Hak Erpacht dan Hak Eigendom
Hak Erfpacht. Aspek penting dalam UU Agraria 1870 adalah adanya Hak Erfpacht. Hak Erfpacht diatur dalam Undang-Undang Perdata Pasal 720 dan selanjutnya. Menurut pengertian pasal-pasal itu, hak Erfpach adalah hak untuk menggunakan tanah kepunyaan orang lain, dengan kekuasaan sepenuhnya; hanya ada kewajiban tiap-tiap tahun membayar uang "pacht" kepada pemilik tanah sebagai tanda pengakuan hak miliknya. Menurut pasal 721 Undang-Undang Perdata orang yang punya hak Erfpacht (erfpachter) boleh menggunakan tanah itu seakan-akan ia adalah pemiliknya sendiri; hanya dengan syarat bahwa nilai tanah tidak boleh berkurang karena pemakaian itu. Hak erfpacht itu turun-temurun selama waktu-hak belum habis, artinya waktu yang ditentukan dalam perjanjian erfpacht belum bereakhir. Hak erfpacht bisa juga dikatakan emacam hak guna usaha untuk menyewa tanah tak bertuan yang sudah menjadi milik negara dengan masa sewa maksimal 75 tahun. Sesuai dengan kewenangan yang sudah diberikan oleh hak kepemilikian. Juga dapat diwariskan dan menjadi agunan. Satuan pengukurannya menggunakan istilah bahu. Untuk bahu sendiri berubah-ubah. Tapi jika dikonversikan dengan pengukuran masa kini, satu bahu rata-rata seluas 0.7 hingga 0.74 hektar. Sedangkan pembayarannya menggunakan istilah florint. Hak Erfpacht ada tiga jenis yaitu:
- Hak untuk aktivitas pertanian dan perkebunan berlahan besar. Maksimal lima ratus bahu dengan harga sewa maksimal lima florint tiap bahunya.
- Hak untuk aktivitas pertanian dan perkebunan berlahan kecil, Ini cocok untuk orang Eropa berekonomi sedang atau perkumpulan sosial di Hindia Belanda. Maksimal 25 bahu dengan harga sewa satu florint tiap bahunya. Kemudian tahun 1908, dari 25 diperluas menjadi maksimum 500 bahu.
- Hak untuk rumah dan pekarangannya maksimal boleh menyewa lima puluh bahu.
Hak Eigendom. Hak eigendom adalah hak terkuat yang dapat diperoleh atas benda, juga atas tanah. Ketentuan tentang hak eigendom terdapat di pasal 570 Undang-Undang Perdata (Burg.Wetb.) dan pasal-pasal selanjutnya. Hak eigendom pada umumnya hanya dibatasi oleh ketentuan bahwa orang tidak boleh menggunakan haknya itu sampai mengganggu hak orang lain; dan orang harus selalu mengindahkan peraturan-peraturan pemerintah. Untuk kepentingan umum hak eigendom dapat dicabut oleh negara dengan pemberian kerugian yang layak.
Dampak Undang-Undang Agraria 1870
Periode 1870-1900 merupakan masa perekonomian di Hindia-Belanda menggunakan sistem ekonomi Liberal atau sistem politik terbuka, sistem ini bertujuan untuk membebaskan kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh pihak swasta. Kegiatan tersebut meliputi melakukan modal dan memperdayakan perekonomian di wilayah Hindia Belanda, terutama pada sektor industri dan perkebunan di pulau Jawa dan luar sekitaranya. Dengan diperlakukanya undang-undang Agraria pada tahun 1870, di mulailah pembukaan perkebunan dengan skala yang besar. Sistem politik ini juga melindungi hak kepemilkikan tanah terhadap orang asing, dengan sistem poltik ini orang asing bebas untuk menyewa tanah dari rakyat pribumi untuk digunakan sebagai perkebunan. Maka UU Agraria 1870 dan sistem politik terbuka membuka peluang perkembangan ekonomi di Hindia-Belanda. Pemberian izin UU Agraria banyak pengusahan swasta yang menanamkan modal pada perkebunan di wilayah koloni Hindia-Belanda, dengan itu devisa negara Belanda mengalami peningkatan dari kegiatan ekonomi di Hindia Belanda. Dampak ekonomi liberal juga dirasakan oleh petani dengan keluarnya kebijakan Agrarische Besluit di tahun yang sama, perkebunan milik swasata pulau Jawa dan sumatra mengalami perkembangan yang pesat.
Undang Undang Agraria ini pada pokoknya berisi antara lain persyaratan sewa tanah dengan pesyaratan tertentu, yaitu: tanah milik pribumi yang dapat disewa selama 5 tahun, tanah yang dapat disewa selama 30 tahun dan semua kontrak harus didaftarkan. Selain itu tanah pemerintah dapat disewa untuk jangka waktu 75 tahun yang biasa disebut hak erpacht. Dampak diizinkannya hak erpacht ini menimbulkan perkebunan besar, seperti perkebunan gula, teh, tembakau dan tanaman dagang lainnya. Perkembangan pesat pembukaan lahan perkebunan terjadi antara tahun 1870 dan tahun 1885 karena Terusan Suez dibuka pada tahun 1869, yang berjasa untuk mengurangi jarak antara negara penghasil tanaman dagang dan negara pasaran di Eropa Barat. Di samping itu, karena adanya permintaan yang meningkat terhadap bahan mentah dan bahan makanan dari Eropa dan Amerika serta mengalirnya modal asing ke Hindia Belanda. Akibat dari perkembangan perdagangan dan munculnya perusahaan swasta, memaksa pemerintah kolonial untuk membagi karesidenan menjadi beberapa afdeling yang dikepalai oleh asisten residen. Perusahaan-perusahaan baru yang didirikan di Hindia Belanda pada masa liberal mengalami perkembangan sehingga perusahaan ini lebih banyak membutuhkan personil yang didatangkan dari luar negeri sebagai tenaga ahli. Oleh karena itu, jumlah masyarakat Eropa di Hindia Belanda makin besar sehingga mereka menuntut kenyamanan seperti negeri asal, seperti kondisi yang lebih baik bagi sekolah-sekolah, perumahan dan pelayanan kesehatan. Keadaan ini menjadikan munculnya pemukiman-pemukiman khusus orang Belanda di Hindia Belanda.
Berbeda halnya dengan pengusaha-pengusaha swasta asing yang diuntungkan besar pada masa liberalisme, sebaliknya perkembangan industri perkebunan di Jawa tidak memiliki sama sekali dampak terhadap peningkatan ekonomi Bumiputera. Sebaliknya, kondisi tersebut memperparah kemiskinan di pulau Jawa dan umumnya di kawasan Hindia Belanda, jumlah penduduk dari tahun ke tahun yang semakin meningkat namun tidak diimbangi dengan sumber bahan pangan yang ada, menyebabkan terjadinya kelaparan di mana-mana. Penyebabnya, dikarenakan tanah subur milik petani telah disewakan kepada pihak swasta, sehingga menyisakan lahan tandus yang sulit untuk digarap dan ditanami tanaman pangan seperti padi. Pembebasan dari culturstelsel yang mengharuskan petani menanam tanaman komoditi ekspor pada tahun 1870 hanyalah sebatas fatamorgana, mengingat petani pada saat itu masih diwajibkan untuk tetap membayar pajak kepada pemerintah namun lahan yang digunakan sebagai sumber penghasilan telah dirampas dengan adanya sistem sewa tanah. Penderitaan itu sangat besar dirasakan khususnya pada daerah-daerah yang menanam komoditas kopi dimana tanahnya tidak dapat lagi digunakan untuk menanam tanaman yang lain. Sehingga dapat dikatakan antara pemerintah Belanda dan masyarakat ini seperti simbiosis parasitisme. Seperti yang dicontohkan oleh Rizki Maulana Hakim tentang perkebunan industri gula di Jawa. Relasi yang timbul antara pemilik perusahaan dengan para pekerjanya adalah relasi-relasi perbudakan. Relasi perbudakan dalam artian dipahami bahwa buruh-buruh yang bekerja di sana di eksploitasi secara habis-habisan baik dalam skala waktu maupun skala tenaga. Ada yang tidak dibayar, ada yang bayarannya tidak sesuai. Jadi, pengerahan tenaga kerjanya sangat penetratif dari kekuasaan untuk bekerja di situ. Sehingga itu dapat dikatakan sebagai bentuk perbudakan negara dalam sektor perkebunan industri gula pada waktu pemerintahan Belanda.
Keadaan ini semakin diperparah dengan terjadinya krisis global pada tahun 1885 yang menyebabkan banyak pabrik-pabrik dan perkebunan menurunkan upah pekerja dan uang sewa tanah Bumiputera. Kondisi ini terus terjadi hingga akhir abad ke-XIX dengan melihat turunnya angka berbagai impor barang kebutuhan berupa tekstil maupun konsumsi. Kemiskinan penduduk Jawa pada masa ini umumnya disebabkan oleh beberapa hal seperti, kurangnya modal penduduk Jawa yang tidak dapat diimbangi dengan jumlah penduduk yang besar tingkat pendidikan yang rendah sehingga dimanfaatkan oleh pemilik modal sebagai buru harian dengan tarif yang murah, dan adanya sistem verscoot (uang muka).
Di dalam masyarakat agraria khususnya di Jawa, dalam sistem kepemilikan tanah dibagi berdasarkan status sosial. Kelas status inilah yang selalu menjadi sasaran kebengisan atau kekerasan oleh kelas yang berada di atasnya dan yang berkuasa. Masyarakat agraris menggunakan tanah sebagai aset produksi untuk menghasilkan hasil pertanian, baik tanaman pangan maupun tanaman perdagangan. Sepanjang abad ke-19 hingga awal abad ke-20 terdapat peristiwa historis dalam masyarakat petani di Indonesia. Ada beberapa perlawanan petani yang berskala besar dan terorganisir, diantaranya Gerakan Cikandi Udik (1845), Ciomas (1886), Ciampea (1892). Pada masa kolonial dikenal sebutan tanah partikelir. tanah-tanah partikelir dimulai oleh praktik penjualan tanah kepada swasta pada masa VOC (1602-1799). Kebijakan tersebut terus berlangsung hingga pemerintahan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1808-1811) dan Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles (1811-1816). Kemudian, berlanjut hingga tahun 1820-an. Keberadaan tanah partikelir memiliki sejarah panjang. Namun, titik tolak perkembangan tanah partikelir bermula ketika tahun 1870 diterapkan "politik pintu terbuka" (open door policy) di Hindia Belanda. Para pengusaha swasta asing memiliki peluang yang lebih besar untuk menanamkan modalnya di bidang perkebunan. Dasar hukum dari sistem liberal ini adalah Undang-Undang De Waal, yaitu Undang-Undang Agraria dan Undang-Undang Gula. Undang-Undang Agraria (de Agrarische Wet) diatur dalam Staatsblad No. 71 tanggal 9 April 1870.
Pada awalnya, penyerahan tanah partikelir hanya dilakukan untuk kepentingan politik. Namun, VOC sering memberikan tanah kepada orang yang bertanggung jawab menjaga keamanan Batavia untuk mencari dukungan dari beberapa pihak. Selain itu, banyak tanah dijual selama pemerintahan Daendels dan Raffles untuk membantu pemerintah Hindia yang sedang bangkrut menjadi lebih efisien.
Karena pemerintah tidak konsisten dalam mengelola tanah partikelir, tindakan tuan tanah yang sewenang-wenang terus terjadi, menimbulkan kegelisahan petani. Para petani bertanggung jawab untuk membayar pajak. Orang yang mengolah tanah juga harus bekerja rodi selama lima hari sebulan. Kelompok petani di bagian utara lereng Gunung Salak melakukan pemberontakan pada tahun 1886. Gerakan ini dikenal sebagai Gerakan Pemberontakan Petani Ciomas. Peristiwa ini menunjukkan konflik antara petani dan pemilik tanah serta pemerintah. Para petani di daerah Ciomas, seperti petani di tanah partikelir lainnya, menghadapi kondisi sosial ekonomi yang buruk karena mereka dieksploitasi oleh tuan tanah, pengawas, dan petugas tuan tanah lainnya yang menuntut banyak tenaga kerja dan pemenuhan pajak yang tinggi.