengan ridha Allah Azza wajalla, Indonesia bisa menjadi negara-bangsa yang maju, adil-makmur, dan berdaulat pada 2040, atau paling lambat pada tahun 2045 (100 tahun Kemerdekaan RI).  Jika, kita tidak berhasil menyiapkan human capital generasi mudah yang lebih berkualitas dan memiliki produktivitas serta daya saing berkelas dunia, maka sangat boleh jadi terwujudnya cita-cita Kemerdekaan itu bakal terunda lebih lama lagi.

Modal dasar kedua adalah fakta bahwa Indonesia dikaruniai Tuhan YME dengan kekayaan alam yang besar dan beragam, baik yang terdapat di wilayah daratan maupun laut.  Sebagai negara agraris tropis dan kepulauan terbesar di dunia, Indonesia mestinya bisa berdaulat di bidang pangan, serat, farmasi, energi, bahan bangunan (konstruksi), dan sejumlah mineral esensial.  Artinya, Indonesia mestinya tidak hanya mampu memproduksi sejumlah komoditas tersebut untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri (nasional), tetapi juga bisa mengkespor sejumlah SDA tersebut, khususnya yang telah diproses menjadi produk hilir yang bernilai tambah tinggi.

Modal dasar ketiga adalah posisi geoekonomi dan geopolitik Indonesia yang sangat strategis.  Sebagaimana kita maklumi, Indonesia terletak diantara dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudera (Pasifik dan Hindia), dan di jantung sistem rantai suplai global.  Sekitar 45% dari total komoditas dan produk (barang) yang diperdagangkan di seluruh dunia dengan nilai sekitar 1.500 trilyun dolar AS per tahun diangkut dengan ribuan kapal melalui ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) (UNCTAD, 2012).  Ironisnya, yang telah mampu memanfaatkan (capitalized) posisi geoekonomi strategis ini adalah Singapura, Hongkong, China, Korea Selatan, Jepang, dan Malaysia.  Sejak 1987 sampai sekarang, sekitar 65% dari seluruh barang yang diekspor Indonesia harus melalui pelabuhan Singapura.  Setiap tahun Indonesia harus menghamburkan devisa antara 10 – 15 milyar dolar AS untuk bayar kapal-kapal asing yang mengangkut barang yang diekspor dan diimpor dari dan ke Indonesia (INSA, 2016).  Sampai saat ini, posisi strategis Indonesia di jantung sistem rantai suplai global pun sebagian besar dimanfaatkan untuk membeli (mengimpor) barang dari bangsa-bangsa lain, bukan untuk memproduksi dan menjual (mengekspor) barang-barang buatan (made in) Indonesia kepada bangsa-bangsa lain. 

Oleh karena itu, ke depan jika kita mampu membangun pelabuhan-pelabuhan internasional (international-hub ports) berkelas dunia lengkap dengan armada kapal modernnya, seperti Singapura, Tanjung Pelepas, Hongkong, dan Busan yang terintegrasi (integrated) dengan kawasan-kawasan industri yang produktif, efisien, berdaya saing tinggi, dan ramah lingkungan; maka Indonesia yang maju, makmur, dan berdaulat pada 2040 itu suatu keniscayaan.

III. PENYEBABA KETERTINGGALAN INDONESIA

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun