Cahaya api langit mulai luntur menjadi kuning kemerahan, cahaya yang begitu centil dan malu-malu menembus jendela bus angkutan umum untuk menyapa kulit tubuh.
Siang itu aku seperti kebanyakan orang lainya, sedang meniti perjalanan dengan suasana sukacita untuk kembali kepada asingnya perantauan.
Membawa kenangan indah selama sepekan di kampung halaman.Â
" Pukul tiga " batinku, sambil melirik ke arah kaca ajaib di saku baju-ku.
Bus kemudian berhenti. Kami tiba di terminal bersama bergugus-gugus manusia lokal yang bertolak dari pelosok-pelosok, himpunan manusia dengan pelbagai gembolannya masing-masing.
Oleh - oleh yang digembol demi bisa beramah tamah ditempat rantau.
" Ting ting ting ting ting" Bunyi koin lima ratus perak yang dibenturkan ke tubuh besi pegangan tangan pak kernet.
Suara romantis penanda akhir perjalanan rombongan dan perintah kilat untuk meneruskan perjalanan kami ke masing-masing tempat tujuan.
Dengan gopoh, aku gendong ransel yang seminggu lalu enteng saja di punggung, kini menjadi tak keruan beratnya. Belum lagi beras dan kardus yang semuanya saja aku tidak tahu menahu dari mana asalnya.
Ku panggul beras di pundak kanan karena ku pikir tangan kananku cukup kuat menerima beban itu, dan ku dekap kardus bekas bungkus mi instan itu dengan tangan kiri-ku, lalu bergegas keluar dari dalam bus.
Setelah kakiku menapak di ubin terminal, dengan tanpa menoleh saja aku sudah tahu bahwa di depanku sudah berdiri kuli panggul untuk menawarkan bantuan tenaganya demi sejumlah rupiah.
" Tindhak pundhi mas? , monggo kula betha'aken" tanya seorang bapak kuli panggul menawari jasa.
"Â Mboten pak" jawabku sambil berlalu pergi, bukan karena aku medhit, tapi waktu itu dompetku sukar diambil karena ku taruh terlalu dalam, dan dua tanganku juga sudah penuh dengan barang bawaan.
Aku pergi menuju peron bus untuk meneruskan perjalanan berikutnya.
Dalam pandanganku terlihat ada satu bus yang terparkir sudah terisi penuh dan bus lain sudah melaju dengan isian yang kurang lebih sama. Memang terminal bus memiliki kekuatan aneh yang misterius.
Di sana, walau setenang apapun perangaimu biasanya, pasti akan terdesak juga oleh kekuatan misterius itu untuk mendadak linglung dan panik.
Aku yang segera menyadari serangan itu, pelan-pelan mengembalikan kewarasanku. Kemudian aku letakan barang bawaanku lalu pergi menghampiri bapak-bapak berseragam yang sedang berdiri ditengah kerumunan.
Terdengar bapak itu menjelaskan kepada calon penumpang bahwa semua kursi telah habis dipesan, dan calon penumpang diarahkan-nya untuk menaiki bus trayek lain saja atau kalau mau, ada bus tambahan yang akan datang maghrib nanti.
Alasannya karena salah satu armada bus sedang mogok dan diperbaiki.
Pikiranku mulai bercabang, rencana perjalanan yang tersusun di dalam angan-angan segera ambyar. Seketika kekuatan misterius itu datang lagi, kini terasa lebih jelas dan lebih kuat dari yang sebelumnya.
Pelan-pelan aku lawan lagi serangan itu dan mulai meneliti pikiranku sendiri.
Seperti seorang wartawan, aku tanyai diriku sendiri, apakah aku akan pergi membopong beras, tas dan kardus ini lagi dan pergi ke peron lain, atau tetap menunggu disini dengan risiko tidak mendapatkan angkutan.
Aku rasa aku lebih senang bertaruh.Â
Memang sedari dulu aku suka mempertaruhkan sesuatu. Bagiku, memastikan segala sesuatu di bawah kendali itu sangat merepotkan, toh kita tidak bisa memastikan apa saja yang benar-benar terjadi kemudian.
Lebih baik aku melakukan apa yang bisa aku lakukan dan melempar sisanya pada yang maha kuasa. Aku menyebut sikap itu sebagai tawakal bukan malas seperti yang dituduhkan orang-orang kepadaku.
Kerumunan itu kemudian terbagi menjadi dua, setengahnya pergi ke peron lain dan setengahnya lagi terpencar dengan bawaan mereka masing-masing.
Aku sendiri, pergi menghampiri barang bawaanku yang sebentar tadi aku terlantarkan. Kemudian ku rogoh kedalam tas, mencari kotak bekal dari simbok.Â
Nasi putih dengan sayur nangka muda, tiga iris tempe goreng dan sambel terasi. Hidangan yang sederhana. Kesederhanaan yang dulu-ku sangkal mati-matian.
Tiba-tiba saja pandanganku kabur, pening menjalar di pangkal kepala-ku, seakan-akan ada kekuatan besar sedang menarik-ku pergi dari sana, menjauh dari bising knalpot angkutan kota menuju masa silam yang sederhana.
" Tole, tulong lehmu ngayaki beras kuwi kudu sing ati-ati, mudak ora reget jogan'e yo le" Suara simbok terkenang.
" Nak, tolong hati-hati dalam mengayak beras, supaya tidak mengotori lantai" kata simbok dulu ketika aku sedang mengayak beras.
Kami mengais padi dari sisa-sisa panen di sawah orang. Maka dari itu, harus di ayak dulu untuk memisahkan bulir padi yang kopong dengan yang ada isinya, lalu bulir padi itu kemudian dikumpulkan simbok ke dalam bagor dan dibawa ke penggilingan.
Aku sering memanggulnya ke penggilingan dan menjinjingnya sepulang dari sana.
" Kabotan pora le?" tanya simbok setibanya aku dirumah.
" Enteng mbok" jawabku.
Dan simbok pun tahu belaka, besok dia harus mencari padi lagi untuk ku ayak.
Memang hanya sisa-sisa.
Tidak mengherankan jika nasi-nya juga tidak begitu putih, tak seputih nasi yang ada di hadapanku sekarang ini. Simbok pernah berkata bahwa nasi putih adalah makanan para pendeta.
Barang siapa ingin di karuniai ilmu dari tuhan, harus mengamalkan poso mutih, yaitu puasa dengan nasi putih dan air putih saja untuk sahur dan buka, tanpa lauk dan sayur sama sekali.Â
Barangkali sebagai perlambang kesucian jiwa, memang kesucian jiwa adalah yang utama dimiliki sebelum kanuragan dan ilmu-ilmu lainnya.
Karena ilmu tak ubahnya sebuah tanggung jawab, jika nanti tidak di pergunakan untuk hal yang bermanfaat , maka celakalah empunya itu. Dulu simbok sering menyuruhku untuk poso mutih, kata simbok supaya aku di karuniai otak pintar.Â
Aku menurut saja karena memang di meja dapur simbok tidak menyediakan sayur dan lauk, jika ada tentu sudah aku curi dan kumakan sembunyi-sembunyi.
Aku santap bekal dari simbok dengan lahap.
Nasi putih dan sayur nangka muda buatan simbok ini adalah obat rinduku. Seminggu di kampung, seolah tidak mampu menyembuhkan sakit rindu yang ku derita ini.Â
Sayur nangka muda buatan simbok, masakan yang tidak bosan-bosannya membuat aku bosan. Bagaimana tidak. Dulu, hampir setiap hari simbok memasaknya.Â
Pagi, siang, sore, selalu saja aku jumpai setiap kali pergi ke dapur untuk makan.
Memang kami memiliki pohon nangka di samping rumah, boleh jadi itu sebab simbok begitu mengidolakan sayur nangka muda. Dulu aku sering memanjatnya, pohon nangka itu , juga atas perintah simbok.
Aku tak pernah bosan memanjat pohon nangka itu karena memang aku suka pemandangan dari atas sana, lain soal dengan memakan sayur nangka muda.
" Le , tulong penek no wit nongko kui le, simbok arok masak jangan gori." Suara simbok tekenang
" Nak, tolong panjat pohon nangka itu, Simbok mau masak sayur nangka muda." Kata simbok, kadang- kadang sebelum simbok mengucapkannya aku telah naik ke pohon nangka itu.
Memang simbok kelewat doyan memasak sayur nangka muda. Bening , bobor, gulai dan tumis, macam-macam saja simbok memasaknya yang paling jarang simbok masak adalah Gudeg.
Simbok memasak gudeg setahun sekalian, ketika lebaran fitri saja, itu pun untuk menjamu sanak sodara yang datang ke rumah. Sewaktu hidangan simbok selesai masak bapak tak pernah absen memuji-muji, apalagi gudeg.Â
Bukan main girang bapak menyantap hidangan itu, sampai-sampai dalam sehari bapak bisa bersantap lebih dari tiga kali. Kadang-kadang aku-pun tidak menyadari jika bapak sedang memakan gudeg di dapur, Ia begitu tenang seperti menjadi bagian dari perkakas dapur itu sendiri.
Aku bertanya pada bapak bagaimana cara menikmati dan memuji masakan simbok seperti seorang sufi itu.Â
Bapak mengajariku dengan filsafat dengan fasih dan aku pun belajar mengamalkannya segera saja. Tapi walau pujian terucap juga, bosan tetap saja perasaaan yang sukar diabaikan.Â
Pernah sekali karena saking bosannya dengan sayur nangka buatan simbok. Aku pura-pura terjatuh dari pohon nangka.
Namun ternyata itu hanya menghentikanku dari perkara panjat-memanjat dan simbok tetap saja memasak sayur nangka muda itu lagi dan lagi.
Aku tidak berani berkata bosan ke simbok, karena simbok juga tidak bosan-bosan bercerita padaku mengenai riwayat sayur nangka ini.
Kata simbok nangka adalah salah satu buah yang macam-macam manfaatnya, Bahkan buah nangka tidak perlu menunggu matang untuk memberi manfaat.
Sambil mengelus kepalaku, aku mafhum saja sebagai nasihat untuk senantiasa bermanfaat kepada sesama.
Mirip seperti perkataan Ki Hadjar Dewantara si cendekiawan itu
" Apapun yang dilakukan oleh seseorang itu, hendaknya dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri, bermanfaat bagi bangsanya, dan bermanfaat bagi manusia di dunia pada umumnya." seolah perkataan itu keluar dari Ki Hadjar Dewantoro langsung padaku.
" Tapi kudu ngati-ngati yo ngger, wit nongko kuwi ono pulute". simbok menambahkan, memang dasar buah nangka punya banyak getah lupa berhati-hati saja sudah pasti getah akan bersarang di tanganmu.
Aku santap bekal dari simbok dengan lahap, kali ini bersama tempe dan sambal terasi dalam satu suapan.
Bayanganku melayang lagi diterpa kekuatan misterius itu, kali ini tidak aku lawan. "Mental tempe !" suara atasanku terkenang, menggaung bersama bunyi klakson dan knalpot bus angkutan kota.Â
Salah satu contoh bahwa nilai kebaikan yang ada pada olahan kedelai ini dapat di maknai berbeda oleh manusia. Sebutan yang menegaskan bahwa aku adalah seseorang yang mudah tergilas, tak mampu mempertahankan bentuk jika diberi tekanan.Â
Aku menginsafi perkataan itu sebagai pulut, seperti peringatan simbok dulu itu. Saat pertama kali aku pandai memanjat pohon nangka, si simbok tak berhenti meneriaki ku supaya berhati-hati agar tidak jatuh atau terkena pulut getah nangka.
Lama-lama simbok tak lagi menggubrisku bahkan senantiasa mengandalkanku dalam perkara panjat memanjat.
Aku teruskan menyantap bekal dari simbok.
Tak habis pikir aku, mengapa ketidak berdayaan di perumpamakan seperti tempe yang di injak.
Sungguh terkutuk manusia yang menginjak makanan dan sungguh kerdil manusia yang memaknai ketidak berdayaan sebagai satu peristiwa tungal, bukankah semua saja ada sebabnya.Â
Simbok sering berpesan padaku untuk terus belajar dan menikmati proses pembelajaran itu sendiri bagaimanapun caranya.
Simbok juga berkata bahwa memandang sesuatu harus dari berbagai sisi supaya lebih jeli dan berpesan untuk menerima semua saja sebagai sebuah kebenaran, karena dengan begitu akan tercipta sebuah persatuan.
Sama halnya dengan tempe, tempe adalah persatuan.
Hakikat tempe adalah merubah bentuk kedelai dari butiran menjadi kesatuan melalui media jamur dari ragi tempe. Proses perubahan fisik kedelai menjadi tempe ini disebut fermentasi.
Kedelai-kedelai yang tadinya saling tepisah satu dengan yang lain kini saling bertumpuk menjadi satu kesatuan yaitu tempe, yang sekarang sedang aku santap ini.
Ki hadjar dewantara menyela lagi dalam lamunankuÂ
"Maksud pengajaran dan pendidikan yang berguna untuk kehidupan bersama adalah memerdekakan manusia sebagai anggauta persatuan".
Entah mengapa sebuah tempe membawaku kehadapan cendekiawan itu lagi. Mungkin karena simbok dan bapak yang mengidolakan beliau sedari muda dulu.
Dulu setiap simbok dan bapak sedang duduk bersama, cendekiawan itu adalah objek obrolan mereka dan aku adalah subjeknya.
Karena asik mengunyah bekal dari simbok sesendok-demi sesendok sambil melamun gentayangan, tanpa sadar aku menyendok sambal terasi terlalu banyak.
Lidah terasa bergetar saking pedasnya, bibirku menjadi merah dengan sendirinya tanpa polesan gincu dan keringatku bercucuran seperti sedang berolahraga.Â
Memang makan belum terasa lengkap jika tidak di temani sambal. Simbok selalu menyediakan sambal di meja makan untuk kami, karena bapak memang menyukai perasaan menyiksa itu.
Bapak akan terlihat mangap - mangap seperti ikan didalam air setelah menyantap sambal buatan simbok, seperti halnya aku sekarang ini.Â
Perasaan menyiksa yang dapat dinikmati secara sadar dan berulang-ulang. Bahkan jika simbok sedang tidak mampu membeli cabai karena pemerintah sedang menaikan harga pasarnya. Bapak akan berupaya mencari pohon cabai yang liar tumbuh di halaman rumah kami.Â
Bekal dari simbok sudah habis ku santap, hanya tersisa rasa pedas yang sebentar saja akan ku basmi dengan menenggak air mineral. Sebelum bertolak dari rumah sedari tadi simbok telah berpesan kepadaku untuk tidak berlebih-lebihan larut dalam suka cita atau kalut dalam duka, nikmati saja secukupnya seperti sedang makan sambel.
Tapi aku malah menyendok sambal terlalu banyak.
Kubungkus kembali kotak bekal dengan plastik kresek dan kemudian kubenamkan kedalam tasku, lalu pergi membopong nya mencari tempat tunggu yang lebih nyaman.
Kemudian mengabari simbok melalui telfon bahwasanya anaknya ini telah sampai terminal dan sedang menunggu kedatangan bus berikutnya.
Khawatir adalah perasaan yang menyiksa dan aku tidak mau membiarkan simbok berduaan dengan perasaan itu.
" Iyo le, Sing ngati-ati yo lehmu nyambut gawe. Ojo nganti luput mundak keno pulut". Suara simbok terdengar renyah dari dalam telfon mengakhiri percakapan kami sore itu dengan doa-doa nya supaya anaknya masyur.
  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H