“Enggak ada kuliah. Kamu lulus SMA langsung nikah sama Berry.”
Lulavi menitikkan air mata mendengar suruhan Ayah yang bernada tinggi.
“Jangan begitulah mas, saya yakin kalau Lulavi bisa mencari uang sendiri untuk membiayai kuliahnya. Kalau kamu enggak sanggup membiayai dia kuliah.”
Ayah memandangi wajah Ibu lama sekali. Terlihat sekali Ayah geram akan perkataan Ibu, namun masih mencoba tidak naik pitam kepada istrinya yang tengah hamil.
“Emang dia bisa kerja apa. Ayah enggak mau dia susah. Nikah udah pilihan paling solutif.”
“Beasiswa kan banyak, Yah. Iya kan, Nak?” Ibu memandangi Lulavi yang masih asyik menumpahkan segala kesedihannya.
“Yang dapat beasiswa itu biasanya anak dari keluarga tidak mampu sama sekali. Kalau keluarga kita kan bukan tidak mampu, hanya kurang. Ayah takut peluang mendapatkan beasiswanya sedikit. Ujung-ujungnya kita juga yang susah nyari kekurangan dana. Bagaimana?”
Lulavi masih terisak. Ia tidak akan pernah menyalahkan Ayah yang tidak kaya. Ia juga siap dengan takdir hidupnya. Semua akan ia jalankan ikhlas karena Allah. Namun, pikiran buruk mengganjal hati Lulavi. Ia mulai berburuk sangka pada Ayah. Ia berpikir kalau Ayah seenaknya saja “menjualnya”. Ia juga masih belum bisa terima dengan takdir hidupnya yang harus merelakan mimpi-mimpinya. Ia ingin takdir ini sebisa mungkin diubah.
“Lulavi, Ayah bukan mau menjerumuskan kamu. Ayah cuma mau yang terbaik untuk kamu. Siapa tahu nanti kamu bisa kuliah juga seperti Berry di ULM. Ya, kan?”
Lulavi mencoba berpikir jernih saat Ayah melontarkan kalimat tadi. Ada secercah kebahagiaan saat kata ‘ULM’ disebut. Ya, siapa tahu saja suami Lulavi yang bisa membiayainya kuliah kelak. Namun, ia pun belum yakin kepada Berry. Ia tidak yakin Berry dapat menjadi imam yang baik untuk dirinya dan untuk anak-anaknya kelak.
***
“Yakin lu si Lulavi mau sama si Berry? Kata si Berry, Lulavi udah jadi ustad.” Om Anto menghisap rokoknya dan menyandarkan punggungnya di sofa café.
“Lulavi kan anak gue. Dia pasti mau gue suruh-suruh.” Ayah meneguk kopi hitamnya.
“Kalau si Lulavi sampai enggak mau nikah sama si Berry, utang-utang lu bagaimana?” Om Anto kembali menegakkan badannya berusaha berbicara serius dengan Ayah.
“Gini aja deh, To. Mulai sekarang, kita berdua sama-sama mendekatkan Lulavi dengan Berry.”
“Itu tugas lu. Kan lu yang punya utang.”
Ayah terdiam. Ia kemudian menegak lagi kopi hitamnya untuk sejenak menghilangkan kepeningannya. Gawat ini kalau Lulavi sampai enggak mau menikah dengan Berry. Mau bayar utang ke Anto pakai apa coba? Pikir Ayah dalam hati.
“Eh ya, gini Vit, besok itu gue sama keluarga gue mau ngadain private party di rumah. Lu ajak deh keluarga lu termasuk si Lulavi. Nanti di sana lu bisa semakin mendekatkan Lulavi dengan Berry.”
***
“Aku enggak mau dipaksa datang ke pesta rumah Om Anto, apalagi harus melepas jilbab!” Lulavi menumpahkan semua air matanya.
“Kamu harus mau. Kamu kan belajar agama, coba kasih tahu Ayah, apa hukumnya membantah perintah orang tua?”
“Hukumnya dibolehkan selama perintah itu menjauhkan aku dari agama Allah.”
“Udahlah, enggak usah bawa-bawa nama Tuhan. Kamu besok datang sama Ayah dan Ibu ke rumah Om Anto, dan kamu harus melepas jilbab kamu!”
“Enggak!” Lulavi mengerahkan segala kemampuannya untuk berteriak.
“Lulavi!” Ayah hendak menampar wajah Lulavi sebelum Ibu datang menengahi.
“Mas, jangan!” Ibu menurunkan tangan Ayah yang sudah terangkat tinggi.
“Ah, kamu lagi sih, Bu… pasti kamu mau belain anak kamu ini kan.” Wajah Ayah terlihat kesal sekali.
“Kamu jangan pernah menyakiti Lulavi, Mas.” Ujar Ibu dengan nada yang ditekan.
“Anak kamu ini berani membantah aku.” Wajah Ayah penuh oleh amarah.
“Lulavi, memang ayah kamu menyuruh apa?” Ibu menjatuhkan tangannya ke kedua pundak Lulavi.
“A-a-ku.. disuruh le-pas jilbab sama Ayah, Bu…” jawab Lulavi terbata-bata dan menundukkan kepalanya.
“Aku tidak menyuruh dia melepas jilbabnya. Aku cuma menyuruh dia ikut ke pesta di rumah Anto.” Ayah kembali menegang.
“Ya sudah Lulavi, kamu datang saja. Nanti di sana kamu mau dikenalkan dengan Berry. Kenalan aja, enggak apa-apa, kan?” Ibu tersenyum berusaha meyakinkan Lulavi.
“Pakai jilbab, enggak apa-apa, kan, Bu?” Lulavi mulai menaikkan kepalanya dan memperlihatkan matanya yang sembap dan hidungnya yang merah.
“Ya enggak apa-apa, dong, Nak.” Ibu menjawab dengan nada riang dan senyum lebar agar hati Lulavi kembali gembira.
***
“Lagi ngapain sih, Bu?” Yuni sengaja menyenggol Lulavi yang sedang asyik membaca buku di bangku koridor sekolah.
“Lagi baca buku.”
“Yailah, jawabnya begitu banget.” Yuni membuka HP-nya. Setelah ia melihat tidak ada pesan yang masuk ke HP-nya, ia kembali menggoda Lulavi yang sepertinya serius sekali membaca buku. “Buku apaan sih, nih?” tangan Yuni dengan cepat merebut buku dari tangan Lulavi.
“Ooh… buku pernikahan…” Yuni membesarkan suaranya saat menyebut kata ‘pernikahan’.
“Sstt…” dengan cepat tangan Lulavi menutup mulut Yuni.
“Puah! Tanganmu bau jengkol, Vi!”
“Enak aja!”
“Lagian ngapain malu sih baca buku beginian.”
“Ya malulah, mana ada anak seumuran kita yang mau nikah.”
“Yailah, non… nikah itu kan ibadah, ngapain malu?”
“Sssssttttt… kamu jangan keras-keras ngomongnya. Kalau kamu masih kayak gini juga, udah, aku ke kantin aja.” Lulavi pun beranjak dari tempat duduknya. Baru selangkah kakinya beranjak dari tempat duduk, ia sudah berhenti.
“Lulavi?” ujar seorang laki-laki seumuran Lulavi yang memakai baju seragam sekolah yang berbeda dengannya.
Lulavi berhasil melamun sejenak. Ia pun segera berpikir apakah ia akan pergi atau tetap di sini dan berurusan dengan laki-laki itu. Kalau ia pergi, ia akan ketahuan salah tingkah. Kalau ia tetap di sini, ia takut tidak kuat memadamkan wajah merahnya.
“Yusuf, ya?” Lulavi pun berusaha keras untuk bersikap ramah seperti biasa.
“Iya, aku Yusuf. Ternyata kamu masih mengenali aku. Jadi kamu sekolah di sini, ya?”
Lulavi memandangi wajah Yusuf dengan teliti. Ia pun teringat oleh sesosok wajah yang tidak jauh berbeda dengan Yusuf.
“Hei,” Yusuf menjetikkan jarinya di hadapan wajah Lulavi.
“Eh, iya Yusuf, aku sekolah di sini.”
“Enggak nyangka ya, Lula, kita bisa ketemu di sini. Padahal, baru saja aku SMS kamu beberapa hari yang lalu.”
Lulavi tiba-tiba membalikkan badannya menuju ruang kelas. Sosis panggang kantin yang tadi diinginkanya dilupakannya dulu sejenak. Sekarang ia lebih butuh memikirkan sesosok yang berwajah mirip dengan Yusuf.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H