Selain itu, keterjangkauan transportasi umum hanya menjadi sebuah ilusi karena orientasi pembangunan yang horizontal menyebabkan pusat populasi tersebar merata dan terdapat pemisahan zonasi antara pemukiman dan area komersial. Model utopis seperti compact city, Transit Oriented Development (TOD), 15 minute cities, mixed-use development atau madzhab pengembangan kota berkelanjutan lainnya sukar diimplementasikan apabila situasi ini terus dinormalisasi.
Wabah Perumahan Berklaster di Indonesia
Fenomena urban sprawl hampir selalu terjadi di seluruh kota, khususnya di Indonesia. Seiring dengan pembangunan infrastruktur di pinggiran kota, para pengembang berbondong-bondong menjadi makelar tanah. Mereka mengakuisisi lahan milik masyarakat setempat dengan harga murah, lalu dikembangkan menjadi Kota Mandiri dengan berbagai fasilitas di dalamnya.Â
Terbentuknya pusat daerah kegiatan baru, harga properti meroket. Dengan tagline andalan; "Hari Senin, Harga Naik!", pengembang menjual rukan, pertokoan atau kavling hunian dengan cepat dan secara praktis asetnya meningkat pesat sehingga bisa melakukan ekspansi terus menerus untuk membangun klaster baru.Â
Bukan hanya lahan kosong seperti perkebunan dan pertanian yang diakusisi, kadang perkampungan milik warga setempat bisa dicaplok apabila pengembang memang memiliki ketersediaan modal yang besar.
Komunitas Berpagar: Ilusi Utopis di Kota yang Distopia
Dalam konteks geografi planologi, perumahan berklaster diklasifikasikan sebagai Gated Community atau Komunitas Berpagar. Dimana pada setiap klaster biasanya hanya memiliki satu akses keluar dan masuk dan sekelilingnya dibatasi oleh pagar untuk memisahkan satu klaster dengan yang lainnya—atau dengan lingkungan eskternal yang bukan milik pengembang. Biasanya hal ini dimaksudkan sebagai pelindung dari berbagai ancaman kejahatan dari luar.Â
Selain itu, pagar memberikan kesan ekslusif bagi penghuninya karena bukan sembarang orang yang bisa masuk. Maka tak heran, kawasan berkonsep klaster ini menjadi mimpi basah bagi masyarakat di negara berkembang untuk memiliki tempat tinggal yang tenang.
Memang, permasalahan akan hunian yang ideal dapat terakomodasi. Tetapi, sifat ekslusif dari perumahan berklaster tidak menyelesaikan permasalahan akan kebutuhan tempat tinggal secara keseluruhan.Â
Hal ini justru menimbulkan masalah baru. Tidak semua orang mampu membeli properti di sana, akses keluar masuk dibatasi. Lambat-laun segregasi terjadi antara masyarakat lokal yang menempati pemukiman organik yang sudah ada sebelumnya dengan masyarakat dalam cluster. Keduanya hidup dalam bubble-nya sendiri, terpisah oleh berlin wall yang dibangun pengembang tanpa adanya integrasi sosial.
Selanjutnya, dampak dari segregasi sosial ini adalah melemahnya hubungan dan kontak sosial masyarakat. Kecenderungan untuk bersikap individualis mulai tumbuh. Bahkan acapkali kita mendengar pengalaman masa kecil warga komplek yang tidak diizinkan membaur dengan anak perkampungan maupun sebaliknya dengan alasan proteksi pergaulan.Â