Matahari telah condong ke barat. Angin kemarau berhembus pelan, tetapi sangat menyejukan. Satu persatu burung-burung meninggalkan sarangnya dan terbang menggerombol melintasi biru angkasa yang lebar membentang.Â
Seorang gadis sedang duduk diayunan menyaksikan anak-anak desa yang sedang bermain di bawah kerindangan pohon populous. Mereka bergembira berlari kesana kemari dan tertawa seperti tidak memiliki beban.
Namun, gadis yang duduk diayunan itu hanya duduk merenung. Dia tidak terpengaruh oleh keramaian anak-anak. Dia tengah asyik dengan lamunannya. Pandangannya menatap lurus ke depan, tetapi pikirannya jauh menerawang. Ia sedang memikirkan segala hal yang membuat hatinya cemas.
Tiba-tiba rintik-rintik hujan membasuhi bumi, awan hitam yang menutupi birunya langit. Tidaklah terdengar lagi suara burung-burung yang berkicau karena riangnya.Â
Saat itu, hujan telah membuat gadis cantik itu terbangun dari lamunannya. Anak-anak yang tadinya bermain mulai berhamburan mencari tempat untuk berteduh.
"Petrichor." Gumamnya. Gadis itu sangat menyukai aroma hujan pertama yang membasahi tanah kering. Aroma yang mengingatkannya pada sosok pahlawan baginya yaitu ayahnya. Ayahnya adalah aroma hujan yang selalu ia rindukan. Kasih sayang dan kelemah lembutannya sangat menenangkan seperti aroma petrichor.Â
Baginya aroma hujan pertama membasahi tanah adalah temannya. Karena aroma itu selalu mengingatkan pada dinginnya kesendirian dan pada rindu yang tak berujung temu. Aroma itu membuatnya percaya bahwa hujan akan berhenti pada saatnya. Bahwa pelangi akan datang setelahnya. Dan bahwa harapan itu selalu ada, selama kita masih mempercayainya dan bisa memperjuangkannya.
Hujan sudah mulai reda dan gadis itu memutuskan untuk pulang karena setelah hujan reda, senja sudah lenyap di lahap kegelapan.
Tok! Tok! Tok!
Entah sudah berapa kali ia mengetuk pintu tetapi tidak ada seorang pun yang mau membukakan pintu untuknya. Pintu rumah nya terkunci, padahal saat ini masih sekitar pukul 07.00 itu artinya ia pulang belum terlalu larut. Terpaksa ia harus tidur di luar lagi, dengan kedinginan malam dan baju yang lumayan basah karena terkena air hujan tadi.
Tiba-tiba air matanya turun membasuhi pipinya. Gadis itu bertanya kepada dirinya sendiri dengan air mata di ujung kelopaknya.
"Kapan semua kesediham ini akan berhenti mengguyurku tuhan?"
"Aku rindu ayah dan ibu.. aku ingin hidup seperti dulu lagi saat mereka masih ada."
"Begitu berat hidup yang aku jalani setelah ibu dan ayah pergi." Gumamnya lirih dengan air mata yang terus saja mengalir sambil menatap langit malam.
Gadis itu yang tadinya menatap langit hitam yang di taburi bintang-bintang kini menatap jalanan dengan pandangan kosong. Ia menenangkan pikirannya sendiri, tapi tetap saja air matanya terus mengalir dengan deras. Hatinya bagaikan dihujam ombak, rasanya sakit sekali.
BYURRRR!!!!!
Suara tumpahan air membasahi wajah seorang gadis yang masih terlelap dalam mimpi indahnya.
"BANGUN META! SUDAH PUKUL BERAPA INI? DASAR ANAK NAKAL YANG TIDAK TAU DIRI!" ujarnya penuh amarah.
Ya, gadis itu bernama Meta. Nama panjangnya adalah Ameta Putri Anjani. Gadis malang yang hidup dengan ibu tiri dan kakak tirinya yang jahat. Orang tuanya sudah meninggal dunia. Ia selalu berandai-andai. Andai dahulu ayahnya tidak menikah dengan wanita jahat itu. Mungkin hidupnya tidak akan seperti sekarang ini.
Percuma saat ini ia tinggal dirumah besar nan mewah itu. Tetapi tidak mendapat kebahagian. Dulu ia hidup bak seorang putri kerajaan. Tetapi sekarang hidup nya berubah tiga ratus enam puluh derajat. Sekarang ia hidup seperti pembantu. Padahal itu dirumahnya sendiri. Rumah yang harusnya menjadi tempat ternyaman dan tempat berpulang, kini sudah tidak ada lagi kenyamanan dan kehangatan di rumahnya. Terkadang ia sudah muak dan ingin melarikan diri ke ujung dunia, tetapi ia belum pernah menemukan waktu yang tepat.
"HEH! CEPAT BANGUN! APA SATU EMBER AIR TIDAK CUKUP UNTUK MEMBANGUNKAN MU HAH?" bentak ibu tirinya.
Seketika gadis itu terbangun dari mimpinya dengan baju yang basah kuyup kedinginan akibat air siraman dari ibu tirinya. Siren kakak tirinya hanya cekakak cekikik menertawakan meta.
"Bereskan rumah! Dan ketika ibu pulang semuanya harus sudah beres!" ucapnya.
"Iya bu.." ucap Meta yang terdengar lesu.
Mau tidak mau meta harus mengerjakan semuanya. Tetapi ketika ia sedang membersihkan kamar ayah dan ibunya dulu, ia menemukan kotak. Kotak itu terasa tidak asing baginya. Rasanya seperti de javu. Dari pada ia mati penasaran, ia membuka kotak itu ternyata isinya adalah foto-foto saat ia masih kecil bersama orang tuanya. Tetapi ada seorang laki-laki yang umurnya mungkin lebih lima tahun darinya.
Meta langsung terburu-buru membawa kotak itu ke kamarnya. Ia takut akan ketahuan oleh ibu tirinya. Saat sedang berjalan melewati tangga tiba-tiba terlintas pikiran untuk merantau. Dan ia juga ingin melanjutkan kuliahnya. Ia sudah muak diremehkan oleh ibu tiri dan kakak tirinya. Dan disini juga tidak ada kerabat atau keluarga yang dekatnya. Saudara-saudara nya entah ada dimana. Ia seperti anak ayam yang kehilangan induknya.
Gadis itu mengemasi barang-barang yang menurutnya penting. Untung saja ia masih memiliki uang simpanan. Dan jika nanti ia susah berhasil sukses ia akan kembali lagi kesini dan membawa semua hak dirinya. Bagi meta sekarang ibu tirinya bukan penghambat untuk ia maju, tetapi bagi meta sekarang ibu tirinya adalah orang yang mengharuskan meta untuk bangkit dari keterpurukan betapa kejam nya dunia ini.
"Huh.. huh.. huh.. stop pa, maaf apakah saya bisa ikut sampai ke jalan raya?" Tanyanya dengan deru nafas yang menggebu karena berlari. Ia takut ibu tirinya pulang lalu mencari dan mengejarnya.
"Oh, mangga neng silahkan." Ucap bapak supir yang mengendari mobil bak terbuka itu yang membawa hasil panen untuk dijual lagi ke kota. Biasanya ke kota Jakarta.
Karena di daerah ini adalah daerah pengunungan jadi sangat jarang sekali ada kendaraan. Walaupun dirumah nya ada mobil milik ayahnya tapi ia tidak bisa menjalankannya. Dan tujuannya ia pergi dari rumahnya adalah untuk memulai hidupnya yang baru, ia ingin membuka lembaran-lembaran baru dengan suasana baru, teman baru, tempat baru dan segala hal yang tidak menyakitnya lagi baginya.
"Ngomong-ngomong neng mau kemana ini teh?" Tanya si bapa.
"Saya mau merantau pak, saya ingin memulai hidup baru." Jawab meta dengan sopan.
"Oh, kenapa merantau neng? Bukannya neng anaknya Alm. Pak Surya ya? Hidup neng pasti tercukupi, tidak ada yang perlu neng cemaskan lagi, walaupun bapak sudah tidak ada, tapi harta yang di tinggalkan cukup untuk hidup neng." Tutur pa jarwo.
Meta membalas pak Jarwo dengan senyuman yang sangat lebar. Orang-orang mengiri hidupnya senang dengan ibu tirinya itu. Iya, jelas orang akan mengira seperti itu, karena perlakuan ibu tirinya kepada Meta di depan orang dan di dalam rumah sangat berbeda. Di depan banyak orang ia akan memperlakukan Meta bagaikan seorang putri sikapnya berubah bagaikan malaikat. Tetapi jika di rumah ibu tirinya itu bagaikan ratu iblis.
"Hehe, iya saya hanya ingin mencari suasana baru saja pak." Jawab meta lagi dengan lirih.
Air matanya tiba-tiba menetes lagi, ia memalingkan wajahnya ke jendela mobil. Ia ingin menutupi wajahnya yang basah karena air mata. Ia tidak ingin pak Jarwo mengira ada apa-apa. Â Meta terus saja menangis dalam diam hatinya sangat teriris-iris.
Hening. Itulah suasana di dalam mobil pak Jarwo. Kini hanya terdengar suara mesin dan radio yang sudah tidak berfungsi lagi.
"Tidur saja neng, nanti saya akan membangunkan neng jika sudah sampai. Kelihatan nya neng Meta sangat cape ya, jadi gunakan perjalanan ini untuk tidur saja." Ucap pak Jarwo tiba-tiba memecah ke hening.
"Iya pak terimakasih." Jawab meta di sertai dengan senyuman.
Awalnya Meta hanya menatap jalanan, akibat ia kebosenan ia juga akhirnya tertidur juga. Pak Jarwo hanya menatap pilu Meta, ia sebenarnya sangat tahu betul apa yang ia rasakan saat ini. Karena pak Jarwo adalah mantan suaminya bu Winda, yang sekarang menjadi ibu tirinya. Mantan suaminya itu meninggalkan dia demi menikah dengan Surya ayahnya Meta. Setelah beberapa waktu mendengar ibunya Meta meninggal dunia. Winda selalu mendekati Surya. Padahal ia juga memiliki suami. Tetapi karena Winda tergila-gila oleh harta dan tidak ingin lagi hidup melarat bersama suaminya yang hanya seorang supir.
Meta dengan ibu kandungnya itu wajah dan sifatnya sangat mirip sekali, bagaikan pinang dibelah dua. Setiap melihat Meta ayahnya itu selalu terbayang-bayang almarhum istrinya itu. Dan ia sudah berjanji tidak akan menikah lagi. Tetapi karena racuan wanita gila harta itu, ayah Meta terpincut. Ayahnya seperti diguna-guna.
Matahari sudah menampakkan wujudnya dengan sempurna dilangit biru ditambah awan yang indah. Sungguh pagi yang sangat cerah. Sinarnya kini telah menyebar keseluruh penjuru kota Jakarta, memberikan kehangatan di pagi hari untuk semua makhluk hidup.
Pagi telah datang. Artinya aktivitas sudah kembali di mulai. Kendaraan sudah memenuhi semua jalanan kota ibukota, tampak orang-orang sedang berlalu lalang mengawali aktivitas mereka di pagi hari. Mereka terlihat sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Ada yang menuju ke kantor, ada yang menuju sekolah dan banyak lagi.
Tetapi Meta, gadis ini masih tertidur dengan manis nya. Pak Jarwo tidak berani membangunkan gadis itu, gadis itu terlihat sangat letih seperti kurang istirahat. Ia akan menunggu beberapa saat lagi sampai meta terbangun dari mimpinya. Karena ia harus pergi lagi ke desa.
"Hoammmm.."
"Astaga jam berapa ini?"
"Kenapa pak Jarwo tidak membangunkan ku?"
KRUK, KRUK.. bunyi perut lapar
"Haduh, lapar sekali. Aku belum makan dari kemarin." Gumam nya rusuh.
"Oh, neng Meta sudah bangun toh, ini ambil makanan untuk sarapan, tapi maaf bapak buru-buru sekali. Bapak harus kembali lagi ke desa."
"Makasih banyak sekali pak atas semuanya."
Rasanya terasa mimpi ia bisa bebas dari rumah itu. Kini saatnya ia mencari tempat tinggal dan mencari pekerjaan dengan ijazah hanya sebatas SMA itu.
Meta sudah membuat banyak lamaran pekerjaan, ia tidak akan putus asa untuk melanjutkan hidupnya. Jakarta sangat panas penuh gedung pencakar langit, sangat berbeda dengan desanya yang sejuk dan asri. Jalanan sangat macet, suara klakson kendaraan terdengar menggema. Ia harus terbiasa dengan hidupnya yang baru.
2 minggu telah berlalu
Kring.. Kringg.. Kringgg
Terdengar dering suara handphone.
"Hallo, selamat pagi, apakah ini dengan ibu Ameta?"
"Selamat siang, iya dengan saya sendiri."
"Perkenalkan saya Jasmine, HRD PT Permata Jaya. Saya sudah membaca lamaran yang ibu kirimkan, bisa ibu datang ke kantor kami untuk melanjutkan interview lebih lanjut lagi?"
Setelah perbincangan di telephone itu, kini Meta si gadis desa itu sudah resmi bekerja satu minggu yang lalu, ia bekerja di bagian resepsionis. Baginya yang hanya lulusan sekolah menengah atas itu posisi yang sangat baik. Ia sangat bersyukur dengan apa yang telah tuhan berikan padanya saat ini. Dengan gajinya sebagai resepsionis ia juga melanjutkan sekolah lagi ke jenjang yang lebih tinggi yaitu kuliah. Ia bekerja sambil kuliah juga.
Hidup itu seperti roda berputar, kadang diatas, kadang  pula di bawah. Dan Meta percaya akan hal itu. Mungkin saat ini dunianya sedang di bawah, tapi ia juga sedang memperjuangkan agar dunia nya bisa ada di atas.
"DOOOR!!" teriak seseorang sangat menggelegar membelah angkasa.
Gadis yang sedang duduk di meja kebesarannya tersentak akan suara nyaring sahabatnya itu. Gadis itu masih merasa bahwa semua ini mimpi, ia berhasil sampai  titik ini. Ia sudah mendapatkan posisi sebagai manager dengan gelar S2. Sahabatnya itu adalah Ainun. Ainun adalah teman semasa kuliahnya dulu, dan sampai sekarang menjadi sahabatnya Meta.
Lima tahun sudah berlalu, hidup nya sangat terombang ambing, banyak suka duka yang ia lewati selama lima tahun itu hidupnya tidak berjalan mulus banyak juga batu krikil yang ia lewati. Dan ia menemukan kakak laki-lakinya yang sudah lama terpisah. Ternyata laki-laki yang ada di foto semasa ia kecilnya itu adalah kakak laki-lakinya yang tinggal bersama bibinya.
Hidup Meta sangat berubah, senyuman manis selalu terpampang di wajahnya. Dan ia akan mengambil haknya. Ia akan mengambil rumahnya yang dulu ia tinggali dengan keluarganya. Karena hanya di rumah itulah kenangan yang tersimpan dengan orang tua kandungnya. Walaupun di rumah itu juga menyimpan kenangan pahit.
Sekarang ia bisa membuktikan kepada orang-orang yang meremahkannya, orang-orang yang memandangnya rendah. Karena dengan semua perlakuan mereka ia bisa bangkit dari keterpurukan. Dan ia juga bisa membanggakan orangtuanya di surga.
End
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H