Memang kami memiliki pohon nangka di samping rumah, boleh jadi itu sebab simbok begitu mengidolakan sayur nangka muda. Dulu aku sering memanjatnya, pohon nangka itu , juga atas perintah simbok.
Aku tak pernah bosan memanjat pohon nangka itu karena memang aku suka pemandangan dari atas sana, lain soal dengan memakan sayur nangka muda.
" Le , tulong penek no wit nongko kui le, simbok arok masak jangan gori." Suara simbok tekenang
" Nak, tolong panjat pohon nangka itu, Simbok mau masak sayur nangka muda." Kata simbok, kadang- kadang sebelum simbok mengucapkannya aku telah naik ke pohon nangka itu.
Memang simbok kelewat doyan memasak sayur nangka muda. Bening , bobor, gulai dan tumis, macam-macam saja simbok memasaknya yang paling jarang simbok masak adalah Gudeg.
Simbok memasak gudeg setahun sekalian, ketika lebaran fitri saja, itu pun untuk menjamu sanak sodara yang datang ke rumah. Sewaktu hidangan simbok selesai masak bapak tak pernah absen memuji-muji, apalagi gudeg.Â
Bukan main girang bapak menyantap hidangan itu, sampai-sampai dalam sehari bapak bisa bersantap lebih dari tiga kali. Kadang-kadang aku-pun tidak menyadari jika bapak sedang memakan gudeg di dapur, Ia begitu tenang seperti menjadi bagian dari perkakas dapur itu sendiri.
Aku bertanya pada bapak bagaimana cara menikmati dan memuji masakan simbok seperti seorang sufi itu.Â
Bapak mengajariku dengan filsafat dengan fasih dan aku pun belajar mengamalkannya segera saja. Tapi walau pujian terucap juga, bosan tetap saja perasaaan yang sukar diabaikan.Â
Pernah sekali karena saking bosannya dengan sayur nangka buatan simbok. Aku pura-pura terjatuh dari pohon nangka.
Namun ternyata itu hanya menghentikanku dari perkara panjat-memanjat dan simbok tetap saja memasak sayur nangka muda itu lagi dan lagi.
Aku tidak berani berkata bosan ke simbok, karena simbok juga tidak bosan-bosan bercerita padaku mengenai riwayat sayur nangka ini.