Mohon tunggu...
Rangga Aris Pratama
Rangga Aris Pratama Mohon Tunggu... Buruh - ex nihilo nihil fit

Membaca dan menulis memiliki kesatuan hak yang sama, seperti hajat yang harus ditunaikan manusia setelah makan dengan pergi ke toilet setiap pagi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Yang Mereka Lakukan Sebelum Mati

7 Juni 2022   15:16 Diperbarui: 9 Juni 2022   16:32 395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ombak laut. (sumber: max-okhrimenko - unsplash)

Saat semua orang merayakan hari libur dengan gembira, seorang ibu menangis kehilangan anak. Penyesalan terpampang jelas di wajahnya, kesedihan semakin menghimpit dada tiap kali kakinya menginjak pasir pantai.

Pasir-pasir hitam yang mengiringi kepergian anaknya menuju gulungan ombak dahsyat dan menariknya pada ketiadaan. 

Pada air asin yang membuat mata perih, pada laut yang dingin ke samudera kesendirian, pada hari - hari dimana tidak ada lagi kemiskinan yang memaksanya berjualan di keramaian pantai.

Cebolang anak centini. Anak yang riang dan wasis, tak kenal takut dan sikapnya lembut, sifat yang menurun dari orang tuanya. 

Fisiknya pun turunan. Matanya tajam, hidungnya mancung, rambut kriwil, dan kulit gelapnya turunan bapaknya. Bibir, kuping dan bentuk muka yang sama tebal, turunan dari centini ibunya.

Suasana pantai yang riuh ramai, menyamarkan sosok cebolang. Jika bukan karena layang-layang dan kotak tempat jualan dalam gendongan, ibunya akan kesulitan mengirimkan makan siang. 

Cebolang jualan air mineral, jualan tisue, kopi sachet, permen, kacang, kuaci, mie instan dalam kap gabus, dan layang-layang yang dibuatnya sendiri dengan keterampilan yang diwarisi dari almarhum ayahnya.

Sudah lumrah. Setiap hari raya atau hari libur, pantai akan ramai dikunjungi. Ada serombongan tua, beberapa keluarga dan sanak-sanaknya, ada juga muda-mudi yang datang berdua saja. 

Saat itu, biasanya cebolang siaga di pantai, siap dengan dagangannya berkeliling. Perolehannya lumayan, ibunya sangat terbantu dan cebolang senang melakukannya, sebab bisa sekaligus rekreasi.

Kegemaran cebolang adalah melihat orang lalu menirunya. Kecenderungan yang membuatnya jadi wasis tentang apa saja, sebelum Akhirnya nahas menimpanya. Meniru pengunjung pantai yang berenang di laut.

Selama ini cebolang tidak pernah seceroboh itu. Pantangan baginya meninggalkan dagangan hanya untuk sekedar bermain air. 

Tapi hari itu dagangannya laku keras, sebelum siang semuanya sudah habis-habisan diborong. Saking senangnya, ia tinggalkan kotak kayu kosong yang biasa ia pakai sebagai rak.

Diletakannya kotak kayu itu dekat tempat perlelangan ikan, supaya ibunya tidak bingung mencarinya saat makan siang nanti. Cebolang berlari kepantai dan tak muncul lagi. Dan ketika ada yang menyadari bahwa seseorang terhanyut ombak, semuanya sudah terlambat.

Cebolang anak yang rajin itu, cebolang anak penurut, cebolang yang haus kasih sayang, cebolang yang malang. Tak bisa membantu ibunya berjualan lagi. 

Hari itu dagangannya habis, juga usianya. Cebolang telah berjualan sejak usianya 10 tahun. Saat anak lain masih disibukan dengan permainan. Cebolang sibuk menawarkan dagangan.

Cebolang mrantasi sebagai peringan beban ibunya centini yang menjanda setelah ditinggal mati wijo jiwo suaminya. Mantan bromocorah itu mati setelah kepalanya terlindas ban truk sebelum lama bertobat dan beralih profesi jadi kernet.

Matinya wijo jiwo praktis membuat dapur tak lagi ngebul. Centini putar otak dan gegayuhan. Berbekal keterampilannya membuat telor asin. Centini lepas dari ketergantungannya pada nafkah wijo jiwo.

Tolak ke pasar dari rumahnya setelah subuh, siangnya menyusul cebolang ke pantai demi mengantar bekal makan siang untuk putra semata wayangnya itu. Tak sabar menantikan siang hari, centini duduk sambil senyum - senyum. Membayangkan cebolang bersantap siang.

Centini sangat senang memasak untuk cebolang, anak itu tak nampik apapun selama itu dapat membuat perutnya terisi. Walau tidak sampai kenyang sebab harus berbagi porsi dengan ibunya.

Saat ada seseorang datang pada centini dan mengabarkan bahwa cebolang tenggelam di laut, centini langsung berlari. Berlari dari tempatnya menuju pantai dengan tenaga yang tidak dapat diimbangi oleh manusia manapun. 

Orang-orang hanya dapat memandanginya dengan melempar iba, tidak kuasa berbuat apa-apa. Untuk sekedar tumpangan saja ditolaknya, walaupun jarak antara pasar dan laut sangat jauh, cukup membuat pria dewasa kehabisan nafas bila berlari melewatinya.

Keringat yang mengucur deras, kerudung yang semburat dari posisinya, sandal japit yang sudah tak diacuhkan, putus dan tertinggal entah dimana. Dengkul yang lecet akibat benturan dengan aspal juga tak lagi terasa perih, hatinya lebih perih ketimbang luka fisik. 

Tangisnya tersamar oleh keringat yang bercucuran. Tapi matanya jelas-jelas memperlihatkan kesedihan yang mendalam. Penyesalan. Tatapannya jauh ke arah laut, centini sudah menduga bahwa ini akan terjadi, namun tak mampu berbuat apa-apa.

Yang dapat ia lakukan hanya mengais nasib, berlari menyisir pantai, mondar-mandir kesana-sini sambil memperhatikan sekitaran. 

Mencari-cari kepala anaknya yang mungkin menyembul keatas permukaan. Setelah berhari-hari dilangsiri oleh petugas,nyatanya nihil hasil. Dan cebolang resmi hilang, terbawa ombak menuju maut.

Centini cuma bisa meratap. Anaknya muspro, hilang tak berbekas.

Nasib suaminya lebih untung. Tak seperti cebolang, mayit wijo jiwo masih sempat dimakamkan, walau tanpa kepala. Sedangkan cebolang tak punya kuburan, makamnya adalah samudra. Raganya bersatu dengan air laut yang asin dan dingin. Ikan-ikan, terumbu karang, pasir laut dan makhluk lain yang tinggal disana yang mungkin akan menjaganya.

***

Sudah 10 tahun sejak tenggelamnya cebolang di laut kidul. Centini tidak pernah absen berkunjung kepantai. Ia datang dengan membawa rantang yang biasa dipakainya berkirim makan siang untuk cebolang. 

Walau tahu isinya tak akan berkurang, centini tetap datang, tetap mengirimi makan siang untuk cebolang yang raga dan nyawanya ditelan samudra.

Duduk dan makan siang disana, di bangunan pasar perlelangan ikan, sama seperti hari-hari sebelumnya. Seolah olah cebolang sedang bersila di hadapannya dan bersantap riang.

Cebolang biasa makan sambil bercerita. Macam - macam ceritanya, paling sering bercerita tentang perolehannya hari itu dan kelucuan tingkah orang-orang yang disaksikannya dipantai. Cebolang selalu bercerita pada centini dan centini selalu suka mendengarkan cerita cebolang.

Sekarang suara riang itu tak ada lagi. Biar begitu centini masih berlaku seolah-olah cebolang ada dihadapannya. Beberapa orang melihat centini senyum-senyum sendiri, atau berbicara seakan sedang menanggapi kelakar seseorang.

Dan setelah porsi makan siangnya habis, centini akan pamit dan esok akan kembali lagi, ke tempat itu. Tempat biasanya ibu anak ini bersantap siang dipinggir pantai yang panas. Begitu seterusnya sampai 10 tahun berlalu.

Cerita tentang cebolang dan ibunya tersebar kemana-mana. Sakral ceritanya menandingi pamor nyi roro kidul. Masyur dibawa sepanjang hamparan pasir pantai, sejauh ujung laut dan seperih luka menganga yang terendam air garam.

Sampai pada suatu hari seorang pemuda datang menemuinya dan mengaku bahwa ia adalah cebolang.

Siang itu centini pergi kepantai seperti biasa, dengan rantang yang tergenggam di tanggannya dan capin untuk melindungi kepalanya dari terik. Hanya orang gila yang pergi kepantai di siang bolong, atau orang seperti centini.

"Ibu, aku cebolang bu anakmu" ucap seorang pemuda pada Centini. Centini hanya diam dan melanjutkan makan.

"Ibu, aku cebolang bu anakmu" ucap pemuda itu lagi.

"Tidak kah ibu rindu padaku?, bukankah ibu kemari mencariku ?"

Yang ditanya tetap diam.

Setelah selesai makan centini segera berberes dan pergi tanpa meninggalkan kalimat apapun, meninggalkan pemuda itu tetap duduk disana.

Sesampainya di rumah, centini kaget bukan main, melihat pemuda itu telah ada disana. Duduk di pelataran persis seperti yang cebolang dulu biasa lakukan.

"Siapa kau sebenarnya?" tanya Centini.

"Aku cebolang anakmu" jawab pemuda itu

"Anakku Cebolang telah mati sepuluh tahun lalu,"

"Aku tidak mati ibu, nyi roro kidul merawatku selama ini, Aku berhasil menyelinap dan pergi dari kerajaanya"

"Mustahil" kata centini sambil membanting pintu.

Hari itu berakhir dengan kebingungan yang membebani pikiran centini. Berbagai pertanyaan mengusik kedamaian jiwanya. 

Dan pemuda itu masih duduk-duduk di pelataran, menunggu centini memperbolehkannya masuk. Melihat kegigihan pemuda itu centini mempersilahkan masuk dan membuatkannya makan malam.

" Cebolang sangat menyukainya, jika kau memang dirinya, kau pasti menghabiskan makananmu,"

"Tentu saja Ibu." Pemuda itu menyatap masakan centini dengan lahap dan menghabiskan porsinya seperti permintaan centini.

"Kau boleh mandi dan tidur di kamar depan, bekas kamar wijo jiwo dan bekas kamar .."

Centini mendapati dirinya omong-omong dengan bangku kosong. Tetangga kanan kiri centini hanya bisa melempar iba.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun