Mohon tunggu...
Ramdhani Nur
Ramdhani Nur Mohon Tunggu... karyawan swasta -

lebih sering termenung daripada menulis...

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Kajian Terburuk terhadap Cerpenisasi Puisi Terburuk Sepanjang Sejarah Kompasiana

19 November 2011   09:59 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:28 804
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Kajian Cerpen "Perawat Janazah"

Oleh: Ramdhani Nur

Saya akhirnya menjadi pembaca yang nekat setelah berkali mata ini turun naik pada sebuah karya cerpen berikut. Kenekatan itu berupa kecerobohan saya melakukan sebuah kajian. Tujuannya sebagian untuk membuktikan bahwa sebuah karya fiksi tak hanya patut untuk sekadar dinikmati, tapi juga ditelaah. Ada nilai dan pembelajaran yang tersangkut di berseraknya kata-kata yang menyusunnya. Sebab perlu dipahami pula, kajian fiksi ini ternyata sebuah rancang bangun ulang secara terbalik atas hal-hal yang dilakukan oleh seorang penulis dalam menghasilkan suatu karya.

Karya yang saya pilih adalah sebuah cerpen berjudul “Perawat Jenazah”. Penulisnya sendiri mencantumkan “Cerpenisasi Puisi Terburuk dalam Sejarah Kompasiana” sebagai judul postingannya. Tak banyak penulisan cerpen seperti ini yang sumber kembangannya berasal sebuah puisi. A. K. Basuki sang penulis cerpen itu merasa terlecut untuk membedah dan merancang ulang kesan yang terdapat dalam puisi berjudul “Perawat Jenazah” hasil karya Naim Ali menjadi sebuah tulisan naratif (cerpen).

Teknik cerpenisasi – istilah yang dipakai A.K. Basuki – sebenarnya tak pernah terdengar dalam silabus kesusastraan. Ini hanya proses penemuan inspirasi saja. Bahwa kesan yang ditemukan si penulis cerpen hanyalah ide yang kemudian dikembangkan ke dalam cerpen secara terstruktur atau tidak sama sekali. Artinya, ada kalanya semua unsur dari puisi, baik ide/tema, makna, irama, jalinan cerita (jika ada), dan kesan/rasa, dipindahkan secara utuh oleh penulis cerpen. Atau ada penulis yang hanya terbetik untuk melakukan cerpenisasi puisi dari salah satu unsurnya saja. Pada cerpenisasi “Perawat Jenazah” ini, menurut saya A. K. Basuki hanya memindahkan beberapa unsur saja, antaranya; ide dan kesan dalam puisi.

Dasar pemilihan cerpen ini sebagai sebuah kajian utamanya adalah; karena cerpen ini memiliki keunikan dari proses pembuatannya (cerpenisasi dari karya puisi). Kedua, baik penulis cerpen maupun puisinya adalah sahabat baik saya. Bagaimanapun, jika kemudian kajian ini dianggap baik atau malah buruk, saya tak akan mendapati mereka sebagai orang-orang yang besar kepala atau ciut hati. Yang terakhir, cerpen ini benar-benar berhasil menginggalkan kesan yang dalam pada pembacanya (saya).

Teknik yang saya pakai dalam melakukan kajian untuk cerpen menggunakan teknik strukural dengan pendekatan unsur-unsur instrinsiknya. Pendekatan instrinsik pun pada dasarnya sama dengan analisis struktural. Karya sastra dianggap di dalamnya mempunyai sejumlah elemen atau peralatan yang saling berkaitan dan masing-masing mempunyai fungsinya sendiri. Pendekatan intrinsik mencoba menjelaskan fungsi dan keterkaitan elemen (unsur) atau peralatan itu tanpa menghubungkannya dengan faktor di luar itu, seperti biografi pengarang, latar belakang penciptaan, atau keadaan dan pengaruh karya sastra kepada pembacanya (Maman S. Mahayana, 2011).

Sinopsis Cerpen “Perawat Jenazah”

Cerpen ini mengisahkan tentang seorang perempuan yang berprofesi sebagai perawat jenazah. Profesi yang tak banyak digeluti dan mungkin satu-satunya yang ada di wilayah itu ternyata sudah dijalani Tugirah sejak lama. Ada nuansa ultrarasional pada sosok Tugirah yang dikesankan bisa bercakap-cakap dengan mayat yang tengah dirawatnya. Pada suatu ketika, mayat Pamularsih dan anaknyalah yang menceritakan bagaimana mereka meninggal. Suatu intriklah yang menjadi penyebabnya.

Tema

Tema yang tersimpan dari cerpen ini memang tidak terlalu muncul secara dominan. Pada sisi objektif terhadap mayat dan kematian, cerpen ini bertema kerahasiaan yang tidak bisa ditutupi oleh kematian sekalipun. Pada sisi tokoh utama, ada bentukan tema tentang kepasrahan yang ditunjukkan terhadap ketentuan Ilahi, seperti pada kutipan di bawah ini:

“Sebenarnya aku belum mau mati,” kata Pamularsih saat Tugirah menggosok punggungnya dengan lembut. Sentuhan kasih seorang ibu kepada anak tercinta.

“Tapi sudah terjadi,” kata Tugirah seperti bergumam saja.

Dan;

“Bu Tugirah ingin tahu siapa dia?” tanya Pamularsih ketika tubuhnya telah tertutup kain kafan sepenuhnya. Tugirah menggeleng.

Kedua tangannya terangkat. Berdoa.

Terselip juga tema yang menunjukkan kepasrahan terhadap risiko pekerjaan. Sebab ada hal yang kontradiktif atas yang diucapkan Tugirah di awal cerita dan sikapnya di akhir cerita.
Pada awal cerita Tugirah berucap:

“Sudah waktunya. Tapi aku bersumpah, ini yang terakhir,” dia berkata pada refleksi diri yang memantul sehadap cermin. Rambut panjangnya di sisir lalu digelung.

Namun Tugirah tetap melakoni pekerjaannya itu ketika ada lagi yang meninggal, seperti dikisahkan pada bagian akhirnya.

Cukup, bisiknya. Lalu dengan ketenangan yang luar biasa dia merebahkan dirinya pada dipan kayu di pojok kamar, menghadap tepat kepada jendela yang terbuka. Keseluruhan indera dia padamkan.

Di depan pintu, anak tertua Tugirah menghadapi tamunya.

“Ada lagi yang meninggal? Tanyanya.


Latar

Hal yang mungkin sangat kurang dari cerpen ini adalah tidak lengkapnya informasi yang bisa menunjukkan latar saat kejadian ini terkisah. Hanya ada beberapa pemerian eksplisit yang tersaji dalam narasi dan dialognya.


  1. 1. Latar Tempat

Penulis sama sekali tidak menceritakan tempat kejadian ini berlangsung. Namun kita bisa menangkap kesan bahwa cerita ini berlokasi di desa. Ada beberapa bagian kalimat yang mendukungnya

a.Dia bangkit, dipan kayu berderit. (Paragraf ke-1). Biasanya kita menemukan dipan yang terbuat dari kayu itu berada di desa.


b.…..ketika dingin air padasan mencapai ujung sikunya. (Paragraf ke-4). Pedasan adalah sejenis tempat air yang digunakan sebagai sumber untuk berwudu.


  1. 2. Latar Waktu

Seperti juga dengan tempat, kita tidak menemukan informasi masa kisah ini berlangsung. Jika menilik pada latar tempat yang mengarahkan kesan pada sebuah desa, maka akan sangat mungkin bahwa kisah ini terjadi pada masa kini.


  1. 3. Latar Sosial

Identifikasi dari latar tempat dan waktu dapat juga menentukan latar sosial dari sebuah masyarakat di cerpen ini. Terjadinya intrik yang menyebabkan kematian Pamularsih dan anaknya cukup menunjukkan bahwa ada sebagian masyarakat yang dikisahkan dalam cerpen ini berkarakter picik dan kejam.

Alur

Alur yang digunakan dalam cerpen ini adalah alur maju. Pada bagian awal diceritakan Tugirah yang secara ‘terpaksa’ untuk merawat mayat. Di bagian tengah digambarkan kegiatan perawatan mayat dan dialog yang terjadi antara Tugirah dan Pamularsih. Di akhir cerita, Tugirah ternyata tetap mau menerima jenazah untuk dirawat dan disucikan.

Sudut Pandang

Sudut pandang yang dipakai dalam mengisahkan cerita ini adalah sudut pandang orang ketiga. Penulis tidak masuk secara langsung ke dalam cerita, namun penulis menjadi sumber yang sangat paham segala hal tentang tokoh utama. Seperti ditunjukkan dalam paragraf pertama ini:


Suara-suara memanggil namanya sayup sampai di telinga Tugirah, meninggi dan melambat berganti-ganti lalu seperti merambat dalam air dan menggelitik cuping telinga. Bebunyian yang bertahun-tahun dia kenali melebihi pengenalannya akan jumlah usia yang selalu lalai dihitungnya… (paragraph ke-1)

Penokohan

Tidak terlalu banyak tokoh yang ditonjolkan dalam cerpen ini. Bisa dibilang Tugirah menjadi tokoh utama yang mengisi hampir semua bagian cerita. Pergolakan batin yang memang berkutat pada tokoh Tugirah ini.


1. Tugirah


Secara fisik tidak dijelaskan dalam cerita menganai sosok Tugirah ini. Berapa umurnya atau bagaimana bentuk tubuhnya. Kita hanya mendapat kesan bahwa Tugirah adalah seorang perempuan tua. Itu ditunjukkan dengan fakta bahwa dia sudah memiliki anak dan dia sudah merasa bosan dengan pekerjaannya.

Tugirah digambarkan sebagai sosok yang saharja dan pasrah/berserah. Beberapa perian narasi dan dialognya menunjukkan itu.


  • a.

Seorang sepertinya tidak membutuhkan citra, hanya ketulusan, dia bergumam. Satu-satu, perhiasan yang ada pada tubuhnya terlepas: kalung, anting, gelang dan cincin. Perhiasan toh cuma pemanis belaka, tak dibawa mati. Maka tidak patutlah itu bersinggungan dengan orang mati….(paragraf ke-3)
b. Dia mencintai mereka seperti orang-orang tamak mencintai mestika. (Paragraf ke-6)
c. “Sebenarnya aku belum mau mati,” kata Pamularsih saat Tugirah menggosok punggungnya dengan lembut. Sentuhan kasih seorang ibu kepada anak tercinta.

“Tapi sudah terjadi,” kata Tugirah seperti bergumam saja. (Paragraf ke-16 dan ke-17)


d. …Dia sudah terbiasa mendapati kenyataan yang sebenarnya dari berbagai rahasia tanpa mampu untuk membuat suatu akhiran yang dapat mengubah. Dia tidak punya kemampuan untuk itu. Dia hanya mampu memberikan keseluruhan yang dia mampu untuk menyucikan mayit, bukan menjadi penuntut atau bahkan seorang hakim. (Paragraf ke-19)
e. “Bu Tugirah ingin tahu siapa dia?” tanya Pamularsih ketika tubuhnya telah tertutup kain kafan sepenuhnya. Tugirah menggeleng.

Kedua tangannya terangkat. Berdoa. (Paragraf ke-21 dan ke-22)

Satu hal yang sangat menonjol dari tokoh Tugirah ini adalah kemampuannya (seolah) berkomunikasi dengan mayat-mayat yang dia rawat. Tugirah menyimpan semua rahasia-rahasia kematian mayat-mayat yang dirawatnya. A. K. Basuki tidak menunjukkan secara persis apakah kemampuan ini salah satu wujud kelebihan supranaturalnya ataukah hanya refleksi psikologis karena beban pekerjaan yang telah dia emban sejak lama.

2. Pamularsih

Tokoh Pamularsih pada cerpen ini dikisahkan sebagai mayat. Kecuali secara fisik dia digambarkan sebagai seorang ibu yang sedang mengandung, kita akan kesulitan untuk mengidentifikasi tokoh mayat secara karakter, karena A. K. Basuki menggambarkannya pun secara dingin. Ini terlihat dari dialognya dengan Tugirah.


Pamularsih berkata memelas, “Nyawaku belum sampai tempatnya, Bu.”

“Lha, kok bisa?” tanya Tugirah. Dimiringkannya mayit ke arah kiri, salah satu dari dua orang yang bersamanya tanggap untuk memercikkan kembali air dari wadahnya. Kening orang itu terlihat berkerut keheranan.

“Bu, ” panggilnya ragu-ragu. Tugirah menggeleng dan memberi isyarat padanya untuk diam saja.

“Sebenarnya aku belum mau mati,” kata Pamularsih saat Tugirah menggosok punggungnya dengan lembut. Sentuhan kasih seorang ibu kepada anak tercinta.

“Tapi sudah terjadi,” kata Tugirah seperti bergumam saja.

“Dia mengajak kami berdua. Katanya akan dibawa minggat diam-diam. Ternyata, belum juga keluar dari jalanan desa ini, dia khianat. Ada anaknya dalam rahimku ini, Bu.”

3. Anak Tugirah

Informasi tentang fisik dan karakter anak dari Tugirah lebih minim lagi. Di sini dia hanya ditempatkan sebagai pelengkan informasi bahwa tokoh Tugirah memilik anak yang membantu pekerjaannya.

4. Dua orang pengantar

Dua orang pengantar mayat yang diikutsertakan sebagai bagian dalam cerita ini karakternya digambarkan cukup jelas. Yang satu lebih tua dari yang lainnya. Yang tua terlihat pongah dan menyebalkan, sementara tokoh lainnya digambarkan kikuk dan kalut. Kedua tokoh ini seharusnya menjadi penting sebagai pengait dengan mayat-mayat yang diantarnya. Namun, penulis tidak menjelaskan hubungannya secara pasti. Pembaca hanya bisa menduga bahwa tokoh yang lebih muda adalah suami dan ayah dari mayat-mayat itu.

Gaya

Seperti terkena tuah dari puisi yang menjadi sumber kembangannya, gaya penceritaan cerpen “Perawat Jenazah” terasa sangat puitis. Ada makna-makna khusus yang dijelaskan dengan bebagai gaya bahasa. Pembaca akan lebih mudah memahami kedalaman cerita jika menganggap cerpen ini beraliran impresionisme.

Impresionisme adalah aliran kesusastraan yang memusatkan perhatian pada apa yang terjadi dalam batin tokoh utama. Impresionisme lebih mengutamakan pemberian kesan/pengaruh kepada perasaan daripada kenyataan atau keadaan yang sebenarnya (Media Pembelajaran Sastra Indonesia). Kesan itu hampir terasa di sepanjang tulisan. Dialog-dialog antara Tugirah dan Pamularsih, serta suara-suara panggilan yang menyapa Tugirah ketiga ada mayat yang hendak dirawat memunculkan kesan atas kondisi batin tokoh Tugirah.

Gaya bahasa yang sering digunakan dalam cerpen ini adalah personifikasi:


  • a.

Suara-suara memanggil namanya sayup sampai di telinga Tugirah, meninggi dan melambat berganti-ganti lalu seperti merambat dalam air dan menggelitik cuping telinga. (Paragraf ke-1)
b. Terlihat sinar mata itu meredup dan bergerak-gerak aneh mencari obyek yang lain selain mayit si janda kembang dan anaknya itu. (Paragraf ke-8)

Di bagian lain A. K. Basuki menggunakan majas alegori:


Dibuatnya mereka laksana patung-patung pualam yang lolos dari cela dan melimpah dengan kasih sayang darinya karena mayit-mayit itu adalah juga anak-anaknya, buah hatinya. (Paragraf ke-20)

Catatan

Tentunya kita dapat mengambil sebuah kesimpulan dari hasil kajian terhadap cerpen “Perawat Jenazah” ini. Jika kita menilik keseluruhan unsur-unsur yang membangunnya, cerpen ini sungguh menawarkan sebuah perenungan batin tentang rahasia kematian dan kepasrahan. Kematian bagi yang menjalani adalah bentuk keikhlasan menuju dunia lain. Menjadi sebuah kewajiban bagi yang ditinggalkan untuk menghormati kesuciannya secara lahir, menghormati kesuciannya terhadap hal-hal yang menimpanya saat hidup.

Secara pribadi saya masih menganggap cerita ini kurang utuh sebagai sebuah cerpen. Merujuk pada beberapa pengertian cerpen yang mengutamakan adanya konflik dalam alur cerita, saya tidak menemukan konflik yang tegas dalam cerpen ini. Mungkin karena alirannya yang (menurut saya) impresionisme dan sedikitnya jumlah kata yang menyusunnya, hal-hal tersebut (mungkin sengaja) tidak digarap oleh sang penulis. Kesannya dibiarkan hadir merata dari awal tulisan hingga akhir.

Seperti saya yang masih membuat kesalahan dalam penulisan EYD, dalam cerpen ini ditemukan kata-kata yang tidak sesuai dengan ejaan. Seperti: mayit seharusnya mayat, indera seharusnya indra, obyek seharusnya objek.

Akhirnya, saya merasa sangat beruntung sempat membaca salah satu karya fiksi terbaik sepanjang saya berkutat di Kompasiana ini. Karya yang bagi saya akan tetap terekam dalam memori sebagai sebuah karya yang meninggalkan kedalaman kesan dan renungan. Yang saya lakukan ini adalah bentuk apresiasi saya terhadap salah satu karya fiksi terbaik di Kompasiana, meski secara fakta tak banyak dibaca oleh para kompasianer, tak dilirik admin untuk hadir sebagai karya fiksi yang pantas berjejer dengan karya fiksi HL lain.

Saya menyadari kajian ini sama sekali jauh dari sempurna. Banyak kekeliruan dan kesalahan yang tentunya berasal dari kedangkalan nalar dan kebodohan saya pribadi. Tapi saya tak akan pernah tahu kemampuan saya sampai saya mencobanya.

Maju terus penulis Fiksi Kompasiana. Menulis, belajar, dan menulislah!

***

Cirebon, 18 November 2011
Sumber:
Media Pembelajaran Sastra Indonesia
Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami”
Wikipedia
KBBI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun