"Maaf. Aku nggak bermaksud mengungkit kesedihan dan dukamu."
"Tanpa diungkit pun, itu selalu ada menghantui hidupku."
"Aku turut berduka ya. Semoga ayahmu sudah tenang di sisi-Nya."
Hening lagi. Jus stroberi masih setia menampung bulir air mata Adriani. Adriani tak menghiraukan kantin yang awalnya sepi kini mulai ramai didatangi mahasiswa yang sekadar ingin minum kopi atau sarapan sebelum memulai perkuliahan.
"Kita sama-sama kehilangan orang yang kita sayang. Kamu kehilangan ayah, dan aku kehilangan kakakku satu-satunya," ucap Delfan.
Adriani hanya menatap lelaki berkemeja hitam itu dengan nanar.
"Kakakmu kenapa?" tanya Adriani pelan.
"Dipenjara," jawab Delfan singkat, bibirnya sedikit bergetar.
Adriani menatap Delfan dengan serius. Ada tanda tanya dalam keningnya, tetapi ia sengaja tidak bertanya dan memilih melanjutkan ceritanya.
"Ayahku meninggal karena dibunuh," ucap Adriani sambil menunduk lagi, menatap es batu yang mulai mencair dalam gelas yang ia pegang.
Mereka berdua kini terdiam dan membeku bersama, larut dalam kesedihan masing-masing. Sejenak mata mereka bertemu, air mata kini berjatuhan di pipi mereka. Seperti menebak seluruh hal yang terjadi, pikiran mereka terlempar ke kenyataan pahit yang sama-sama sedang mereka hadapi.