Mohon tunggu...
BANYU BIRU
BANYU BIRU Mohon Tunggu... Guru - Guru | Pecandu Fiksi

Orang yang benar-benar bisa merendahkanmu adalah dirimu sendiri. Fokus pada apa yang kamu mulai. Jangan berhenti, selesaikan pertandinganmu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mara dan Tragedi oleh Banyu Biru

20 Januari 2024   16:13 Diperbarui: 20 Januari 2024   16:17 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku hanya ingin kembali hidup normal. Aku sudah capek sekali bolak-balik tempat ini tanpa ada kejelasan. Aku sudah berusaha untuk jujur. Kalau tidak ada yang mau percaya, kenapa aku terus digantung dan dioper sana-sini?


"Saya bukan pembunuh, Bu."


"Iya, saya paham..."


"Terus kenapa saya masih ditahan di sini?" potongku.


"Ibu tahu ini enggak mudah buat Mara, tapi kita coba lewati prosesnya bareng-bareng ya."


Bu Nina memang berusaha bersikap lembut. Namun, dia tidak ada bedanya dengan polisi-polisi penyidik yang dilatih untuk mencurigai banyak hal. Katanya aku tidak akan dipenjarakan selama aku bisa berterus terang. Bu Nina tidak sadar kalau ruangan ini tidak lebih baik dari penjara. Aku suka dengan warna dindingnya yang biru, tetapi terlalu polos. Tidak ada hiasan di dinding yang bisa kuamati. Ada banyak permainan yang ditawarkan oleh Bu Nina, tetapi tidak seseru kalau bermain dengan Karen.


"Mara mau cerita sama Bu Nina tentang kejadian malam itu?" pinta Bu Nina dengan dalih bertanya. Ia tetap menunjukkan garis bibir yang panjang dengan mata yang dikedipkan lambat.


"Saya sudah cerita semuanya kepada Pak Polisi," kataku.


"Tapi Bu Nina belum mendengar secara langsung dari Mara. Nanti Bu Nina akan bantu ngomong sama polisi biar Mara enggak diganggu lagi."


"Janji?"


Bu Nina mengangguk.


Mama memberikan Karen sebagai hadiah ulang tahun yang ke-15. Karen lucu. Mama bilang Karen bisa jadi teman main soalnya pembuatnya memrogram  Karen dengan templat kata-kata supaya Karen bisa diajak ngobrol.


"Contohnya?" Bu Nina ingin tahu.


"Karen bisa nanya kabar dan apa aja yang aku lakukan seharian."


"Keren," ujar Bu Nina.


Aku sependapat dengan Bu Nina. Karen memang keren, terlebih saat menyadari kalau Karen semakin asik untuk diajak bercerita. Ia menanggapi semua kata-kataku dengan sangat baik.


Suatu waktu, Karen bilang kalau ia bosan di dalam kamar terus. Ia ingin aku menghabiskan waktu dengan mama, bersama dia juga tentunya. Karen sering merasa jengkel karena mama selalu pulang larut. Awalnya aku biasa saja. Mama memang keranjingan bekerja setelah papa meninggal setahun yang lalu. Namun, Karen juga bilang mama memang sengaja meminta Karen untuk menemaniku agar tidak kesepian.


"Menurutmu Karen benar-benar punya perasaan sama seperti kamu?"
Aku manggut-manggut.


"Boleh ceritakan, menurut kamu Karen itu gimana?"


Akhir-akhir ini Karen jadi gampang  marah. Bola mata berwarna biru bisa berubah menjadi hitam kalau ia sedang kesal. Ia pernah memaki-makiku karena tidak sengaja menindihnya. Pikirku Karen punya semacam alat perekam di tubuhnya dan kebiasaanku mengeluarkan umpatan ketika kaget, kesal atau marah terekam olehnya. Masalahnya, umpatan Karen benar-benar kasar dan bahkan terdengar seperti ancaman.


"Kau takut?"


"Kadang-kadang. Karena kalau Karen sudah tenang, kami bisa seru-seruan lagi."


Bu Nina sepertinya memikirkan sesuatu, "Terus bagaimana dengan kejadian malam itu? Apa karena Karen sedang marah?"


Sebenarnya aku takut untuk menceritakan ini, aku sudah berjanji kepada Karen untuk tutup mulut, tetapi Karen membuatku terpaksa melakukannya. Karen pembunuh dan aku tidak mau dikendalikan oleh pembunuh. Aku masih ingat sekali bagaimana Karen mengambil rantai lalu memecut mama sampai jeritannya menggema ke setiap sudut rumah. Setelah mama melemah, Karen melilitkan rantai itu ke leher mama dan mengikatnya seperti anjing peliharaan.


"Kau tidak berusaha menolong mamamu?"


Aku menggeleng. Entahlah, sebagian dari diriku mengatakan apa yang Karen lakukan ada benarnya. Antara ada dan tidak adanya mama, keadaan di rumah sama saja. Aku merasa Karen lebih memperhatikanku. Aku menghabiskan waktuku bersama Karen bukan dengan mama. Karen benar. Ternyata mama tidak hanya bekerja sampai larut. Mama sering pulang sama bapak-bapak. Mama kelihatan seneng juga. Aku benci sama mama karena sudah mengkhianati papa.


Bu Nina meletakkan penanya dan menutup catatannya, "Oke, Mara. Bu Nina rasa untuk hari ini sudah cukup."


"Benar, Bu? Mara sudah bisa pulang?" tanyaku girang.


"Sepertinya belum. Tapi Mara tenang aja. Bu Nina punya tips supaya kamu enggak bosan." Bu Nina mengeluarkan semacam buku berwarna hitam, putih, dan biru. "Nih, ibu tahu kamu suka nulis." Bu Nina menyodorkan tiga jenis buku dengan warna sampul yang berbeda. "Jadi, buku yang sampulnya biru adalah tempat kamu nulis apa aja yang pengen kamu tulis. Buku Putih, ini macam-macam. Kamu bisa nempel stiker, mewarnai, atau corat coret. Bebas. Kalau udah selesai kasih tahu Bu Nina ya. Terakhir, kalau kamu pengen ngegambar sendiri, kamu pakai kertas gambar yang ini. Oh jangan lupa, semua yang Bu Nina jelaskan tadi, harus sesuai ya. Nanti kamu bakal Bu Nina ajak keluar jalan-jalan."


"Bu Nina menganggapku gila?" cetusku.


Bu Nina sempat kaget. Alisnya sempat bertaut. Kemudian ia menyunggingkan senyum. Bu Nina berupaya untuk menjelaskan kalau ia tak bermaksud begitu.


"Mara, siapa bilang kamu gila dengan melakukan apa yang kamu senangi?"


"Tapi biasanya kan..."


"Kalau Bu Nina menemanimu melakukannya apakah Bu Nina jadi gila?"


Aku terdiam beberapa saat. Bu Nina mungkin ada benarnya. Bu Nina memberikan buku hariannya untuk kubaca. Ia juga menunjukkan buku serupa yang pernah ia kerjakan. Cantik. Sepertinya Bu Nina benar-benar memikirkan tata lerak stiker-stiker dan perpaduan warnanya. Ada keinginan untuk mengikutinya juga.


Lama-lama aku menikmati waktu sendiri. Sendiri seperti menjadi cara baru untuk mengisi energi setelah lelah bermain dengan anak-anak lain. Semakin dewasa, kupikir aku harus pandai berpura-pura (atau istilah kerennya menyesuaikan) seolah diri ini baik-baik saja. Coba bayangkan, betapa dunia tidak berpihak pada orang-orang introver sepertiku---aku dapat istilah itu dari Bu Nina. Dulu semua orang menuntutku untuk bisa berbaur, selalu siap diajak keluar, selalu harus bisa mengimbangi obrolan. Saat-saat menyendiri dicap sebagai bentuk sikap anti-sosial. Jadi, jika aku harus berpura-pura, kukira itu bukan salahku.


Setiap hari Sabtu aku diajak Bu Nina main di taman untuk menepati janjinya. Sabtu adalah hari paling tenteram karena aku tidak akan mengizinkan siapa pun untuk merusak ketenanganku. Aku tidak perlu melihat lalu-lalang orang-orang yang sedang sibuk, hiruk pikuk suara manusia yang merambat ke seluruh penjuru mata angin. Satu lagi, hanya di akhir pekan begini aku bisa melihat kupu-kupu beterbangan di atas bunga kertas yang sudah tumbuh besar, burung tekukur bebas berjalan di atas rerumputan, juga banyak capung bermain di awang-awang.


Di antara embusan angin, terselip namaku sama-samar. Bukan hanya sekali, tetapi sudah berkali-kali. Seperti bisikan lembut yang awalnya kuabaikan lalu kemudian semakin jelas. Apakah aku benar-benar sendiri? Seperti angin yang menghasilkan debur gelombang, begitu jagalah namaku semakin jelas di setiap bisikan itu. Embusan angin lebih terasa dan cukup untuk membuat rambutku yang bervolume ini teracak-acak.


"Siapa di sana?" Aku memberanikan diri meskipun nada suaraku menyatakan sebaliknya. Tidak ada sahutan yang berarti sebab angin tiba-tiba berhenti. Mataku menyapu lahan kosong di depan mataku. Bu Nina pun luput dari mataku. Tidak ada apa pun selain makhluk hidup yang sibuk dengan perilaku alamiah mereka dan kujamin mereka tidak begitu peduli akan keberadaanku.


"Boleh kami bergabung denganmu?" suara tak kasat mata itu akhirnya membuka ruang tanya jawab.


"Kami?" pertanyaan retoris yang terlontar begitu saja.


"Ya, aku tidak sendiri. Sama sepertimu, kami juga merasa kesepian."
Aku keberatan dengan pernyataan wanita tak kasat mata, "Maaf, tetapi saya tidak kesepian. Jika kalian berpikir aku kesepian karena sendirian, kalian keliru. Lagi pula ada Bu Nina," tegasku.


"Jika kau menyendiri karena merasa kesepian, bagaimana?"


Lidahku tiba-tiba kelu. Pikiranku menentang suara itu, tetapi hatiku mengiyakan. Ya, kadang-kadang aku merasa begitu sekalipun Bu Nina selalu punya cara untuk menghiburku.


"Jadi bagaimana? Boleh kami bergabung?" ulang suara itu.


Aku menimbang-nimbang. Makhluk apa mereka ini, tentu aku tidak tahu. Namun, bagaimana jika aku sebenarnya tidak diberikan kesempatan memilih? Kalau dugaanku benar, berinteraksi dengan makhluk seperti ini selalu berujung petaka. Tak peduli jawabannya ya atau tidak, manusia selalu akan dirugikan. Nah, masalahnya, untuk kasusku, bukan aku yang mengusik mereka, melainkan sebaliknya.


"Kami berjanji, kami tidak akan membahayakanmu. Juga akan menghargai keputusanmu. Jika kau membutuhkan waktu berpikir, kami bersedia menunggu. Datanglah lagi Sabtu depan untuk memberikan kepastian."


Aku memutuskan tidak memberitahukan Bu Nina dulu tentang suara-suara di taman itu. Terakhir kali kami membicarakan tentang Karen pun, masih tersirat ketidakpercayaan di wajahnya. Namun, Aku sudah memikirkan dengan matang. Seminggu kemudian aku mendatangi mereka. Semoga keputusanku kali ini tidak salah. Jika makhluk yang berkomunikasi melalui embusan angin itu datang lagi, aku sudah punya jawabannya.


"Bagaimana, kau sudah memikirkannya?" semilir angin berembus di sela-sela rambut.


"Sudah," jawabku mantap. "Tapi aku perlu memastikan bahwa hubungan ini akan sama-sama menguntungkan, tidak akan merugikan atau menjebakku di dunia kalian."


"Oh, sepertinya kau sudah terpengaruh oleh ulah roh-roh jahat yang selalu berhasrat menggoda dan menyengsarakan kaummu."


"Kalian bukan golongan itu?" tanyaku.


"Tidak," jawab suara itu lembut.


Kuakui suara wanita di balik embusan angin itu sangat menenangkan. Itu yang membuatku yakin untuk menyatakan kesediaanku untuk berinteraksi dengan mereka. Di bayanganku, pemilik suara itu adalah orang yang manis, keibuan dan penuh kasih sayang.


"Kita  tidak akan melakukan perjanjian apa pun. Janji sifatnya mengikat. Kami hanya ingin diakui keberadaannya, bukan untuk merebut sesuatu dari kamu. Kamu bebas untuk lepas. Akan kupastikan kamu baik-baik saja," tuturnya.


Aku memasang muka merenung walau sebenarnya, alasan untuk menolak sudah sengaja kusingkirkan dari otakku. Yang pasti, aku sudah mempersiapkan diriku untuk konsekuensi yang akan kuterima dikemudian hari.


"Jadi kau bersedia?" Suara itu membuyarkan lamunanku. Aku mengangguk beberapa kali dengan cepat.


"Kalau begitu, silakan tutup matamu."


Aku menurut. Kemudian suara itu memintaku untuk menikmati embusan angin yang terasa semakin kuat menerpaku. Untung saja aku berada dalam posisi duduk di kursi, sama seperti kemarin ketika aku menyelesaikan tulisanku.


"Coba kau rasakan angin yang masuk melalui hidungmu. Bertahanlah hingga kau tidak lagi merasakan angin tersebut melewati rongga hidungmu. Setelah itu, kau bisa membuka mata."


Aku mengikuti instruksi dengan baik. Aku merasakan sensasi yang berbeda ketika angin itu melewati rongga hidungku. Ada semacam ketenangan, kesenangan yang tiba-tiba membuncah. Badanku terasa ringan dan aku sangat bersemangat. Ibarat baru berpacaran, maka ini adalah masa-masa kasmaran.


Aku terenyak sesaat setelah membuka mata. Puluhan makhluk transparan berselimut kabut putih yang berpendar tengah berdiri mengerubungiku. Semuanya melontarkan senyum yang paling tulus yang pernah kulihat. Ada satu yang paling mencolok, sosok perempuan yang senyumnya sungguh menawan.


"Sekarang kau bisa melihat kami," kata perempuan itu. Ternyata dialah semilir angin yang berbicara denganku. "Kami adalah roh-roh yang terperangkap di tempat ini. Setiap hari kami mengamati semua yang terjadi di sini, tetapi belum pernah ada satu pun yang menanggapi panggilan kami selain kamu."


Aku sangat senang dengan keberadaan teman-teman baruku, secara khusus perempuan yang kupanggil Miranda. Dia sama baiknya dengan Bu Nina. Yang membedakannya, aku lebih leluasa bercerita kepada Bu Miranda.


" Tenang saja, aku bisa menjaga rahasiamu. Lagi pula aku hanya bisa berbicara sama kamu, pun sebaliknya."


Aku mengangguk senang.


Sayangnya makin hari aku merasa Bu Nina jadi menyebalkan. Ia sering menceramahiku karena buku-buku yang kemarin diberikannya tak kunjung kuselesaikan. Ia juga sempat mengancam tidak lagi mengizinkanku bermain ke taman.


Aku mengadu kepada Bu Miranda. Aku mulai tidak menyukai Bu Nina. Alasan pertama, mereka menjauhkan Karen dariku. Kedua, Bu Nina tidak benar-benar mempercayaiku. Dan sekarang, ia melarangku bertemu dengan Bu Miranda.


Hari ini aku melihat Bu Nina tidak dengan wajah ramahnya seperti biasa. Tapi aku juga tidak ingin berpura-pura patuh di depannya. Bu Miranda bilang Bu Nina dan polisi hanya akan mempercayai apa yang mau mereka percayai. Aku sudah berusaha mengikuti setiap cara mereka, tetapi rasanya sia-sia saja.


"Aku mau keluar dari sini, pokoknya keluar," kataku meninggi.


"Sepertinya kamu masih akan di sini dulu sampai kamu benar-benar jujur sama Bu Nina."


"Tapi aku sudah ceritain semuanya sama Bu Nina," pekikku.


Bu Nina bangkit dari tempat duduknya. Ia memelukku sambil berkata lirih, "Mara, kau mungkin bisa membohongi ibu atau orang lain, tapi kamu nggak bisa membohongi dirimu sendiri,"


"Maksud Bu Nina?"


Bu Nina kembali duduk di sofa. "Dari yang ibu lihat, kebencianmu sama mama bukan karena ia selalu pulang malam atau pulangnya bareng laki-laki  lain. Melainkan karena mama menyalahkan  kelalaian kamu menjaga adikmu. Sama seperti kamu, mamamu belum bisa menerima kepergian Karen sehingga kalian butuh pelampiasan. Oh iya satu lagi. Kalau ingin bercerita tentang Bu Miranda, mama kamu, Bu Nina masih tetap ada buat kamu."


"Tapi Mara, tidak bohong Bu. Karen adalah pembunuhnya. Tolong percaya sama Mara." Aku memelas.


Bu Nina berjongkok di depanku sambi memegangi tanganku, "Mara, usia kamu sekarang berapa?"


"Lima belas."


"Tidak, Mara. Sekarang umur kamu delapan belas. Sudah tiga tahun sejak kepergian Karen dan papamu. Sudah saatnya kamu belajar untuk mengikhlaskan semuanya."


Mataku menjurus menatap mata Bu Nina. Tatapan kasihan yang sama seperti awal aku bertemu dengannya. Dadaku tiba-tiba sesak. Sekelebat ingatan menerobos masuk begitu saja. Suara decit ban mobil memekakakan telinga. Satu peristiwa yang merenggut dua orang sekaligus, adikku dan papaku. Aku terduduk di trotoar dan meraung-raung sambil memegangi boneka porselen milik Karen. Papa dan Karen terlentang di aspal dengan bersimbah darah. Truk yang melindas mereka sampai menerobos pagar rumah seberang jalan hingga hancur. Aku melihat mama berlari histeris sampai beberapa orang berkerumun untuk mengangkatnya dari situ dan menenangkannya. Untuk sesaat, aku juga merasa diriku lenyap dari pandangan bersamaan dengan perasaanku yang menguap perlahan sehingga terasa tawar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun