Mohon tunggu...
Ramdhani Nur
Ramdhani Nur Mohon Tunggu... karyawan swasta -

lebih sering termenung daripada menulis...

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Kajian Terburuk terhadap Cerpenisasi Puisi Terburuk Sepanjang Sejarah Kompasiana

19 November 2011   09:59 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:28 804
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Catatan

Tentunya kita dapat mengambil sebuah kesimpulan dari hasil kajian terhadap cerpen “Perawat Jenazah” ini. Jika kita menilik keseluruhan unsur-unsur yang membangunnya, cerpen ini sungguh menawarkan sebuah perenungan batin tentang rahasia kematian dan kepasrahan. Kematian bagi yang menjalani adalah bentuk keikhlasan menuju dunia lain. Menjadi sebuah kewajiban bagi yang ditinggalkan untuk menghormati kesuciannya secara lahir, menghormati kesuciannya terhadap hal-hal yang menimpanya saat hidup.

Secara pribadi saya masih menganggap cerita ini kurang utuh sebagai sebuah cerpen. Merujuk pada beberapa pengertian cerpen yang mengutamakan adanya konflik dalam alur cerita, saya tidak menemukan konflik yang tegas dalam cerpen ini. Mungkin karena alirannya yang (menurut saya) impresionisme dan sedikitnya jumlah kata yang menyusunnya, hal-hal tersebut (mungkin sengaja) tidak digarap oleh sang penulis. Kesannya dibiarkan hadir merata dari awal tulisan hingga akhir.

Seperti saya yang masih membuat kesalahan dalam penulisan EYD, dalam cerpen ini ditemukan kata-kata yang tidak sesuai dengan ejaan. Seperti: mayit seharusnya mayat, indera seharusnya indra, obyek seharusnya objek.

Akhirnya, saya merasa sangat beruntung sempat membaca salah satu karya fiksi terbaik sepanjang saya berkutat di Kompasiana ini. Karya yang bagi saya akan tetap terekam dalam memori sebagai sebuah karya yang meninggalkan kedalaman kesan dan renungan. Yang saya lakukan ini adalah bentuk apresiasi saya terhadap salah satu karya fiksi terbaik di Kompasiana, meski secara fakta tak banyak dibaca oleh para kompasianer, tak dilirik admin untuk hadir sebagai karya fiksi yang pantas berjejer dengan karya fiksi HL lain.

Saya menyadari kajian ini sama sekali jauh dari sempurna. Banyak kekeliruan dan kesalahan yang tentunya berasal dari kedangkalan nalar dan kebodohan saya pribadi. Tapi saya tak akan pernah tahu kemampuan saya sampai saya mencobanya.

Maju terus penulis Fiksi Kompasiana. Menulis, belajar, dan menulislah!

***

Cirebon, 18 November 2011
Sumber:
Media Pembelajaran Sastra Indonesia
Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami”
Wikipedia
KBBI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun