Mohon tunggu...
Rangga Aris Pratama
Rangga Aris Pratama Mohon Tunggu... Buruh - ex nihilo nihil fit

Membaca dan menulis memiliki kesatuan hak yang sama, seperti hajat yang harus ditunaikan manusia setelah makan dengan pergi ke toilet setiap pagi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Bekal dari Simbok

3 Februari 2022   15:54 Diperbarui: 19 Maret 2022   12:07 697
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

" Tindhak pundhi mas? , monggo kula betha'aken" tanya seorang bapak kuli panggul menawari jasa.

" Mboten pak" jawabku sambil berlalu pergi, bukan karena aku medhit, tapi waktu itu dompetku sukar diambil karena ku taruh terlalu dalam, dan dua tanganku juga sudah penuh dengan barang bawaan.

Aku pergi menuju peron bus untuk meneruskan perjalanan berikutnya.

Dalam pandanganku terlihat ada satu bus yang terparkir sudah terisi penuh dan bus lain sudah melaju dengan isian yang kurang lebih sama. Memang terminal bus memiliki kekuatan aneh yang misterius.

Di sana, walau setenang apapun perangaimu biasanya, pasti akan terdesak juga oleh kekuatan misterius itu untuk mendadak linglung dan panik.

Aku yang segera menyadari serangan itu, pelan-pelan mengembalikan kewarasanku. Kemudian aku letakan barang bawaanku lalu pergi menghampiri bapak-bapak berseragam yang sedang berdiri ditengah kerumunan.

Terdengar bapak itu menjelaskan kepada calon penumpang bahwa semua kursi telah habis dipesan, dan calon penumpang diarahkan-nya untuk menaiki bus trayek lain saja atau kalau mau, ada bus tambahan yang akan datang maghrib nanti.

Alasannya karena salah satu armada bus sedang mogok dan diperbaiki.

Pikiranku mulai bercabang, rencana perjalanan yang tersusun di dalam angan-angan segera ambyar. Seketika kekuatan misterius itu datang lagi, kini terasa lebih jelas dan lebih kuat dari yang sebelumnya.

Pelan-pelan aku lawan lagi serangan itu dan mulai meneliti pikiranku sendiri.

Seperti seorang wartawan, aku tanyai diriku sendiri, apakah aku akan pergi membopong beras, tas dan kardus ini lagi dan pergi ke peron lain, atau tetap menunggu disini dengan risiko tidak mendapatkan angkutan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun