“Ya malulah, mana ada anak seumuran kita yang mau nikah.”
“Yailah, non… nikah itu kan ibadah, ngapain malu?”
“Sssssttttt… kamu jangan keras-keras ngomongnya. Kalau kamu masih kayak gini juga, udah, aku ke kantin aja.” Lulavi pun beranjak dari tempat duduknya. Baru selangkah kakinya beranjak dari tempat duduk, ia sudah berhenti.
“Lulavi?” ujar seorang laki-laki seumuran Lulavi yang memakai baju seragam sekolah yang berbeda dengannya.
Lulavi berhasil melamun sejenak. Ia pun segera berpikir apakah ia akan pergi atau tetap di sini dan berurusan dengan laki-laki itu. Kalau ia pergi, ia akan ketahuan salah tingkah. Kalau ia tetap di sini, ia takut tidak kuat memadamkan wajah merahnya.
“Yusuf, ya?” Lulavi pun berusaha keras untuk bersikap ramah seperti biasa.
“Iya, aku Yusuf. Ternyata kamu masih mengenali aku. Jadi kamu sekolah di sini, ya?”
Lulavi memandangi wajah Yusuf dengan teliti. Ia pun teringat oleh sesosok wajah yang tidak jauh berbeda dengan Yusuf.
“Hei,” Yusuf menjetikkan jarinya di hadapan wajah Lulavi.
“Eh, iya Yusuf, aku sekolah di sini.”
“Enggak nyangka ya, Lula, kita bisa ketemu di sini. Padahal, baru saja aku SMS kamu beberapa hari yang lalu.”