Aku rasa aku lebih senang bertaruh.Â
Memang sedari dulu aku suka mempertaruhkan sesuatu. Bagiku, memastikan segala sesuatu di bawah kendali itu sangat merepotkan, toh kita tidak bisa memastikan apa saja yang benar-benar terjadi kemudian.
Lebih baik aku melakukan apa yang bisa aku lakukan dan melempar sisanya pada yang maha kuasa. Aku menyebut sikap itu sebagai tawakal bukan malas seperti yang dituduhkan orang-orang kepadaku.
Kerumunan itu kemudian terbagi menjadi dua, setengahnya pergi ke peron lain dan setengahnya lagi terpencar dengan bawaan mereka masing-masing.
Aku sendiri, pergi menghampiri barang bawaanku yang sebentar tadi aku terlantarkan. Kemudian ku rogoh kedalam tas, mencari kotak bekal dari simbok.Â
Nasi putih dengan sayur nangka muda, tiga iris tempe goreng dan sambel terasi. Hidangan yang sederhana. Kesederhanaan yang dulu-ku sangkal mati-matian.
Tiba-tiba saja pandanganku kabur, pening menjalar di pangkal kepala-ku, seakan-akan ada kekuatan besar sedang menarik-ku pergi dari sana, menjauh dari bising knalpot angkutan kota menuju masa silam yang sederhana.
" Tole, tulong lehmu ngayaki beras kuwi kudu sing ati-ati, mudak ora reget jogan'e yo le" Suara simbok terkenang.
" Nak, tolong hati-hati dalam mengayak beras, supaya tidak mengotori lantai" kata simbok dulu ketika aku sedang mengayak beras.
Kami mengais padi dari sisa-sisa panen di sawah orang. Maka dari itu, harus di ayak dulu untuk memisahkan bulir padi yang kopong dengan yang ada isinya, lalu bulir padi itu kemudian dikumpulkan simbok ke dalam bagor dan dibawa ke penggilingan.
Aku sering memanggulnya ke penggilingan dan menjinjingnya sepulang dari sana.
" Kabotan pora le?" tanya simbok setibanya aku dirumah.
" Enteng mbok" jawabku.