Dari sana saya menarik kesimpulan bahwa, feliscia sebenarnya tidak menderita seperti yang saya bayangkan diawal. Terlalu naif menyandingkan penderitaan feliscia dengan annelis melema.
Mungkin saja penderitaan tidak benar-benar ada, hanya keinginan dan keadaan saja yang sering kurang sesuai.
Kemudian karena dorongan emosi, akhirnya melakukan tindakan yang tidak-tidak dan malah memperparah keadaan, sampai keinginan menjadi semakin jauh dapat terwujud.
Saya jadi ragu untuk meneruskan pelarian saya, tapi berhubung saya tidak punya ongkos untuk kembali, saya putuskan menyertai feliscia sampai akhir perjalanan. Dan rupanya feliscia tidak menganggurkan saya begitu saja.
Mula-mula feliscia meminta ijin untuk duduk di sebelah saya, katanya matahari menyilaukan matanya dan akan terasa perih jika terpapar lama-lama, tapi toh dia masih enak bersandar pada lengan saya saat matahari sudah geser.
Katanya disini terlalu dingin, padahal tidak ada ac yang menyala. Kemudian feliscia mulai meminta saya untuk mendekapnya, katanya ia tidak tahan dingin, tapi saat saya memintanya mengeluarkan selimut dari tasnya, ia berdalih tidak membawa selimut.
Dan saat saya ingin memesan selimut pada petugas, feliscia menolak dan berkata bahwa saya tidak perlu repot.
Akhirnya saya mengalah padanya, dan membiarkan feliscia melakukan suka-suka hatinya pada saya, walau terpaksa.Â
Saat feliscia mengigau tentang impianya memiliki suami baru yang suka mendongeng, saya hanya diam.
Hati saya sudah dongkol dengan perlakuannya terhadap saya. Tua begitu kelakuannya seperti anak kecil rewel, seperti kucing lapar yang susah diusir dari kaki saat sedang makan.
Mungkin apabila orang lain sedang ada di posisi saya, akan berbeda pendapatnya. Mungkin akan senang dengan rejeki nomplok ini.
Memang feliscia tidak buruk-buruk amat tampilannya, badannya juga oke, tapi bukan selera saya.