Tangisnya tersamar oleh keringat yang bercucuran. Tapi matanya jelas-jelas memperlihatkan kesedihan yang mendalam. Penyesalan. Tatapannya jauh ke arah laut, centini sudah menduga bahwa ini akan terjadi, namun tak mampu berbuat apa-apa.
Yang dapat ia lakukan hanya mengais nasib, berlari menyisir pantai, mondar-mandir kesana-sini sambil memperhatikan sekitaran.Â
Mencari-cari kepala anaknya yang mungkin menyembul keatas permukaan. Setelah berhari-hari dilangsiri oleh petugas,nyatanya nihil hasil. Dan cebolang resmi hilang, terbawa ombak menuju maut.
Centini cuma bisa meratap. Anaknya muspro, hilang tak berbekas.
Nasib suaminya lebih untung. Tak seperti cebolang, mayit wijo jiwo masih sempat dimakamkan, walau tanpa kepala. Sedangkan cebolang tak punya kuburan, makamnya adalah samudra. Raganya bersatu dengan air laut yang asin dan dingin. Ikan-ikan, terumbu karang, pasir laut dan makhluk lain yang tinggal disana yang mungkin akan menjaganya.
***
Sudah 10 tahun sejak tenggelamnya cebolang di laut kidul. Centini tidak pernah absen berkunjung kepantai. Ia datang dengan membawa rantang yang biasa dipakainya berkirim makan siang untuk cebolang.Â
Walau tahu isinya tak akan berkurang, centini tetap datang, tetap mengirimi makan siang untuk cebolang yang raga dan nyawanya ditelan samudra.
Duduk dan makan siang disana, di bangunan pasar perlelangan ikan, sama seperti hari-hari sebelumnya. Seolah olah cebolang sedang bersila di hadapannya dan bersantap riang.
Cebolang biasa makan sambil bercerita. Macam - macam ceritanya, paling sering bercerita tentang perolehannya hari itu dan kelucuan tingkah orang-orang yang disaksikannya dipantai. Cebolang selalu bercerita pada centini dan centini selalu suka mendengarkan cerita cebolang.
Sekarang suara riang itu tak ada lagi. Biar begitu centini masih berlaku seolah-olah cebolang ada dihadapannya. Beberapa orang melihat centini senyum-senyum sendiri, atau berbicara seakan sedang menanggapi kelakar seseorang.