Pertumbuhan populasi yang tidak terkendali menyebabkan kebutuhan akan lahan meningkat pesat. Alih fungsi lahan semakin marak, mengurangi luasan Ruang Terbuka Hijau hingga kurang dari 30% RTH seperti yang diatur pada UU No.26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Efek domino yang ditimbulkan meningkatkan indeks UHI hingga di luar batas kewajaran.
Penguasaan lahan di kota yang hanya dimiliki oleh segelintir orang dan area terbangun hanya terdiri dari bangunan berdensitas rendah menyebabkan masyarakat mencari hunian ke wilayah pinggiran. Selain karena harga tanah yang relatif murah, mereka juga menghindari semrawutnya lingkungan di tengah kota. Para pengembang membeli lahan milik petani miskin untuk disulap menjadi pemukiman kelas atas, atau dalam konteks ini komunitas berpagar. Fenomena inilah yang dikenal sebagai gentrifikasi.
Gentrifikasi adalah perubahan sosial-ekonomi yang terjadi karena orang-orang kaya membeli properti wilayah yang kurang makmur. Situasi ini menimbulkan dampak negatif karena masyarakat asli tempat tersebut tersisihkan. Terlebih lagi apabila pengembang membangun Gated Community di atasnya, maka segregasi sosial tercipta karena ruang hidup masyarakat saling membatasi diri satu sama lain dan berpotensi memperlihatkan kesenjangan antara kawasan pemukiman organik kawasan yang dikembangkan oleh pihak swasta.
Sel Kanker dan Ledakan Hunian Berklaster
Pertumbuhan hunian di sekitar daerah satelit yang tidak terkendali mendatangkan berbagai ”penyakit” yang telah banyak disinggung sebelumnya. Apabila dianalogikan, fenomena ini sama seperti sel kanker yang terus menerus tumbuh dan menjalar di tubuh manusia tanpa bisa dikontrol. Apabila terus dibiarkan, maka akan berbahaya bagi inangnya karena mendatangkan berbagai komplikasi lain.
Persis halnya dengan kota. Apabila terus dibiarkan, maka luasan urban sprawl-nya bisa membengkak berkali-kali lipat dan melahap wilayah rural di sekitar yang seharusnya diperuntukan bagi sektor pertanian. Selain itu, ledakan ketersediaan hunian juga seringkali tidak diimbangi dengan permintaan yang setara di tengah membesarnya bubble harga properti yang tak kunjung pecah. Tak jarang banyak perumahan yang dikembangkan pengembang kosong tanpa adanya penghuni akibat ketidakseimbangan supply dan demand pasar.
Oleh karena itu, sewajarnya pemerintah bisa memperketat regulasi tata ruang dan agraria agar bencana urban sprawl ini bisa diatasi. Penerapan UGB (Urban Growth Boundary) seperti yang diterapkan di banyak kota di dunia berhasil menahan laju penyebaran perkotaan hingga di bawah 20%. Aturan ini perlu diimplementasikan untuk memastikan lahan pertanian dan greenbelt di pedesaan bisa dipertahankan untuk menekan indeks UHI dan ketahanan pangan.
Keterlibatan pihak swasta dalam hal hunian juga perlu dibatasi dan sudah sewajarnya tanggung-jawab ini diberikan pada pemerintah melalui Kementerian Perumahan Rakyat yang baru saja dibentuk. Belajar dari Singapura, program House Development Board (HDB) ala Lee Kuan Yew sangat layak untuk ditiru sebagai Langkah untuk mengakomodasi kebutuhan tempat tinggal masyarakat secara adil dan merata.
Sebagai poin terakhir, perumahan berklaster pada umumnya sulit dijangkau trasnportasi publik karena densitasnya yang rendah dan mencakup area yang luas dan penyebaran populasi yang merata secara horizontal. Jadi, pemusatan populasi di tengah kota juga menjadi fokus utama agar pembanguna berkelanjutan berbasis transit oriented development bisa diwujudkan dengan baik. Dengan itu semua, alih fungsi lahan terkendali, gentrifkasi tidak terjadi lagi dan segregasi sosial hilang dari bumi pertiwi. Kota akan benar-benar memanusiakan manusia sebagai ruang hidup yang inklusif dan nyaman bagi masyarakatnya