Saat semua orang merayakan hari libur dengan gembira, seorang ibu menangis kehilangan anak. Penyesalan terpampang jelas di wajahnya, kesedihan semakin menghimpit dada tiap kali kakinya menginjak pasir pantai.
Pasir-pasir hitam yang mengiringi kepergian anaknya menuju gulungan ombak dahsyat dan menariknya pada ketiadaan.Â
Pada air asin yang membuat mata perih, pada laut yang dingin ke samudera kesendirian, pada hari - hari dimana tidak ada lagi kemiskinan yang memaksanya berjualan di keramaian pantai.
Cebolang anak centini. Anak yang riang dan wasis, tak kenal takut dan sikapnya lembut, sifat yang menurun dari orang tuanya.Â
Fisiknya pun turunan. Matanya tajam, hidungnya mancung, rambut kriwil, dan kulit gelapnya turunan bapaknya. Bibir, kuping dan bentuk muka yang sama tebal, turunan dari centini ibunya.
Suasana pantai yang riuh ramai, menyamarkan sosok cebolang. Jika bukan karena layang-layang dan kotak tempat jualan dalam gendongan, ibunya akan kesulitan mengirimkan makan siang.Â
Cebolang jualan air mineral, jualan tisue, kopi sachet, permen, kacang, kuaci, mie instan dalam kap gabus, dan layang-layang yang dibuatnya sendiri dengan keterampilan yang diwarisi dari almarhum ayahnya.
Sudah lumrah. Setiap hari raya atau hari libur, pantai akan ramai dikunjungi. Ada serombongan tua, beberapa keluarga dan sanak-sanaknya, ada juga muda-mudi yang datang berdua saja.Â
Saat itu, biasanya cebolang siaga di pantai, siap dengan dagangannya berkeliling. Perolehannya lumayan, ibunya sangat terbantu dan cebolang senang melakukannya, sebab bisa sekaligus rekreasi.
Kegemaran cebolang adalah melihat orang lalu menirunya. Kecenderungan yang membuatnya jadi wasis tentang apa saja, sebelum Akhirnya nahas menimpanya. Meniru pengunjung pantai yang berenang di laut.
Selama ini cebolang tidak pernah seceroboh itu. Pantangan baginya meninggalkan dagangan hanya untuk sekedar bermain air.Â