cinta. Namun, belum sempat cinta yang bermekaran itu dipetik, mereka layu, mati, dan hanya menanggalkan tangkai keriput di hati masing-masing. Kisah ini berawal dan berakhir dengan air mata dalam segelas jus stroberi.
Sebuah headline berita yang tengah viral di media massa membuat hidup dua manusia berubah. Mereka bermula sebagai insan yang saling jatuh***
Gadis dengan kemeja merah marun dan rok rimpel hitam itu nampak anggun berjalan memasuki area kantin kampus. Wajahnya bersemu merah segar seperti stroberi yang baru dipetik dari kebun. Delfan tak sedetikpun mengalihkan pandangan dari gadis itu.Â
Delfan sering melihatnya dan melayaninya ketika ia memesan di kedai jus buahnya. Adriani namanya. Ia tahu sebab setiap pesanan harus disertai nama pemesan.Â
Adriani memang terlihat sering sendirian dan tidak punya banyak teman. Tapi dia terlihat begitu mandiri dan percaya diri. Hal itu menjadi daya tarik sendiri bagi Delfan.Â
Selain parasnya yang cantik bahkan saat tidak tersenyum, cara bicaranya yang tegas namun tenang semakin meluluhkan hati setiap lawan bicaranya.Â
"Jus stroberi satu, tanpa susu, tanpa gula, esnya sedikit saja," pesan Adriani.
Delfan yang diajak bicara itu justru terdiam mematung melihat wanita yang ia puja kini berada di hadapannya dan berbicara padanya.
"Kak?" panggil Adriani memastikan Delfan mendengar pesanannya karena orang itu justru terlihat melamun. Delfan yang grogi akhirnya mengangguk cepat, salah tingkah.
Hari-hari berlalu. Adriani cukup sering mampir ke kantin untuk sekadar membeli jus stroberi. Delfan pun memanfaatkan pekerjaannya untuk bertemu gadis pujaan hatinya itu. Hingga setiap Adriani datang, ia tak perlu lagi menyebutkan pesanannya secara detail. Justru Delfan lah yang mengkonfirmasi pesanan itu langsung.
"Seperti biasa ya? Jus stroberi, tanpa susu, tanpa gula, es sedikit?"
Adriani mengangguk tersenyum. Lama kelamaan ia ikut salah tingkah karena melihat Delfan selalu salah tingkah setiap berbicara dengannya.
"Aku Adriani," Adriani mengulurkan tangan ke arah Delfan ketika lelaki itu mengantarkan pesanan ke mejanya.
"Eh, salam kenal Adriani. Aku Delfan," balasnya kikuk, sebab ia sudah tahu nama gadis itu. Ia menggaruk belakang telinganya yang tidak gatal.
"Kamu sibuk?" tanya Adriani. Kantin sedang sepi karena sore kian beranjak, sebentar lagi waktunya kantin tutup. Hanya ada beberapa mahasiswa duduk-duduk dan sebagian kedai sudah dibereskan dan dibersihkan.
"Nggak. Kenapa?" jawab Delfan sambil mengangkat bahu, menyapu pandangan ke sekeliling kantin yang mulai sepi.
"Bisa temenin ngobrol?"
Delfan patah-patah mengangguk dan duduk di hadapan Adriani yang sedang asyik menyedot jusnya.
"Kamu suka banget jus stroberi?" tanya Delfan sambil memutar bola mata, menghindari tatapan Adriani.
"Iya, hehe," jawab Adriani sambil tersenyum.
"Nggak pernah beli di kedai lain?"
"Nggak, rasanya beda. Enak buatan kamu."
Delfan salah tingkah lagi.
"Kamu semester berapa?" tanya Adriani sambil mengaduk-aduk jus yang di pegangnya.
"Tujuh. Tapi sedang cuti."
Adriani mengangguk sambil ber-oh pelan.Â
"Kalau kamu?" Delfan balik bertanya.
"Sama."
"Cuti juga?"
"Bukan. Sama-sama semester tujuh."
Delfan menanggapi dengan tertawa kecil sambil mengangguk. Barisan giginya yang rapi dan lesung pipi di kedua pipinya berhasil menerbitkan debar di hati Adriani. Suara tawanya seperti candu yang menggema masuk ke dalam segarnya jus stroberi yang ia minum.
"Kamu nggak tanya kenapa aku cuti?" Delfan bertanya dengan sudut mata mendelik jahil.
"Nggak. Tapi, kalau mau ngasih tahu, aku akan dengar dengan senang hati."
"Aku harus cari uang dulu," balas Delfan sambil menatap kedainya. Adriani mengangguk penuh simpati, lalu mengepalkan kedua tangannya sambil berucap, "Semangat!"
"Jangan lupa besok datang lagi." Delfan berkata sambil tak bisa menahan senyumnya.
Selang beberapa menit, Adriani menyedot jus stroberi sambil menunduk, pikirannya mendadak mengembara ke dunianya yang penuh tekanan dan masalah hidup yang menganga, siap menelannya bulat-bulat. Â Bulir air matanya jatuh ke dalam gelas jus. Ia menangis tanpa suara. Kantin berjalan seperti biasa, seolah tak ada yang tahu bahwa gadis itu sedang menangis di balik poni dan rambut panjangnya.
"Kamu nggak tanya kenapa aku menangis?" tanya Adriani dengan sisa isaknya.
"Nggak. Tapi, kalau mau ngasih tahu, aku akan dengar dengan senang hati."
Adriani tertawa. Pipinya bersemu merah lagi. Harinya yang begitu kusut berhasil disegarkan oleh segelas jus stroberi buatan Delfan. Kepahitan demi kepahitan yang ia telan selama ini berhasil berkurang sejak ia menangkap senyum Delfan setiap hari, di kantin itu.
***
Satu minggu berlalu, Adriani kembali mengunjungi kantin kampus, tetapi ia tak kuasa untuk memesan apapun. Dia tak bisa lagi menyegarkan pikirannya dengan jus stroberi.Â
Sehingga setidaknya, ia bisa sedikit menetralkan kepahitan hidupnya dengan melihat senyum manis lelaki favoritnya. Adriani hanya duduk di depan kedai, mengamati gerak gerik Delfan yang sibuk. Sesekali mereka bertemu pandang dan tersenyum. Delfan yang sudah melayani semua pembelinya, kini memutuskan untuk mendekati gadis yang telah dinantinya.
Mata mereka bertemu pada satu titik, segelas jus stroberi dengan warna merah khas stroberi, tanpa susu, tanpa gula, dan sedikit es.Â
"Jus stroberinya gratis," ujar Delfan membuka obrolan.
Adriani masih diam. Matanya berair berusaha membendung air mata.
"Aku nggak suka jus stroberi," ujarnya kemudian.
"Eh kenapa? Selama ini kamu selalu pesan itu."
"Nggak papa."
"Kenapa?" tanya Delfan mendesak.
Hening.
"Maaf kalau aku terlalu ikut campur. Cuma khawatir saja, setelah perkenalan pertama kita, kamu malah hilang," ujar Delfan dengan kekhawatiran yang terlukis di wajahnya.
Adriani terdiam lagi. Delfan menuju kedai dan mengambil air mineral.
"Kamu seminggu ini nggak kelihatan," kata Delfan setelah menaruh botol mineral di sebelah gelas jus stroberi yang terabaikan.
Adriani justru menangis. Ia meraih gelas jus stroberi di hadapannya, tetapi hanya ia pegang di depan dadanya. Ia menunduk, air matanya jatuh ikut larut dalam stroberi yang telah hancur dan bercampur air itu.Â
"Ayahku meninggal seminggu yang lalu," ujar Adriani mulai bercerita. Hening sesaat.
"Maaf. Aku nggak bermaksud mengungkit kesedihan dan dukamu."
"Tanpa diungkit pun, itu selalu ada menghantui hidupku."
"Aku turut berduka ya. Semoga ayahmu sudah tenang di sisi-Nya."
Hening lagi. Jus stroberi masih setia menampung bulir air mata Adriani. Adriani tak menghiraukan kantin yang awalnya sepi kini mulai ramai didatangi mahasiswa yang sekadar ingin minum kopi atau sarapan sebelum memulai perkuliahan.
"Kita sama-sama kehilangan orang yang kita sayang. Kamu kehilangan ayah, dan aku kehilangan kakakku satu-satunya," ucap Delfan.
Adriani hanya menatap lelaki berkemeja hitam itu dengan nanar.
"Kakakmu kenapa?" tanya Adriani pelan.
"Dipenjara," jawab Delfan singkat, bibirnya sedikit bergetar.
Adriani menatap Delfan dengan serius. Ada tanda tanya dalam keningnya, tetapi ia sengaja tidak bertanya dan memilih melanjutkan ceritanya.
"Ayahku meninggal karena dibunuh," ucap Adriani sambil menunduk lagi, menatap es batu yang mulai mencair dalam gelas yang ia pegang.
Mereka berdua kini terdiam dan membeku bersama, larut dalam kesedihan masing-masing. Sejenak mata mereka bertemu, air mata kini berjatuhan di pipi mereka. Seperti menebak seluruh hal yang terjadi, pikiran mereka terlempar ke kenyataan pahit yang sama-sama sedang mereka hadapi.
"Kakakku jadi pelaku pembunuhan, meracun seorang bupati," Delfan bicara pelan namun getaran dalam tubuhnya sangat kuat.
Adriani terbelalak dengan air mata yang kian deras membasahi pipinya yang kaku, ia berkata, "Ayahku diracun lewat jus stroberi." Gadis itu meremas gelas kaca yang ia pegang.
"Kakakku melakukannya karena didesak ekonomi, dan ingin membuatku segera memulai kuliah lagi." Delfan melanjutkan ceritanya tanpa menatap Adriani sedikit pun.
"Ayahku dibunuh padahal ia hanya sedang minum jus stroberi di kafe. Ia bahkan menyuruhku mencoba jus itu jika suatu hari berkunjung ke kafe itu."
"Ayahmu...seorang bupati?" Delfan bertanya sambil menahan guncangan tubuhnya.
"Kakakmu...waiter di kafe...sekaligus..." Adriani menjeda kalimatnya.
"Pembunuh bayaran?" lanjut Adriani setelah mengatur napasnya yang mulai sesak.
Hening. Mata mereka yang saling menjawab pertanyaan masing-masing.
Praangg!!
Gelas berisi jus stroberi pecah di lantai kantin yang berdebu. Bersamaan dengan pecahnya isak tangis Adriani di hadapan Delfan yang sedang terguncang setengah mati, di tubuh dan hatinya. Mereka tak bisa berkata-kata, sama-sama hancur tetapi tak kuasa mengutarakan kehancuran sebesar apa yang mengguncang mereka.
Semua mata kini tertuju ke mereka berdua. Bisik-bisik mulai terdengar.
"Itu Adriani, anak bupati yang viral kemarin?"
Adriani menyapu pandangan ke orang-orang yang sedang membicarakannya. Memang pelan tapi terdengar. Mereka memang tak pandai berbisik, pikir Adriani dengan mata basah. Ia beranjak pergi dari kantin itu. Di depan pintu kantin, ia menoleh ke belakang lagi, melihat Delfan yang masih duduk mematung. Untuk pertama kalinya ia melihat Delfan yang selalu ceria itu menangis.Â
Adriani berbalik badan lagi, melangkah jauh dan lebih jauh lagi. Ia takkan melihat ke belakang lagi. Niat hati Adriani  ingin merebahkan segala dukanya dengan menikmati pertemuannya dengan lelaki pujaannya itu, namun ternyata ia kembali menelan mentah-mentah semua duka yang terasa lebih pahit.
Kini ia tidak hanya membenci jus stroberi, namun juga si pembuat jus itu. Delfan tetaplah keluarga pelaku pembunuhan ayahnya. Dia takkan pernah ingin melihat wajah lelaki itu. Ia telah kehilangan minuman favoritnya, sekaligus lelaki pujaannya yang belum sempat ia semai benih perasaannya.
***
"Seorang Bupati Meninggal Usai Dilantik, Diduga Diracun Arsenik"
Sejak munculnya headline berita itu, Adriani tak bisa lagi menyukai jus stroberi. Melihatnya saja dia sudah ingin menangis. Ia ingin menghilang, dari jus stroberi, dari Delfan, dan bahkan dari dunia ini. Ia berharap lahir kembali di dunia yang lain, agar bisa menyukai jus stroberi lagi, dan menyukai Delfan seperti yang ia inginkan.
Sedangkan Delfan tak bisa lagi membuat jus stroberi, apalagi bertemu gadis favoritnya. Kakaknya mungkin tak merasa bersalah, karena rasa bersalah itu telah terlimpah dengan sendirinya ke hidup Delfan. Ia juga ingin menghilang dari dunia, agar dapat bertemu Adriani di dunia yang berbeda, untuk menyemai cinta mereka yang sempat tertunda.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H