Memang, permasalahan akan hunian yang ideal dapat terakomodasi. Tetapi, sifat ekslusif dari perumahan berklaster tidak menyelesaikan permasalahan akan kebutuhan tempat tinggal secara keseluruhan. Hal ini justru menimbulkan masalah baru. Tidak semua orang mampu membeli properti di sana, akses keluar masuk dibatasi. Lambat-laun segregasi terjadi antara masyarakat lokal yang menempati pemukiman organik yang sudah ada sebelumnya dengan masyarakat dalam cluster. Keduanya hidup dalam bubble-nya sendiri, terpisah oleh berlin wall yang dibangun pengembang tanpa adanya integrasi sosial.
Selanjutnya, dampak dari segregasi sosial ini adalah melemahnya hubungan dan kontak sosial masyarakat. Kecenderungan untuk bersikap individualis mulai tumbuh. Bahkan acapkali kita mendengar pengalaman masa kecil warga komplek yang tidak diizinkan membaur dengan anak perkampungan maupun sebaliknya dengan alasan proteksi pergaulan. Fragmentasi pada kehidupan perkotaan ini menyebabkan tumbuhnya prasangka antara dua kelompok masyarakat sehingga melemahkan intensitas interaksi sosial. Hal tersebut tentu saja berkontradiksi dengan esensi dari perkotaan yang berfungsi sebagai ruang komunal yang seharusnya bisa digunakan bersama-sama tanpa adanya batasan.
Di samping itu, adanya komunitas berpagar merupakan indikasi buruknya kualitas hidup suatu kota. Orang-orang tidak akan mencari kawasan baru yang jauh dari tempat kerjanya di kota apabila kota tersebut dikelola dengan baik dan memberikan kenyamanan bagi semua kalangan.Â
Singkatnya, perumahan berklaster menyasar target pasar menengah ke atas yang menginginkan kenyamanan hunian karena kota yang ditempatinya penuh dengan problematika, sekalipun harus memaksa mereka berkomuter puluhan kilometer tiap harinya untuk bekerja. Padahal, durasi komuter yang lama karena harus menempuh jarak yang jauh setiap harinya berpotensi meningkatkan tingkat stress dan tentu saja menurunkan kualitas hidup.
Pengaruh Gated Community bagi Kemacetan
Selain bicara soal dampak non-teknis dari komunitas berpagar, tentu saja ada impak lainnya yang bisa ditimbulkan. Berbagai output fenomena sosial tadi disebabkan dari input teknis yang dihasilkan seperti kesalahan manajemen lalu lintas. Karena di dalam klaster hanya terdapat perumahan yang homogen, penghuninya perlu ke luar klaster untuk menemukan minimarket atau mengakses layanan publik lainnya.
Sistem satu pintu pada komunitas berpagar memaksa penghuninya untuk bergantung kendaraan pribadi karena jarak dari hunian ke pintu klaster jauh. Maka orientasi kehidupan penghuninya menjadi car-oriented ala Amerika Serikat yang telah terjangkit penyakit perkotaan ini sejak lama. Namun masalahnya, desain perkotaan AS memang dipersiapkan untuk mengobati penyakit tersebut, tercermin dari panjang dan kokohnya Interstate Highway warisan Eisenhower yang mereka miliki. Walaupun masalah kemacetan itu tetap ada, solusi jangka pendek (baca: lelucon akademisi; One more lane, please. I swear!) sekalipun masih bisa bisa diterapkan untuk mengatasinya.
Lain halnya dengan AS, tidak demikian dengan Indonesia yang memiliki tata ruang yang berantakan dan jalan-jalan yang sempit. Gentrifikasi yang masif terjadi di pedesaan memaksa rural area untuk menampung kehidupan kota yang datang tanpa diundang. Jalan perkampungan yang terbatas dan berliku harus menanggung beban lalu lintas yang melonjak berkali-kali lipat akibat banyaknya komunitas berpagar yang membangun klaster demi klaster baru. Tumbuh subur seperti jamur di musim penghujan. Maka mau tidak mau masalah perkotaan juga dirasakan oleh masyarakat desa karena urban sprawl yang gagal ditangani dengan baik.
Triple Urban Crisis : Dari Alih fungsi, Gentrifikasi, hingga Segregasi
Milenium kedua telah disebut sebagai tahap pendidihan global karena umat manusia menghadapi tiga krisis sekaligus; perubahan iklim, punahnya keanekaragamn hayati dan penumpukan limbah serta polusi. Kota dan desa sebagai aspek terdampak juga menghadapi tiga krisis; alih fungsi lahan gentrifikasi dan segregasi sosial.