Bicara soal perkotaan, tak terlepas dari masalah tata ruang yang dihadapi. Entah itu kemacetan, minimnya aksesbilitas transportasi publik, slum area dan beragam kesemrawutan lainnya.
Kecil kemungkinan kota-kota di Indonesia terbebas dari berbagai masalah tersebut, sehingga seringkali banyak orang-orang menghindari tempat tinggal di tengah kota untuk meningkatkan kualitas hidupnya di wilayah-wilayah satelit.
Selain karena harga tanah dan properti yang masih cukup murah, daerah pinggiran seringkali diminati apabila bernilai strategis dan memiliki akses langsung ke pusat-pusat daerah kegiatan atau CBD.
Meningkatnya minat orang-orang untuk tinggal di wilayah suburban memang memberikan dampak yang signifikan bagi suatu kota. Pertumbuhan di daerah satelit secara otomatis mendistribusikan beban populasi secara merata sehingga pusat kota yang sempit tidak lagi harus mengakomodasi berbagai kegiatan manusia. Akan tetapi, fenomena ini justru melahirkan permasalahan baru yang lebih serius; tak lain adalah urban sprawl.
Perambahan Kota sebagai Sumber Masalah
Urban Sprawl dapat diartikan sebagai anomali perkembangan kota yang terjadi secara acak dan tidak terencana. Gejalanya dapat dilihat dari pola pembangunan kota meluas secara horizontal dengan densitas yang rendah dan masifnya alih fungsi lahan di wilayah pinggiran.
Contohnya bisa kita lihat wilayah Bekasi dan Tangerang yang mengalami perubahan drastis karena terkena dampak dari urban sprawl. Hal ini bisa diwajarkan karena kedua kota itu berbatasan langsung dengan Daerah Khusus Jakarta yang menjadi urat nadi perekonomian bagi wilayah di sekitarnya.
Walau demikian, dalam kasus yang lebih ekstrem wilayah yang jauh dari PDK/CBD-pun terkena impak dari fenomena ini. Sehingga, secara otomatis akan membentuk pola perkembangan kota leapfrog yang agaknya dibenci oleh mayoritas pakar planologi di dunia.
Hal ini dikarenakan laju pertumbuhan kota yang sangat cepat melampaui batas administratif di sekelilingnya, sehingga membentuk kantong-kantong lahan kosong di antara kawasan yang sudah lama terbangun dengan daerah-daerah yang baru dikembangkan. Tentu saja situasi ini merupakan anggai dari pola perkembangan yang tidak teratur dan sulit untuk dikontrol.
Seiring dengan meluasnya perkotaan, jalan-jalan menjadi lebih panjang. Area terbangun dan menyebar ke segala arah. Hal ini menyebabkan pemerintah dan otoritas kota terkait menjadi lebih sulit mengatur wilayahnya karena yuridiksi mereka membengkak hingga berkali-kali lipat. Pelayanan publik mau tidak harus mencakup area yang luas.
Selain itu, keterjangkauan transportasi umum hanya menjadi sebuah ilusi karena orientasi pembangunan yang horizontal menyebabkan pusat populasi tersebar merata dan terdapat pemisahan zonasi antara pemukiman dan area komersial. Model utopis seperti compact city, Transit Oriented Development (TOD), 15 minute cities, mixed-use development atau madzhab pengembangan kota berkelanjutan lainnya sukar diimplementasikan apabila situasi ini terus dinormalisasi.
Wabah Perumahan Berklaster di Indonesia
Fenomena urban sprawl hampir selalu terjadi di seluruh kota, khususnya di Indonesia. Seiring dengan pembangunan infrastruktur di pinggiran kota, para pengembang berbondong-bondong menjadi makelar tanah. Mereka mengakuisisi lahan milik masyarakat setempat dengan harga murah, lalu dikembangkan menjadi Kota Mandiri dengan berbagai fasilitas di dalamnya.
Terbentuknya pusat daerah kegiatan baru, harga properti meroket. Dengan tagline andalan; "Hari Senin, Harga Naik!", pengembang menjual rukan, pertokoan atau kavling hunian dengan cepat dan secara praktis asetnya meningkat pesat sehingga bisa melakukan ekspansi terus menerus untuk membangun klaster baru.
Bukan hanya lahan kosong seperti perkebunan dan pertanian yang diakusisi, kadang perkampungan milik warga setempat bisa dicaplok apabila pengembang memang memiliki ketersediaan modal yang besar.
Komunitas Berpagar: Ilusi Utopis di Kota yang Distopia
Dalam konteks geografi planologi, perumahan berklaster diklasifikasikan sebagai Gated Community atau Komunitas Berpagar. Dimana pada setiap klaster biasanya hanya memiliki satu akses keluar dan masuk dan sekelilingnya dibatasi oleh pagar untuk memisahkan satu klaster dengan yang lainnya—atau dengan lingkungan eskternal yang bukan milik pengembang. Biasanya hal ini dimaksudkan sebagai pelindung dari berbagai ancaman kejahatan dari luar.
Selain itu, pagar memberikan kesan ekslusif bagi penghuninya karena bukan sembarang orang yang bisa masuk. Maka tak heran, kawasan berkonsep klaster ini menjadi mimpi basah bagi masyarakat di negara berkembang untuk memiliki tempat tinggal yang tenang.
Memang, permasalahan akan hunian yang ideal dapat terakomodasi. Tetapi, sifat ekslusif dari perumahan berklaster tidak menyelesaikan permasalahan akan kebutuhan tempat tinggal secara keseluruhan.
Hal ini justru menimbulkan masalah baru. Tidak semua orang mampu membeli properti di sana, akses keluar masuk dibatasi. Lambat-laun segregasi terjadi antara masyarakat lokal yang menempati pemukiman organik yang sudah ada sebelumnya dengan masyarakat dalam cluster. Keduanya hidup dalam bubble-nya sendiri, terpisah oleh berlin wall yang dibangun pengembang tanpa adanya integrasi sosial.
Selanjutnya, dampak dari segregasi sosial ini adalah melemahnya hubungan dan kontak sosial masyarakat. Kecenderungan untuk bersikap individualis mulai tumbuh. Bahkan acapkali kita mendengar pengalaman masa kecil warga komplek yang tidak diizinkan membaur dengan anak perkampungan maupun sebaliknya dengan alasan proteksi pergaulan.
Fragmentasi pada kehidupan perkotaan ini menyebabkan tumbuhnya prasangka antara dua kelompok masyarakat sehingga melemahkan intensitas interaksi sosial.
Hal tersebut tentu saja berkontradiksi dengan esensi dari perkotaan yang berfungsi sebagai ruang komunal yang seharusnya bisa digunakan bersama-sama tanpa adanya batasan.
Di samping itu, adanya komunitas berpagar merupakan indikasi buruknya kualitas hidup suatu kota. Orang-orang tidak akan mencari kawasan baru yang jauh dari tempat kerjanya di kota apabila kota tersebut dikelola dengan baik dan memberikan kenyamanan bagi semua kalangan.
Singkatnya, perumahan berklaster menyasar target pasar menengah ke atas yang menginginkan kenyamanan hunian karena kota yang ditempatinya penuh dengan problematika, sekalipun harus memaksa mereka berkomuter puluhan kilometer tiap harinya untuk bekerja. Padahal, durasi komuter yang lama karena harus menempuh jarak yang jauh setiap harinya berpotensi meningkatkan tingkat stress dan tentu saja menurunkan kualitas hidup.
Pengaruh Gated Community bagi Kemacetan
Selain bicara soal dampak non-teknis dari komunitas berpagar, tentu saja ada impak lainnya yang bisa ditimbulkan. Berbagai output fenomena sosial tadi disebabkan dari input teknis yang dihasilkan seperti kesalahan manajemen lalu lintas. Karena di dalam klaster hanya terdapat perumahan yang homogen, penghuninya perlu ke luar klaster untuk menemukan minimarket atau mengakses layanan publik lainnya.
Sistem satu pintu pada komunitas berpagar memaksa penghuninya untuk bergantung kendaraan pribadi karena jarak dari hunian ke pintu klaster jauh. Maka orientasi kehidupan penghuninya menjadi car-oriented ala Amerika Serikat yang telah terjangkit penyakit perkotaan ini sejak lama.
Namun masalahnya, desain perkotaan AS memang dipersiapkan untuk mengobati penyakit tersebut, tercermin dari panjang dan kokohnya Interstate Highway warisan Eisenhower yang mereka miliki.
Walaupun masalah kemacetan itu tetap ada, solusi jangka pendek (baca: lelucon akademisi; One more lane, please. I swear!) sekalipun masih bisa bisa diterapkan untuk mengatasinya.
Lain halnya dengan AS, tidak demikian dengan Indonesia yang memiliki tata ruang yang berantakan dan jalan-jalan yang sempit. Gentrifikasi yang masif terjadi di pedesaan memaksa rural area untuk menampung kehidupan kota yang datang tanpa diundang.
Jalan perkampungan yang terbatas dan berliku harus menanggung beban lalu lintas yang melonjak berkali-kali lipat akibat banyaknya komunitas berpagar yang membangun klaster demi klaster baru. Tumbuh subur seperti jamur di musim penghujan. Maka mau tidak mau masalah perkotaan juga dirasakan oleh masyarakat desa karena urban sprawl yang gagal ditangani dengan baik.
Triple Urban Crisis: Dari Alih fungsi, Gentrifikasi, hingga Segregasi
Milenium kedua telah disebut sebagai tahap pendidihan global karena umat manusia menghadapi tiga krisis sekaligus; perubahan iklim, punahnya keanekaragamn hayati dan penumpukan limbah serta polusi. Kota dan desa sebagai aspek terdampak juga menghadapi tiga krisis; alih fungsi lahan gentrifikasi dan segregasi sosial.
Pertumbuhan populasi yang tidak terkendali menyebabkan kebutuhan akan lahan meningkat pesat. Alih fungsi lahan semakin marak, mengurangi luasan Ruang Terbuka Hijau hingga kurang dari 30% RTH seperti yang diatur pada UU No.26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Efek domino yang ditimbulkan meningkatkan indeks UHI hingga di luar batas kewajaran.
Penguasaan lahan di kota yang hanya dimiliki oleh segelintir orang dan area terbangun hanya terdiri dari bangunan berdensitas rendah menyebabkan masyarakat mencari hunian ke wilayah pinggiran.
Selain karena harga tanah yang relatif murah, mereka juga menghindari semrawutnya lingkungan di tengah kota. Para pengembang membeli lahan milik petani miskin untuk disulap menjadi pemukiman kelas atas, atau dalam konteks ini komunitas berpagar. Fenomena inilah yang dikenal sebagai gentrifikasi.
Gentrifikasi adalah perubahan sosial-ekonomi yang terjadi karena orang-orang kaya membeli properti wilayah yang kurang makmur. Situasi ini menimbulkan dampak negatif karena masyarakat asli tempat tersebut tersisihkan.
Terlebih lagi apabila pengembang membangun Gated Community di atasnya, maka segregasi sosial tercipta karena ruang hidup masyarakat saling membatasi diri satu sama lain dan berpotensi memperlihatkan kesenjangan antara kawasan pemukiman organik kawasan yang dikembangkan oleh pihak swasta.
Sel Kanker dan Ledakan Hunian Berklaster
Pertumbuhan hunian di sekitar daerah satelit yang tidak terkendali mendatangkan berbagai ”penyakit” yang telah banyak disinggung sebelumnya. Apabila dianalogikan, fenomena ini sama seperti sel kanker yang terus menerus tumbuh dan menjalar di tubuh manusia tanpa bisa dikontrol. Apabila terus dibiarkan, maka akan berbahaya bagi inangnya karena mendatangkan berbagai komplikasi lain.
Persis halnya dengan kota. Apabila terus dibiarkan, maka luasan urban sprawl-nya bisa membengkak berkali-kali lipat dan melahap wilayah rural di sekitar yang seharusnya diperuntukan bagi sektor pertanian.
Selain itu, ledakan ketersediaan hunian juga seringkali tidak diimbangi dengan permintaan yang setara di tengah membesarnya bubble harga properti yang tak kunjung pecah. Tak jarang banyak perumahan yang dikembangkan pengembang kosong tanpa adanya penghuni akibat ketidakseimbangan supply dan demand pasar.
Oleh karena itu, sewajarnya pemerintah bisa memperketat regulasi tata ruang dan agraria agar bencana urban sprawl ini bisa diatasi. Penerapan UGB (Urban Growth Boundary) seperti yang diterapkan di banyak kota di dunia berhasil menahan laju penyebaran perkotaan hingga di bawah 20%. Aturan ini perlu diimplementasikan untuk memastikan lahan pertanian dan greenbelt di pedesaan bisa dipertahankan untuk menekan indeks UHI dan ketahanan pangan.
Keterlibatan pihak swasta dalam hal hunian juga perlu dibatasi dan sudah sewajarnya tanggung-jawab ini diberikan pada pemerintah melalui Kementerian Perumahan Rakyat yang baru saja dibentuk. Belajar dari Singapura, program House Development Board (HDB) ala Lee Kuan Yew sangat layak untuk ditiru sebagai Langkah untuk mengakomodasi kebutuhan tempat tinggal masyarakat secara adil dan merata.
Sebagai poin terakhir, perumahan berklaster pada umumnya sulit dijangkau trasnportasi publik karena densitasnya yang rendah dan mencakup area yang luas dan penyebaran populasi yang merata secara horizontal.
Jadi, pemusatan populasi di tengah kota juga menjadi fokus utama agar pembangunan berkelanjutan berbasis transit oriented development bisa diwujudkan dengan baik.
Dengan itu semua, alih fungsi lahan terkendali, gentrifkasi tidak terjadi lagi dan segregasi sosial hilang dari bumi pertiwi. Kota akan benar-benar memanusiakan manusia sebagai ruang hidup yang inklusif dan nyaman bagi masyarakatnya
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI