a. menurut Imam Hanafi dan Imam Syafii
 Seorang wanita yang hamil karena perzinahan dapat menikahi wanita tersebut atau pria lain. Menurut pendapat Imam Hanafi sebagai berikut:
"Wanita yang hamil karena zina tidak iddah, bahkan dia boleh menikah dengannya, tetapi dia tidak boleh bersetubuh sebelum dia melahirkan." Seperti yang dikatakan Imam Syafi'i:
"Seks akibat zina tidak sah, wanita yang hamil akibat zina boleh menikah bahkan berhubungan seks dalam keadaan hamil".
Oleh karena itu, perempuan zina tidak tunduk pada ketentuan Undang-Undang Perkawinan. Karena iddah memutuskan bahwa dalam pernikahan yang sah hanya sperma dalam rahim wanita yang dihargai. Air mani dari seks di luar nikah tidak didefinisikan secara hukum.
Mereka menyimpulkan dengan Al-Quran dalam Surah An-Nur, ayat 3: "Seorang laki-laki yang berzina hanya menikah dengan seorang pezina atau musyrik; dan seorang wanita yang berzina hanya menikah dengan seorang pezina atau musyrik".
Menurut Imam Hanafi, sementara wanita hamil boleh menikah dengan pria, dia tidak boleh melakukan hubungan seksual sampai bayinya lahir di dalam kandungan. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya:
Jangan berhubungan seks dengan wanita hamil sampai Anda melahirkan.
Menurut Imam Syafi' perkawinan wanita hamil dapat terjadi, dia juga dapat melakukan hubungan seksual dengannya, hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya "Karena dia adalah pengantinnya karena kamu memintanya halal. status. untuk mendapatkannya ketika anak itu adalah hambamu "...
Menurut pengamatan Imam Syafii, jika seorang wanita hamil melalui hubungan seks di luar nikah, jika ia menikah dengan laki-laki, maka kehamilan tersebut tidak akan mempengaruhi pernikahannya.
Jika memperhatikan pendapat Imam Hanafi, meskipun wanita hamil boleh menikah dengan laki-laki, namun ia dilarang melakukan hubungan seksual. Melarang wanita hamil melakukan hubungan seksual dengan pria beristri berarti kehamilannya mengganggu kelangsungan kehidupan rumah tangganya, sebagaimana layaknya pria beristri.Â