Mohon tunggu...
Rayyan Yasser
Rayyan Yasser Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sejarah - Manusia Biasa-Biasa Saja

Sedikit berbagi tulisan atau cerita yang semoga saja bisa memberikan manfaat bagi orang banyak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Agrarische Wet 1870 (Undang-Undang Agraria 1870) - Pemerintah Kolonial Hindia Belanda

16 Oktober 2024   10:55 Diperbarui: 16 Oktober 2024   11:25 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Agrarische Wet 1870 atau Undang-Undang Agraria 1870 yang menjadi sendi politik pemerintah kolonial Hindia-Belanda lahir sebagai hasil dari perdebatan di tubuh Parlemen Belanda yang hakekatnya merupakan hasil pertentangan antara golongan Liberal dan Konservatif. Sistem tanam paksa atau Cultuurstelsel yang telah melahirkan, kesengsaraan bagi rakyat, merupakan cikal bakal lahirnya Undang-Undang Agraria 1870. Dimana sistem ini digunakan Pemerintah Belanda karena telah mengalami kekosangan kas negara akibat membengkaknya biaya perang, oleh karenanya sebuah system yang mengekploitasi tanah jajahan yang dikenal sebagai Cultuurstelsel yang di terapkan pada 1830, selama 40 tahun tanam paksa ini diterapkan di Indonesia. Dari pelaksaan tanam paksa ini bisa dikatakan berhasil karena dapat memenuhi kas negeri Belanda yang awalnya kosong menjadi terisi penuh.

Namun kemudian kebahagiaan yang dirasakan oleh Belanda berbanding terbalik dengan apa yang dirasakan oleh rakyat di Hindia-Belanda, pelaksaan tanam paksa dipenuhi dengan berbagai penyimpangan yang tentu menimbulkan penderitaan bagi rakyat. Kondisi ini memunculkan kritik keras serta tuntutan dari kalangan liberal di negeri Belanda agar sistem tanam paksa segera dihapuskan. Gerakan ini baru berhasil pada tahun 1869, setelah sebagian besar sistem ini dihapuskan. Sebagai perwujudan kemenangan kaum liberal, pemerintah Belanda mengeluarkan Undang-Undang Agraria 1870.

Selain mengembangkan politik kolonial di bidang agraria, dikembangkan pula oleh Pemerintah Hindia asas domein dalam hukum pertanahan. Asas ini menyatakan bahwa semua tanah yang oleh pihak lain tidak dapat dibuktikan eigendom-nya maka tanah tersebut adalah tanah negara. Menurut Rizki Maulana Hakim seorang peneliti dari Agrarian Resource Center (ARC), pada prinsipnya kalau pada zaman kolonial, tanah-tanah yang ada di Hindia Belanda dimiliki oleh raja Belanda pada waktu itu, dan orang yang menggunakan tanah itu harus mempunyai izin jikalau mau memiliki tanah, izin tersebut berbentuk surat, domein verklaring harus ada suratnya, jadi secara mutlak tanah adalah milik raja, tanah adalah milik negara, dan kemudian negara memiliki kewenangan untuk mengatur kepada siapa dia mau memberikan tanah-tanahnya dengan domein verklaring.

Untuk mempertahankan landasan dasar berlakunya hukum agraria kolonial sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 IS maka dikeluarkan aturan pelaksananya yaitu Agrarische Besluit (AB). Azas umum tersebut kemudian dikenal sebagai "Domein Varklering" dengan Pasal 1 AB berbunyi: "dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan di dalam ayat 2 dan ayat 3 AW, maka dipertahankan azas bahwa semua tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan bahwa tanah itu eigendomnya (miliknya), adalah domein negara/ milik negara".

Domein verklaring berfungsi sebagai landasan hukum bagi pemerintah yang mewakili Negara sebagai pemilik tanah. Menurut pandangan Negara dalam konteks domein verklaring tersebut, pemberian tanah dengan hak eigendom dilakukan dengan cara pemindahan hak milik Negara kepada penerima tanah karena Negara di sini bukan bertindak sebagai penguasa melainkan sebagai pemilik perdata atas tanah. Pandangan ini mengacu pada KUUH Perdata pasal 519 dan 520 menyatakan bahwa setiap bidang tanah selalu ada pemiliknya. Bila tidak dimiliki oleh perorangan atau badan hukum maka Negaralah pemiliknya. Demikian juga dengan ketentuan permohonan hak eigendom, bila mengacu pada konsep di atas Negara tidak memberikan hak eigendom kepada pemohon (individu/rakyat), tetapi hak eigendom Negara "dipindahkan" kepada pihak yang memintanya dengan pembayaran harga kepada Negara.

Istilah "dipindahkan" memiliki akibat hukum yang kemudian menjadi pangkal persoalan konflik agraria antara Negara dengan rakyat sepanjang masa. Hak eigendom tidak diberikan atau diserahkan mutlak kepada rakyat tetapi hanya "dipindahkan", yang intinya berarti Negara masih memiliki kepemilikan mutlak sehingga bila Negara memerlukan tanah dapat mencabut kembali hak pemindahan tersebut kepada Negara. Landasan inilah yang menjadi alasan hukum pencabutan hak kepemilikan/penguasaan tanah baik individu maupun kolektif sebagaimana tercantum dalam pasal 16 RUU PTuP.

Semenjak berlakunya Undang-Undang Agraria 1870, para pengusaha dari Eropa, Belanda, Pracis, Jerman, Inggris, Denmark berlomba-lomba berinvestasi di wilayah Hindia-Belanda. Kondisi ini merupakan wujud dari pelaksanaan politik pintu terbuka yang berlandaskan pada Undang-Undang Agraria. Penerapan Undang-Undang Agraria 1870 membuat pengaruh yang cukup besar terhadap kehidupan perekonomian secara menyeluruh. Perkebunan besar, pertambangan, pelayaran dan perindustrian muncul dengan cepat. Selain itu ternyata Undang-Undang Agraria 1870 juga membawa pengaruh negatif bagi masyarakat. Industri rakyat kecil terdesak oleh barang impor yang semakin melimpah, pemerahan sumber daya alam dan tenaga manusia banyak dilakukan oleh para pengusaha swasta asing.

Tujuan Undang-Undang Agraria 1870

Agrarische Wet pada masa pemerintahan Kolonial Hindia Belanda setidaknya mempunyai 3 ciri seperti yang dipaparkan Nugroho, 2017 sebagai berikut:

  • Hukum Agraria yang tetap berlaku sebagian disusun berdasarkan sendi-sendi dan tujuan pemerintahan kolonial dan sebagian masih dipengaruhi masa pemerintahan kolonial tersebut, yang mana hal ini bertentangan dengan kepentingan masyarakat pribumi dan nasional dalam menyelesaikan revolusi nasional pada masa itu serta pembangunan semesta;
  • Sifat dualisme juga berlangsung ada Hukum Agraria, yaitu berdampiinganya Hukum Agraria dari barat dengan Hukum Agrarian yang yang bersumber darui hukum adat;
  • Hukum Agraria pada masa kolonial ini dirasa sangat meberatkan bagi masyarakat pribumi karena dalam prakteknya hukum tersebut tidak menjamin kepastian hukum bagi masyarakat.

UU Agraria 1870 mempunyai tujuan sebagai berikut:

  • Supaya kepemilikan tanah di Jawa tercatat dengan baik. Dengan catatan yang baik, maka tanah penduduk bisa dijamin dengan baik pula;
  • Untuk tanah tanpa pemiliki yang dalam sewaan dapat diserahkan;
  • Tanah dan hak petani atas tanahnya terlindungi dari penguasa dan pemodal asing yang ingin menggunakan dengan cara yang kurang baik;
  • Memberi peluang investasi kepada pemodal asing untuk menyewa dan mengelola tanah milik penduduk;
  • Memperbanyak peluang kerja pada penduduk. Contohnya seperti menjadi buruh perkebunan.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun