"Tapi biasanya kan..."
"Kalau Bu Nina menemanimu melakukannya apakah Bu Nina jadi gila?"
Aku terdiam beberapa saat. Bu Nina mungkin ada benarnya. Bu Nina memberikan buku hariannya untuk kubaca. Ia juga menunjukkan buku serupa yang pernah ia kerjakan. Cantik. Sepertinya Bu Nina benar-benar memikirkan tata lerak stiker-stiker dan perpaduan warnanya. Ada keinginan untuk mengikutinya juga.
Lama-lama aku menikmati waktu sendiri. Sendiri seperti menjadi cara baru untuk mengisi energi setelah lelah bermain dengan anak-anak lain. Semakin dewasa, kupikir aku harus pandai berpura-pura (atau istilah kerennya menyesuaikan) seolah diri ini baik-baik saja. Coba bayangkan, betapa dunia tidak berpihak pada orang-orang introver sepertiku---aku dapat istilah itu dari Bu Nina. Dulu semua orang menuntutku untuk bisa berbaur, selalu siap diajak keluar, selalu harus bisa mengimbangi obrolan. Saat-saat menyendiri dicap sebagai bentuk sikap anti-sosial. Jadi, jika aku harus berpura-pura, kukira itu bukan salahku.
Setiap hari Sabtu aku diajak Bu Nina main di taman untuk menepati janjinya. Sabtu adalah hari paling tenteram karena aku tidak akan mengizinkan siapa pun untuk merusak ketenanganku. Aku tidak perlu melihat lalu-lalang orang-orang yang sedang sibuk, hiruk pikuk suara manusia yang merambat ke seluruh penjuru mata angin. Satu lagi, hanya di akhir pekan begini aku bisa melihat kupu-kupu beterbangan di atas bunga kertas yang sudah tumbuh besar, burung tekukur bebas berjalan di atas rerumputan, juga banyak capung bermain di awang-awang.
Di antara embusan angin, terselip namaku sama-samar. Bukan hanya sekali, tetapi sudah berkali-kali. Seperti bisikan lembut yang awalnya kuabaikan lalu kemudian semakin jelas. Apakah aku benar-benar sendiri? Seperti angin yang menghasilkan debur gelombang, begitu jagalah namaku semakin jelas di setiap bisikan itu. Embusan angin lebih terasa dan cukup untuk membuat rambutku yang bervolume ini teracak-acak.
"Siapa di sana?" Aku memberanikan diri meskipun nada suaraku menyatakan sebaliknya. Tidak ada sahutan yang berarti sebab angin tiba-tiba berhenti. Mataku menyapu lahan kosong di depan mataku. Bu Nina pun luput dari mataku. Tidak ada apa pun selain makhluk hidup yang sibuk dengan perilaku alamiah mereka dan kujamin mereka tidak begitu peduli akan keberadaanku.
"Boleh kami bergabung denganmu?" suara tak kasat mata itu akhirnya membuka ruang tanya jawab.
"Kami?" pertanyaan retoris yang terlontar begitu saja.
"Ya, aku tidak sendiri. Sama sepertimu, kami juga merasa kesepian."
Aku keberatan dengan pernyataan wanita tak kasat mata, "Maaf, tetapi saya tidak kesepian. Jika kalian berpikir aku kesepian karena sendirian, kalian keliru. Lagi pula ada Bu Nina," tegasku.
"Jika kau menyendiri karena merasa kesepian, bagaimana?"