Pendahuluan
Pada tanggal 31 Desember 1799 VOC membubarkan diri, maka pada tanggal 1 januari 1800 seluruh tanah jajahan menjadi bagian dari wilayah Negeri Belanda dengan status sebagai negara jajahan Hindia-Belanda. Gubernur pertama yang memerintah Hindia-Belanda adalah Herman Willem Daendels (1808--1811). Politik yang dijalankan berkaitan dengan tanah adalah menjual tanah-tanah kepada pemilik modal besar terutama kepada Cina, Arab maupun kepada bangsa Belanda.Â
Tanah-tanah yang dijual ini disebut dengan "tanah partikelir". Daendels digantikan oleh Jan Willmen Janssens (kaki tangan Perancis Napoleon) yang tidak beberapa lama pemerintah kolonial Belanda jatuh ke tangan Inggris, Jansens diganti oleh Thomas Stamford Raffles (1811-1816). Raffles dalam bidang pertanahan mewujudkan pemikiran tentang fiskal (pajak) yang dikenal dengan "landrent" (pajak tanah). Landrent tersebut tidak dibebankan langsung kepada para pemilik tanah, tetapi ditugaskan kepada para Kepala Desa.
 Pada tahun 1816 Pemerintah Inggris menyerahkan kekuasaannya kembali kepada Pemerintah Belanda, dibawah pimpinan Johannes van den Bosch. Pada tahun 1830 diadakan sistem tanam paksa (culturstelsel). Pada tahun 1870 pemerintah kolonial Belanda mengesahkan Undang-Undang Agraria yang disebut dengan "Agrarische Wet". Stb 1870 No .55. Undang-Undang yang dibuat di negeri Belanda ini tujuannya adalah untuk memberi kemungkinan dan jaminan kepada modal besar asing agar dapat berkembang di Indonesia. Kemunculan undang-undang ini didasarkan pada gagasan Menteri Jajahan Belanda di Hindia-Belanda yakni, Engelbertus de Waal. De Waal mengajukan rencana yang merupakan suatu kompromi yang pada akhirnya melahirkan Agrarische Wet. 1870.
Sejak masa pemerintahan Hindia-Belanda, Indonesia memang dikenal dengan wilayah agraris. Hal ini yang membuat aparatur negara dari periode ke periode untuk menetapkan kebijakan tentang masalah-masalah agraria. Seiring dengan bergantinya rezim pemerintahan yang ada di Indonesia, terjadi pula tumpang tindih hukum dan kebijakan agrarian di Indonesia. Pada masa kolonial terjadi dualisme hukum yang cukup membingungkan, yaitu kebijakan pemerintah yang menerapkan aturan tentang tanah di bawah Undang-Undang Agraria 1870 (Agrarische Wet S. 1870-55 dan Agrarische Besluit S. 1870-118), sementara di sisi lain hukum adat yang terdapat pada setiap daerah koloni Hindia-Belanda juga memiliki aturan dan kebijakan tersendiri mengenai hukum adat yang berhubungan dengan sistem pertanahan.Â
Pemerintah kolonial menguasai perkebunan besar akibat sebagai akibat dari politik liberal. Pembukaan lahan-lahan baru pada masa kolonialisme pada abad ke-20 yang berorientasi pada komoditas perkebunan, secara otomatis merampas kepemilikan tanah oleh penduduk pribumi. Hukum adat yang lahir dalam masyarakat pribumi tidak memiliki kekuatan apapun untuk mempertahankan eksistensi tanah mereka dari pencaplokan perusahaan asing. Berangkat dari permasalahan inilah, pada zaman Orde Lama lahir Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria yang mengatur ketentuan pokok keagrariaan, baik itu tanah, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya.Â
Pada masa Hindia-Belanda, kemunculan Undang-Undang Agraria 1870 sendiri seperti membuka gerbang masuknya para investor ke negara ini. Perusahaan-perusahaan asing dan swasta banyak menyewa lahan-lahan baik itu pertanian, perkebunan, maupun tanah lainnya untuk kepentingan mereka, terutama di Pulau Jawa. Tentu saja yang diuntungkan dari kemunculan Undang-Undang ini adalah Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda dan pihak investor asing/swasta. Mereka mendapatkan profit secara besar-besaran dengan fasilitas yang disediakan oleh pemerintah kolonial. Menarik untuk dikaji tentang penerapan Undang-Undang Agraria 1870 ini
Pengertian Agraria
Secara kata, Agraria mempunyai arti yang sangat berbeda antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lainnya. Dalam bahasa latin, kata ager dan agrarius merupakan akar kata dari agraria. Kata ager memiliki arti tanah atau sebidang tanah, sedangkan kata agrarius memiliki arti sama dengan perladangan, persawahan, pertanian. Dalam terminologi bahasa Indonesia, agraria berarti urusan tanah pertanian, perkebunan, sedangkan dalam bahasa Inggris kata agraria diartikan agrarian yang selalu diartikan tanah dan dihubungkan dengan usaha pertanian. Istilah Agraria dalam UUPA mempunyai dua pengertian, yaitu dalam arti luas dan dalam arti sempit.Â
Pengertian Agraria dalam arti luas meliputi Bumi, Air dan Ruang Angkasa (Pasal 1 Ayat (2) UUPA). Sedangkan pengertian Agraria dalam arti sempit hanya mengatur masalah tanah (Pasal 4 Ayat (1) UUPA). A.P. Parlindungan menyatakan bahwa pengertian Agraria mempunyai ruang lingkup yaitu dalam arti sempit bisa berwujud hak-hak atas tanah, ataupun pertanian saja, sedangkan Pasal 1 dan 2 UUPA telah memberikan pengertian yang luas, yaitu bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Pengertian Hukum Agraria
Untuk memperoleh pengertian mengenai apa yang disebut dengan Hukum Agraria, berikut ini dikemukakan beberapa pendapat sarjana, antara lain:
- E. Utrecht
Hukum Agraria (Hukum Tanah) merupakan bagian dari Hukum Administrasi Negara yang mengkaji hubungan-hubungan hukum, terutama yang akan memungkinkan para pejabat yang bertugas mengurus soal-soal agrarian.
- Subekti & Tjitrosubroto
Hukum Agraria adalah keseluruhan dari ketentuan hukum yang mengatur hubungan orang yang satu dengan orang yang lain, termauk Badan Hukum dengan Bumi, Air, dan Ruang Angkasa dalam seluruh wilayah Indonesia dan mengatur pula wewenang yang bersumber pada hubungan tersebut.
- Boedi Harsono
Hukum Agraria adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum, baik itu tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur mengenai agraria. Agraria ini meliputi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya bahkan dalam batas-batas yang ditentukan, serta mengenai ruang angkasa. Hukum Agraria bukan hanya merupakan satu perangkat bidang hukum. Hukum Agraria merupakan suatu kelompok berbagai bidang hukum, yang masing-masing mengatur hakhak penguasaan atas sumber-sumber daya alam tertentu yang termasuk pengertian Agraria. Kelompok berbagai bidang hukum tersebut terdiri atas:
Hukum Tanah, yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah dalam arti permukaan bumi.;
Hukum Air, yang mengatur hak-hak penguasaan air.;
Hukum Pertambangan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahan-bahan galian yang dimaksudkan oleh Undang-undang Pertambangan;
Hukum Perikanan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam yang terkandung dalam air;
Hukum Penguasaan Atas Tenaga dan Unsur-unsur dalam Ruang Angkasa, mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa yang dimaksudkan oleh Pasal 48 UUPA.
- WLG. Lemeire
Hukum Agraria adalah hukum yang mengandung bagian dari Hukum Privat maupun Hukum Tata Negara dan Administrasi yang dibicarakan sebagai suatu kelompok yang bulat.
- SJ. Fockema Andrea.
Hukum Agraria adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan hukum mengenai usaha pertanian dan benda pertanian.
- Soedikno Mertokusumo
Hukum Agraria adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur Agraria.
Pokok-Pokok Hukum AgrariaÂ
Secara garis besar, hukum agrarian setelah berlakunya UUPA dibagi menjadi dua bidang, yaitu:
- Hukum Agraria Perdata (keperdataan)
Adalah keseluruhan dari ketentuan hukum yang bersumber pada hak perseorangan dan badan hukum yang memperbolehkan, mewajibkan, melarang diperlakukan perbuatan hukum yang berhubungan dengan tanah (obyeknya). Contoh: jual beli, hak atas tanah sebagai jaminan utang (hak tanggungan) dan pewarisan.
- Hukum Agraria Administrasi (administratif)
Adalah keseluruhan dari ketentuan hukum yang memberi wewenang kepada pejabat dalam menjalankan praktek hukum negara dan mengambil tindakan dari masalah- masalah agrarian yang timbul. Contoh: pendaftaran tanah, pengadaan tanah, pencabutan hak atas tanah.
Sebelum berlakunya UUPA, hukum agraria di Hindia-Belanda (Indonesia) terdiri dari 5 perangkat hukum, yaitu:
- Hukum Agraria Adat
Yaitu keseluruhan kaidah-kaidah hukum agraria yang bersumber pada hukum adat dan berlaku terhadap tanah-tanah yang dipunyai dengan hak-hak atas tanah yang diatur oleh hukum adat;
- Hukum Agraria Barat
Yaitu keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum agraria yang bersumber pada hukum perdata Barat, khususnya yang bersumber pada Boergelijk Wetboek (BW);
- Hukum Agraria Administratif
Yaitu keseluruhan dari peraturan-peraturan atau putusan-putusan yang merupakan pelaksanaan dari politik Agrana pemerintah didalam kedudukannya sebagai badan penguasa;
- Hukum Agraria Swapraja
Yaitu keseluruhan dari kaidah hukum Agraria yang bersumber dari kaidah hukum Agraria yang bersumber pada peraturan-peraturan tentang tanah di daerah-daerah swapraja (yogyakarta, Aceh), yang memberikan pengaturan bagi tanah-tanah di wilayah daerah-daerah swapraja yang bersangkutan;
- Hukum Agraria Antar-golongan
Hukum yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa (kasus) agraria (tanah), maka timbullah agraria antar golongan, yaitu keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang menentukan hukum manakah yang berlaku (Hukum adat ataukah hukum barat) apabila 2 orang yang masing-masing tunduk pada hukumnya sendiri-sendiri bersengketa mengenai tanah;
Â
Isi Undang-Undang Agraria 1870
Pada tanggal 9 Apri 1870 pemerintah kolonial Belanda mengesahkan Undang-Undang Agraria yang disebut dengan "Agrarische Wet". Stb 1870 No .55. Undang-Undang ini dibuat di negeri Belanda. Tujuan dari disahkannya undang-undang ini adalah untuk memberi kemungkinan dan jaminan kepada modal besar asing agar dapat berkembang (berinvestasi). Gagasan tentang undang-undang ini muncul dari kepala Engelbertus de Waal, Menteri Jajahan Belanda di Hindia-Belanda. De Waal yang berasal dari golongan liberal mengajukan rencana yang merupakan suatu kompromi yang pada akhirnya melahirkan Agrariche Wet 1870 setelah sebelumnya terjadi perdebatan dan pertentangan panjang antara golongan konservatif dan golongan liberal di Parlemen Belanda. berisi aturan-aturan yang disebut sebagai Pasal 51 "Wet op de Indische staatsinrichiting van Nederl. Indie" yang isinya adalah sebagai berikut:
De Gouverneur-Generaal mag geen granden verkopen;
- In dit verbod zijn niet begrepen kleine stukken grond, bestemd tot uitbreiding van steden en dorpen en tot het oprichten van inrichtingen van nijverheid;
- De Gouverneur-Generaal kan grondenuitvegen in huur, volgens regels bij ordonnantie te stellen. Onder di gronder. Worden niet begrepen de zodanige, door de Inlanders ontgonnen, of als gemene weide, of uit enige andere hoofed tot de dorpen behorende;
- Volgens regels bij ordonnantie te stellen, worden gronden afgestaan in erfpacht voor nieet langer dan vijf en zeventig jaren;
- De Governeur-Generaal zorgt, dat generlei afstand van grond inbreuk make op de rechten der Indlase bevolking;
- Over gronden, door Inlanders voor eigen gebruik ontgonnen of als gemene weide of uit andere hoofed tot de dorpen behorende, wordt door de Gouverneur-Generaal niet beschikt dan ten algemene nutte, op de voet van artikel 133 en ten behoeve van de op hoog gezag ingevoerde cultures volgens de daarop betrek-kelijke vedordeningen, tegen behoorlijke schadeloos-stelling;
- Grond, door Inlanders in erfelijk individueel gebruik bereten, woordt op aanvrag van de rechtmatige bezit-ter, aan deze in eigendom afgestaan onder de nodige beperkinged, bij ordonnantie fe stellen en in de eingendomsbrief uit te drukkken ten, aanzien van de verplich-tingen jegenes de lande en de gemeente en van de bevoegdheid tot verkoop aan niet-Inlanders;
- Verhuur of ingebruikgeving van ground door Inlanders aan niet-Inlanders geschiedt/volgens regels bij ordonnantie te stellen.
Dalam terjemahkan pada Bahasa Indonesia adalah sebagai berikut :
- Gubernur Jenderal tidak boleh menjual tanah;
- Dalam larangan ini tidak termasuk penjualan tanah kecil untuk keperluan perluasan kota dan desa dan untuk mendirikan perusahaan-perusahaan;
- Gubernur Jenderal dapat menyewakan tanah dengan peraturan perundang-undangan. Dalam peraturan ini tidak termasuk tanah-tanah yang telah dibuka oleh rakyat asli atau sebagai pengembalaan umum atau sebab-sebab lain untuk kepentingan desa;
- Menurut peraturan yang ditetapkan dengan ordonansi diberikan tanah dengan hak erfpacth selam waktu tidak lebih dari 75 tahun;
- Gubernur Jenderal menjaga agar jangan sampai ada pemberian tanah yang melanggar hak-hak rakyat Indonesia asli;
- Gubernur Jenderal tidak boleh mengambil tanah-tanah yang telah dibuka oleh orang-orang Indonesia asli untuk keperluan mereka sendiri atau tanah-tanah kepunyaan desa sebagai tempat penggembalaan umum berdasarkan Pasal 123 dan untuk keperluan perusahaan tanaman yang diselenggarakan atas perintah atasan dengan pemberian ganti rugi yang layak;
- Tanah yang dipunyai orang Indonesia asli dengan hak milik (hak pakai turun temurun) atas permintaan yang sah diberikan kepadanya dengan hak eigendom dengan pembatasan-pembatasan seperlunya agar ditetapkan dengan ordonansi dan dicantumkan di dalam surat eigendomnya, yaitu mengenai kewajibannya terhadap negara dan desa serta wewenang untuk menjualnya kepada bukan orang Indonesia asli;
- Menyewakan tanah atau menyerahkan tanah untuk dipakai oleh orang-orang Indonesia asli kepada bukan orang-orang Indonesia asli dilakukan menurut Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan dengan ordonansi.
Pembahasan pada masa penjajahan ini ditekankan pada politik hukum Agraria kolonial sebagaimana tercantum dalam Agrarische Wet dan Agrarische Besluit dengan slogan/pernyataan domein (domein verklaring), dan dualisme hukum Agraria. Pasal 1 dari Agrarisch Besluit inilah yang memuat suatu pernyataan penting yang telah cukup dikenal yaitu Domain Verklaring, yang menyatakan bahwa "semua tanah yang tidak terbukti bahwa atas tanah itu ada hak milik-mutlak (eigendom) adalah domain negara (domain negara maksudnya milik negara)". Agrarisch Besluit 1870 inilah menjadi tonggak penting swastanisasi perkebunan di Hindia Belanda. Agrarische Wet merupakan Undang-Undang yang dibuat oleh Belanda pada tahun 1870. Undang-Undang ini berisi mengenai hukum tanah administrasi yang diberlakukan kepada seluruh tanah jajahan Belanda, juga Undang-Undang ini dijadikan sebagai landasan hukum bagi aturan-aturan yang akan dikeluarkan oleh pemerintah kolonial dalam kaitan pembagian atas penguasaan tanah baik oleh pemerintah, masyarakat pribumi maupun nonpribumi. Hukum agrarian di lingkungan administrasi pemerintah dibagi pada perangkat peraturan perundang-undangan yang memberikan landasan hukum bagi penguasa dalam melaksankan kebijakannya dibidang pertanahan.
Agrarische Wet 1870 atau Undang-Undang Agraria 1870 yang menjadi sendi politik pemerintah kolonial Hindia-Belanda lahir sebagai hasil dari perdebatan di tubuh Parlemen Belanda yang hakekatnya merupakan hasil pertentangan antara golongan Liberal dan Konservatif. Sistem tanam paksa atau Cultuurstelsel yang telah melahirkan, kesengsaraan bagi rakyat, merupakan cikal bakal lahirnya Undang-Undang Agraria 1870. Dimana sistem ini digunakan Pemerintah Belanda karena telah mengalami kekosangan kas negara akibat membengkaknya biaya perang, oleh karenanya sebuah system yang mengekploitasi tanah jajahan yang dikenal sebagai Cultuurstelsel yang di terapkan pada 1830, selama 40 tahun tanam paksa ini diterapkan di Indonesia. Dari pelaksaan tanam paksa ini bisa dikatakan berhasil karena dapat memenuhi kas negeri Belanda yang awalnya kosong menjadi terisi penuh.
Namun kemudian kebahagiaan yang dirasakan oleh Belanda berbanding terbalik dengan apa yang dirasakan oleh rakyat di Hindia-Belanda, pelaksaan tanam paksa dipenuhi dengan berbagai penyimpangan yang tentu menimbulkan penderitaan bagi rakyat. Kondisi ini memunculkan kritik keras serta tuntutan dari kalangan liberal di negeri Belanda agar sistem tanam paksa segera dihapuskan. Gerakan ini baru berhasil pada tahun 1869, setelah sebagian besar sistem ini dihapuskan. Sebagai perwujudan kemenangan kaum liberal, pemerintah Belanda mengeluarkan Undang-Undang Agraria 1870.
Selain mengembangkan politik kolonial di bidang agraria, dikembangkan pula oleh Pemerintah Hindia asas domein dalam hukum pertanahan. Asas ini menyatakan bahwa semua tanah yang oleh pihak lain tidak dapat dibuktikan eigendom-nya maka tanah tersebut adalah tanah negara. Menurut Rizki Maulana Hakim seorang peneliti dari Agrarian Resource Center (ARC), pada prinsipnya kalau pada zaman kolonial, tanah-tanah yang ada di Hindia Belanda dimiliki oleh raja Belanda pada waktu itu, dan orang yang menggunakan tanah itu harus mempunyai izin jikalau mau memiliki tanah, izin tersebut berbentuk surat, domein verklaring harus ada suratnya, jadi secara mutlak tanah adalah milik raja, tanah adalah milik negara, dan kemudian negara memiliki kewenangan untuk mengatur kepada siapa dia mau memberikan tanah-tanahnya dengan domein verklaring.
Untuk mempertahankan landasan dasar berlakunya hukum agraria kolonial sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 IS maka dikeluarkan aturan pelaksananya yaitu Agrarische Besluit (AB). Azas umum tersebut kemudian dikenal sebagai "Domein Varklering" dengan Pasal 1 AB berbunyi: "dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan di dalam ayat 2 dan ayat 3 AW, maka dipertahankan azas bahwa semua tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan bahwa tanah itu eigendomnya (miliknya), adalah domein negara/ milik negara".
Domein verklaring berfungsi sebagai landasan hukum bagi pemerintah yang mewakili Negara sebagai pemilik tanah. Menurut pandangan Negara dalam konteks domein verklaring tersebut, pemberian tanah dengan hak eigendom dilakukan dengan cara pemindahan hak milik Negara kepada penerima tanah karena Negara di sini bukan bertindak sebagai penguasa melainkan sebagai pemilik perdata atas tanah. Pandangan ini mengacu pada KUUH Perdata pasal 519 dan 520 menyatakan bahwa setiap bidang tanah selalu ada pemiliknya. Bila tidak dimiliki oleh perorangan atau badan hukum maka Negaralah pemiliknya. Demikian juga dengan ketentuan permohonan hak eigendom, bila mengacu pada konsep di atas Negara tidak memberikan hak eigendom kepada pemohon (individu/rakyat), tetapi hak eigendom Negara "dipindahkan" kepada pihak yang memintanya dengan pembayaran harga kepada Negara.
Istilah "dipindahkan" memiliki akibat hukum yang kemudian menjadi pangkal persoalan konflik agraria antara Negara dengan rakyat sepanjang masa. Hak eigendom tidak diberikan atau diserahkan mutlak kepada rakyat tetapi hanya "dipindahkan", yang intinya berarti Negara masih memiliki kepemilikan mutlak sehingga bila Negara memerlukan tanah dapat mencabut kembali hak pemindahan tersebut kepada Negara. Landasan inilah yang menjadi alasan hukum pencabutan hak kepemilikan/penguasaan tanah baik individu maupun kolektif sebagaimana tercantum dalam pasal 16 RUU PTuP.
Semenjak berlakunya Undang-Undang Agraria 1870, para pengusaha dari Eropa, Belanda, Pracis, Jerman, Inggris, Denmark berlomba-lomba berinvestasi di wilayah Hindia-Belanda. Kondisi ini merupakan wujud dari pelaksanaan politik pintu terbuka yang berlandaskan pada Undang-Undang Agraria. Penerapan Undang-Undang Agraria 1870 membuat pengaruh yang cukup besar terhadap kehidupan perekonomian secara menyeluruh. Perkebunan besar, pertambangan, pelayaran dan perindustrian muncul dengan cepat. Selain itu ternyata Undang-Undang Agraria 1870 juga membawa pengaruh negatif bagi masyarakat. Industri rakyat kecil terdesak oleh barang impor yang semakin melimpah, pemerahan sumber daya alam dan tenaga manusia banyak dilakukan oleh para pengusaha swasta asing.
Tujuan Undang-Undang Agraria 1870
Agrarische Wet pada masa pemerintahan Kolonial Hindia Belanda setidaknya mempunyai 3 ciri seperti yang dipaparkan Nugroho, 2017 sebagai berikut:
- Hukum Agraria yang tetap berlaku sebagian disusun berdasarkan sendi-sendi dan tujuan pemerintahan kolonial dan sebagian masih dipengaruhi masa pemerintahan kolonial tersebut, yang mana hal ini bertentangan dengan kepentingan masyarakat pribumi dan nasional dalam menyelesaikan revolusi nasional pada masa itu serta pembangunan semesta;
- Sifat dualisme juga berlangsung ada Hukum Agraria, yaitu berdampiinganya Hukum Agraria dari barat dengan Hukum Agrarian yang yang bersumber darui hukum adat;
- Hukum Agraria pada masa kolonial ini dirasa sangat meberatkan bagi masyarakat pribumi karena dalam prakteknya hukum tersebut tidak menjamin kepastian hukum bagi masyarakat.
UU Agraria 1870 mempunyai tujuan sebagai berikut:
- Supaya kepemilikan tanah di Jawa tercatat dengan baik. Dengan catatan yang baik, maka tanah penduduk bisa dijamin dengan baik pula;
- Untuk tanah tanpa pemiliki yang dalam sewaan dapat diserahkan;
- Tanah dan hak petani atas tanahnya terlindungi dari penguasa dan pemodal asing yang ingin menggunakan dengan cara yang kurang baik;
- Memberi peluang investasi kepada pemodal asing untuk menyewa dan mengelola tanah milik penduduk;
- Memperbanyak peluang kerja pada penduduk. Contohnya seperti menjadi buruh perkebunan.
Â
Hak Erpacht dan Hak Eigendom
Hak Erfpacht. Aspek penting dalam UU Agraria 1870 adalah adanya Hak Erfpacht. Hak Erfpacht diatur dalam Undang-Undang Perdata Pasal 720 dan selanjutnya. Menurut pengertian pasal-pasal itu, hak Erfpach adalah hak untuk menggunakan tanah kepunyaan orang lain, dengan kekuasaan sepenuhnya; hanya ada kewajiban tiap-tiap tahun membayar uang "pacht" kepada pemilik tanah sebagai tanda pengakuan hak miliknya. Menurut pasal 721 Undang-Undang Perdata orang yang punya hak Erfpacht (erfpachter) boleh menggunakan tanah itu seakan-akan ia adalah pemiliknya sendiri; hanya dengan syarat bahwa nilai tanah tidak boleh berkurang karena pemakaian itu. Hak erfpacht itu turun-temurun selama waktu-hak belum habis, artinya waktu yang ditentukan dalam perjanjian erfpacht belum bereakhir. Hak erfpacht bisa juga dikatakan emacam hak guna usaha untuk menyewa tanah tak bertuan yang sudah menjadi milik negara dengan masa sewa maksimal 75 tahun. Sesuai dengan kewenangan yang sudah diberikan oleh hak kepemilikian. Juga dapat diwariskan dan menjadi agunan. Satuan pengukurannya menggunakan istilah bahu. Untuk bahu sendiri berubah-ubah. Tapi jika dikonversikan dengan pengukuran masa kini, satu bahu rata-rata seluas 0.7 hingga 0.74 hektar. Sedangkan pembayarannya menggunakan istilah florint. Hak Erfpacht ada tiga jenis yaitu:
- Hak untuk aktivitas pertanian dan perkebunan berlahan besar. Maksimal lima ratus bahu dengan harga sewa maksimal lima florint tiap bahunya.
- Hak untuk aktivitas pertanian dan perkebunan berlahan kecil, Ini cocok untuk orang Eropa berekonomi sedang atau perkumpulan sosial di Hindia Belanda. Maksimal 25 bahu dengan harga sewa satu florint tiap bahunya. Kemudian tahun 1908, dari 25 diperluas menjadi maksimum 500 bahu.
- Hak untuk rumah dan pekarangannya maksimal boleh menyewa lima puluh bahu.
Hak Eigendom. Hak eigendom adalah hak terkuat yang dapat diperoleh atas benda, juga atas tanah. Ketentuan tentang hak eigendom terdapat di pasal 570 Undang-Undang Perdata (Burg.Wetb.) dan pasal-pasal selanjutnya. Hak eigendom pada umumnya hanya dibatasi oleh ketentuan bahwa orang tidak boleh menggunakan haknya itu sampai mengganggu hak orang lain; dan orang harus selalu mengindahkan peraturan-peraturan pemerintah. Untuk kepentingan umum hak eigendom dapat dicabut oleh negara dengan pemberian kerugian yang layak.
Dampak Undang-Undang Agraria 1870
Periode 1870-1900 merupakan masa perekonomian di Hindia-Belanda menggunakan sistem ekonomi Liberal atau sistem politik terbuka, sistem ini bertujuan untuk membebaskan kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh pihak swasta. Kegiatan tersebut meliputi melakukan modal dan memperdayakan perekonomian di wilayah Hindia Belanda, terutama pada sektor industri dan perkebunan di pulau Jawa dan luar sekitaranya. Dengan diperlakukanya undang-undang Agraria pada tahun 1870, di mulailah pembukaan perkebunan dengan skala yang besar. Sistem politik ini juga melindungi hak kepemilkikan tanah terhadap orang asing, dengan sistem poltik ini orang asing bebas untuk menyewa tanah dari rakyat pribumi untuk digunakan sebagai perkebunan. Maka UU Agraria 1870 dan sistem politik terbuka membuka peluang perkembangan ekonomi di Hindia-Belanda. Pemberian izin UU Agraria banyak pengusahan swasta yang menanamkan modal pada perkebunan di wilayah koloni Hindia-Belanda, dengan itu devisa negara Belanda mengalami peningkatan dari kegiatan ekonomi di Hindia Belanda. Dampak ekonomi liberal juga dirasakan oleh petani dengan keluarnya kebijakan Agrarische Besluit di tahun yang sama, perkebunan milik swasata pulau Jawa dan sumatra mengalami perkembangan yang pesat.
Undang Undang Agraria ini pada pokoknya berisi antara lain persyaratan sewa tanah dengan pesyaratan tertentu, yaitu: tanah milik pribumi yang dapat disewa selama 5 tahun, tanah yang dapat disewa selama 30 tahun dan semua kontrak harus didaftarkan. Selain itu tanah pemerintah dapat disewa untuk jangka waktu 75 tahun yang biasa disebut hak erpacht. Dampak diizinkannya hak erpacht ini menimbulkan perkebunan besar, seperti perkebunan gula, teh, tembakau dan tanaman dagang lainnya. Perkembangan pesat pembukaan lahan perkebunan terjadi antara tahun 1870 dan tahun 1885 karena Terusan Suez dibuka pada tahun 1869, yang berjasa untuk mengurangi jarak antara negara penghasil tanaman dagang dan negara pasaran di Eropa Barat. Di samping itu, karena adanya permintaan yang meningkat terhadap bahan mentah dan bahan makanan dari Eropa dan Amerika serta mengalirnya modal asing ke Hindia Belanda. Akibat dari perkembangan perdagangan dan munculnya perusahaan swasta, memaksa pemerintah kolonial untuk membagi karesidenan menjadi beberapa afdeling yang dikepalai oleh asisten residen. Perusahaan-perusahaan baru yang didirikan di Hindia Belanda pada masa liberal mengalami perkembangan sehingga perusahaan ini lebih banyak membutuhkan personil yang didatangkan dari luar negeri sebagai tenaga ahli. Oleh karena itu, jumlah masyarakat Eropa di Hindia Belanda makin besar sehingga mereka menuntut kenyamanan seperti negeri asal, seperti kondisi yang lebih baik bagi sekolah-sekolah, perumahan dan pelayanan kesehatan. Keadaan ini menjadikan munculnya pemukiman-pemukiman khusus orang Belanda di Hindia Belanda.
Berbeda halnya dengan pengusaha-pengusaha swasta asing yang diuntungkan besar pada masa liberalisme, sebaliknya perkembangan industri perkebunan di Jawa tidak memiliki sama sekali dampak terhadap peningkatan ekonomi Bumiputera. Sebaliknya, kondisi tersebut memperparah kemiskinan di pulau Jawa dan umumnya di kawasan Hindia Belanda, jumlah penduduk dari tahun ke tahun yang semakin meningkat namun tidak diimbangi dengan sumber bahan pangan yang ada, menyebabkan terjadinya kelaparan di mana-mana. Penyebabnya, dikarenakan tanah subur milik petani telah disewakan kepada pihak swasta, sehingga menyisakan lahan tandus yang sulit untuk digarap dan ditanami tanaman pangan seperti padi. Pembebasan dari culturstelsel yang mengharuskan petani menanam tanaman komoditi ekspor pada tahun 1870 hanyalah sebatas fatamorgana, mengingat petani pada saat itu masih diwajibkan untuk tetap membayar pajak kepada pemerintah namun lahan yang digunakan sebagai sumber penghasilan telah dirampas dengan adanya sistem sewa tanah. Penderitaan itu sangat besar dirasakan khususnya pada daerah-daerah yang menanam komoditas kopi dimana tanahnya tidak dapat lagi digunakan untuk menanam tanaman yang lain. Sehingga dapat dikatakan antara pemerintah Belanda dan masyarakat ini seperti simbiosis parasitisme. Seperti yang dicontohkan oleh Rizki Maulana Hakim tentang perkebunan industri gula di Jawa. Relasi yang timbul antara pemilik perusahaan dengan para pekerjanya adalah relasi-relasi perbudakan. Relasi perbudakan dalam artian dipahami bahwa buruh-buruh yang bekerja di sana di eksploitasi secara habis-habisan baik dalam skala waktu maupun skala tenaga. Ada yang tidak dibayar, ada yang bayarannya tidak sesuai. Jadi, pengerahan tenaga kerjanya sangat penetratif dari kekuasaan untuk bekerja di situ. Sehingga itu dapat dikatakan sebagai bentuk perbudakan negara dalam sektor perkebunan industri gula pada waktu pemerintahan Belanda.
Keadaan ini semakin diperparah dengan terjadinya krisis global pada tahun 1885 yang menyebabkan banyak pabrik-pabrik dan perkebunan menurunkan upah pekerja dan uang sewa tanah Bumiputera. Kondisi ini terus terjadi hingga akhir abad ke-XIX dengan melihat turunnya angka berbagai impor barang kebutuhan berupa tekstil maupun konsumsi. Kemiskinan penduduk Jawa pada masa ini umumnya disebabkan oleh beberapa hal seperti, kurangnya modal penduduk Jawa yang tidak dapat diimbangi dengan jumlah penduduk yang besar tingkat pendidikan yang rendah sehingga dimanfaatkan oleh pemilik modal sebagai buru harian dengan tarif yang murah, dan adanya sistem verscoot (uang muka).
Di dalam masyarakat agraria khususnya di Jawa, dalam sistem kepemilikan tanah dibagi berdasarkan status sosial. Kelas status inilah yang selalu menjadi sasaran kebengisan atau kekerasan oleh kelas yang berada di atasnya dan yang berkuasa. Masyarakat agraris menggunakan tanah sebagai aset produksi untuk menghasilkan hasil pertanian, baik tanaman pangan maupun tanaman perdagangan. Sepanjang abad ke-19 hingga awal abad ke-20 terdapat peristiwa historis dalam masyarakat petani di Indonesia. Ada beberapa perlawanan petani yang berskala besar dan terorganisir, diantaranya Gerakan Cikandi Udik (1845), Ciomas (1886), Ciampea (1892). Pada masa kolonial dikenal sebutan tanah partikelir. tanah-tanah partikelir dimulai oleh praktik penjualan tanah kepada swasta pada masa VOC (1602-1799). Kebijakan tersebut terus berlangsung hingga pemerintahan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1808-1811) dan Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles (1811-1816). Kemudian, berlanjut hingga tahun 1820-an. Keberadaan tanah partikelir memiliki sejarah panjang. Namun, titik tolak perkembangan tanah partikelir bermula ketika tahun 1870 diterapkan "politik pintu terbuka" (open door policy) di Hindia Belanda. Para pengusaha swasta asing memiliki peluang yang lebih besar untuk menanamkan modalnya di bidang perkebunan. Dasar hukum dari sistem liberal ini adalah Undang-Undang De Waal, yaitu Undang-Undang Agraria dan Undang-Undang Gula. Undang-Undang Agraria (de Agrarische Wet) diatur dalam Staatsblad No. 71 tanggal 9 April 1870.
Pada awalnya, penyerahan tanah partikelir hanya dilakukan untuk kepentingan politik. Namun, VOC sering memberikan tanah kepada orang yang bertanggung jawab menjaga keamanan Batavia untuk mencari dukungan dari beberapa pihak. Selain itu, banyak tanah dijual selama pemerintahan Daendels dan Raffles untuk membantu pemerintah Hindia yang sedang bangkrut menjadi lebih efisien.
Karena pemerintah tidak konsisten dalam mengelola tanah partikelir, tindakan tuan tanah yang sewenang-wenang terus terjadi, menimbulkan kegelisahan petani. Para petani bertanggung jawab untuk membayar pajak. Orang yang mengolah tanah juga harus bekerja rodi selama lima hari sebulan. Kelompok petani di bagian utara lereng Gunung Salak melakukan pemberontakan pada tahun 1886. Gerakan ini dikenal sebagai Gerakan Pemberontakan Petani Ciomas. Peristiwa ini menunjukkan konflik antara petani dan pemilik tanah serta pemerintah. Para petani di daerah Ciomas, seperti petani di tanah partikelir lainnya, menghadapi kondisi sosial ekonomi yang buruk karena mereka dieksploitasi oleh tuan tanah, pengawas, dan petugas tuan tanah lainnya yang menuntut banyak tenaga kerja dan pemenuhan pajak yang tinggi.
Gerakan perlawanan petani ini memuncak ketika munculnya propagandis dari golongan petani Ciomas Bernama Mohammad Idris dan Arpan membuat petani berani untuk melakukan pemberontakan pada tahun 1886. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 22 Februari 1886 dimana seorang revolusioner petani yang bernama Arpan membunuh tuan tanah kepercayaan Belanda yang merupakan seorang camat di salah satu daerah Ciomas dan dikenal seorang menak yang memihak ke Belanda dari golongan pribumi yang bernama Haji Abdurahim. Peristiwa ini mencapai puncaknya pada tanggal 19 -20 Mei 1886. Dengan penyamaran Moh. Idris dan Arpan mengundang para tuan tanah untuk menghadiri acara syukuran bumi. Acara ini menyuguhkan hiburan rakyat seperti music dan tarian. Mereka pun datang lengkap bersama anggota keluarga. Namun kebanyakan berasal dari tuan tanah pribumi (menak). Pemberontakan pun meletus di tengah perayaan. Para petani sudah mempersiapkan perkakas dan menyerangnya secara membabi buta. Akibatnya 40 orang tewas dan 70 lainnya luka-luka.
Bila diruntut,kelahiran Undang-Undang Agraria 1870 ini memunculkan dampak positif maupun negatif. Dampak negatifnya antara lain Undang-undang ini mengakibatkan konsolidasi besar-besaran kepemilikan tanah di tangan pihak kolonial dan kaum priyayi (kaum elit pribumi yang bersekutu dengan pemerintah kolonial). Sebagian besar tanah diambil alih oleh pihak kolonial atau diberikan kepada kaum priyayi yang setia kepada pemerintah kolonial, sedangkan masyarakat pribumi kehilangan hak mereka atas tanah. Dan secara efektif menghapuskan system hak adat dari kepemilikan tanah pribumi (hak ulayat). Pribumi yang sebelumnya memiliki hak adat terhadap tanah, mereka kehilangan hak tersebut dan kerap diusir dari tanah mereka sendiri demi kepentingan pemerintah terutama bagi penjajah. Tidak sedikit masyarakat pribumi di Jawa Barat yang kehilangan tanah mereka dan dipaksa bekerja sebagai petani dan membayar sewa tanah yang dulunya itu adalah ilik pribadi. Hal ini menyebabkan perubahan yang sangat kontras dalam struktur social dan ekonomi Jawa Barat. Dimana kaum elit pribumi yang mendukung pemerintah colonial menjadi semakin kuat secara ekonomi, sementara masyarakat pribumi semakin terpinggirkan dan terlantar. Dampak dari kebijakan ini memicu perlawanan dari berbagai kelompok masyarakat pribumi, seperti perlawanan agraria dan pergerakan yang sudah dipaparkan sebelumnya dimana para petani berusaha melawan penindasan dan penjajahan kolonial serta untuk mendapatkan kembali hak atas tanah mereka.
Bila diruntut, kelahiran Undang-Undang Agraria 1870 ini memunculkan dampak positif maupun negatif. Dampak positifnya antara lain adalah terbukanya kesempatan bagi penduduk asli Indonesia untuk berhubungan dunia modern (luar), masyarakat asli Indonesia saat itu mulai mengenal uang akibat perubahan sistem pengupahan, masyarakat pribumi juga mengenal hasil bumi yang bisa diekspor dan barang impor dari luar negeri untuk kebutuhan kolonial, industrialisasi perkebunan semakin berkembang dan Hindia-Belanda menjadi negeri pengekspor hasil perkebunan, banyaknya pembangunan jalur transportasi dan penyediaan alat transportasi untuk pengangkutan hasil perkebunan seperti kereta api, pembangunan saluran irigasi dan waduk-waduk untuk pengairan lahan perkebunan. Selain itu terdapat satu dampak bidang sosial dari adanya Undang-undang Agraria 1870 yakni munculnya golongan buruh terutama buruh tani.
Referensi
AP Parlindungan. (1993). Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria. Bandung: Mandar Maju.
Boedi Harsono. (2007). Â Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan.
Cecep Lukman Hakim. (2008). Politik Pintu Terbuka: Undang-Undang Agraria dan Perkebunan Teh di Daerah Bandung Selatan 1870-1929. Ciamis: Vidya Mandiri
Fadhil Yazid. (2020). Pengantar Hukum Agraria. Medan: Undhar Press.
Irvan Tasnur dkk. "Liberalisme dan Monetisasi Ekonomi di Hindia Belanda (1870-1900)" dalam Keraton: Journal of History Education and Culture Vol. 4. No. 2 (2022).
Jim Imadudin.  "Perlawanan Petani di Tanah Partikelir Tanjoeng Oost Batavia Tahun 1916" dalam Jurnal Patanjala Vol. 7 No. 1 (2015).
Muhammad Ilham Arisaputra. (2015). Reforma Agraria di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Muwahid. (2016). Pokok-Pokok Hukum Agraria. Surabaya: UIN SA Press.
Sartono Kartodirjo. (1991). Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media.
Singgih Praptodihajo. (1953). Â Sendi-Sendi Hukum Tanah di Indonesia. Jakarta: Jajasan Pembangunan.
Yulianti. "Dampak Kebijakan Kolonial di Jawa" dalam Jurnal Sejarah dan Budaya Vol. 7 No. 1 (2013).
Wawancara dengan Rizki Maulana Hakim (Peneliti Agrarian Resource Center), Bandung, 02 Oktober 2023.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI