Mohon tunggu...
Ramadhan Sigih Pratama
Ramadhan Sigih Pratama Mohon Tunggu... Lainnya - lainnya

Lahir di Bogor, 23 Desember 1999.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Destinasi Terakhir

27 Oktober 2023   08:53 Diperbarui: 27 Oktober 2023   09:28 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

 

CERPEN: Destinasi Terakhir

Bogor, 19 Juni 2023

 

Semua itu sudah lama berlalu, tapi ketakutan itu masih mencengkeram pundak Samil, menyuburkan belantara kecemasan di kepalanya. Samil banyak menghabiskan waktunya di atas kursi kayu dengan matanya yang terpejam sambil membicarakan tentang sepotong senja yang sedang mencair di sepertiga malam. Bibir Samil selalu tidak banyak bergerak, hanya bola matanya saja yang banyak bergerak mengikuti huruf-huruf yang berguguran dari permukaan lembar-lembar kertas yang sering dipegangnya itu.

 

Di akhir tanda tamatnya tersemat, saat di mana hikayat baru saja berangkat, Samil tetiba berada di sebuah awal perjalan panjang yang hendak mengantarkannya menuju entah. Ia terperangah berada di mulut gerbang sebuah stasiun. Lantas ia melangkah saja dengan perlahan menuju loket yang menyediakan beberapa destinasi. Lalu ia memesan satu tiket untuk dirinya sendiri. Dia datang bersama senja, dan harus menunggu samapi malam untuk menunggu kereta yang akan menjemputnya tiba. Saking lamanya malam datang, senja yang bersamanya itu sampai menetes-netes ke lantai stasiun yang tak dihiraukan seorang pun, tenggelam dalam keramaian. Di remang lorong stasiun Samil celingak-celinguk di antara banyak turis spiritual yang lalu lalang sedang berpetualang dalam sepotong dunia yang dibatasi oleh beberapa lapisan.

Setelah sekian lama menunggu, akhirnya kereta itu datang juga untuk membawa Samil ke tujuan akhir yang tak seorang pun tahu. Ini akan menjadi perjalan panjang yang menyenangkan, pikir Samil, sambil menaikkan langkahnya ke dalam pintu gerbong kereta yang akan membawanya menembus ribuan kilometer.

Dalam perjalanan ribuan kilometer menuju destinasi terakhir, ia banyak menemukan serpihan pikiran yang merayu bagai cangkir-cangkir berisi anggur yang manis dan lezat yang menunda perjalanannya menuju destinasi terakhirnya. Dalam gerbong dengan jendela besar yang menampilkan keindahan dunia yang luar biasa di luar sana, rasa-rasanya ingin sekali Samil singgahi barang sejenak. Berhenti barang sebentar barangkali, untuk sekadar menikmati keindahan yang tercipta di dunia, yang mungkin memang diperuntukkan untuk umat manusia, pikirnya. Tak apalah ngaret sampe tujuan, itung-itung liburan saja, pikirnya lagi.

Tak kuasa menahan buah-buah pikiran yang mengembara dalam semesta imajinasi dan keinginan-keinginannya yang menyeruak keluar, Samil melangkahkan saja kakinya dari gerbong kereta dan segera menjejakkan langkahnya di sebuah stasiun ketika kereta berhenti di bawah balutan malam yang hangat. Yang kebetulan malam itu adalah malam Natal yang hangat. Samil turun dari gerbong kereta, keluar stasiun barang sejenak dan memasuki sebuah kota. Pada malam itu, lonceng gereja berkeloneng menggema di seantero kota yang ia singgahi.  Dengan sayu-sayu ia mendengar suara ramai-ramai orang sedang melantunkan "Malam Kudus" di sudut-sudut kota itu, kota yang bernama Amor Tivanak. Sebuah kota kecil di bagian perairan utara yang indah dengan banyak bangunan-bangunan unik dan estetik.  

Pada malam Natal yang begitu hangat itu, di kota Amor Tivanak itu, Samil melangkahkan kakinya sepanjang jalan sambil menafsirkan pikiran tentang makna kehidupan dan pengembaraan. Ia tidak akan sampai pada ruang pikir semacam itu jika tidak berada dalam perjalanannya menuju destinasi terakhir.

***

Piringan hitam berdansa pada malam Natal itu di atas gramofon tua. "I'll find my way through night and day 'cause I know I just can't stay here in heaven", lantunan lirik lagu tears in heaven dari Eric Clapton itu menemani Samil berbaring di sebuah ranjang reot di dalam motel jadul ber-desain retro. Meski ia merasa hangat sebab Natal mendekapnya erat pada malam itu, tapi ia tak juga kunjung dapat terpejam lelap dalam letihnya usai perjalanan. Seperti ada kegaduhan dalam pikirannya yang melantunkan syair-syair tentang beragam hal.

Samil tak bisa tidur malam itu. lantas saja ia melesatkan tubuhnya ke sebuah bar di seberang Gereja tua untuk sekadar mencari rasa ngantuk dan melunturkan pikiran-pikiran di malam Natal yang belum selesai dan semakin hangat saja, rasa-rasanya.

Pikirnya, dengan memesan segelas anggur dan sepotong roti akan menghanyutkan pikirannya barang sekejap. Kemudian ketika ia sedang menghisap makna dalam selinting kretek dan menenggak cinta kasih dalam segelas anggur, seraya ia merasa pikiran itu berguguran jatuh ke atas meja bar. Meski telah dilap oleh seorang bartender, pikiran itu masih saja mengaliri sudut-sudut meja itu hingga menetes jatuh ke lantai-lantai bar.

Hingga kemudian, ada suara derap langkah yang menyapa dengan lembut dan menyapu semua pikiran yang berceceran di atas meja dan lantai itu.

"Selamat malam, semoga Tuhan menyertaimu di malam Natal yang hangat ini.", Sapa perempuan berparas cantik dengan air mukanya yang menyejukkan.

"Terima kasih dan selamat Natal kembali," Jawab Samil sambil mengeluarkan kepulan asap dari mulut dan lubang hidungya.

"Mau rokok?" Sambungnya menyodorkan sebungkus kretek pada perempuan itu.

Perempuan itu lalu menarik satu linting kretek dari bungkus yang sudah lecek. Kemudian  Samil bergegas mengangkat korek dengan api kecil yang membara ke depan bibir perempuan itu. Kemudian mereka berdua berbicara panjang lebar tentang cemara dan senja dalam sebungkus kretek dan sebotol anggur.

"Mau menikmati malam Natal, ya?" Tanyaku memulai percakapan.

"Mungkin." Jawabnya singkat.

"Tidakkah kau menikmatinya di Gereja?"

"Lebih baik duduk di bar memikirkan Tuhan. Daripada duduk di Gereja memikirkan bir. Semua orang dapat mencintaimu lalu menipumu di belakang, sama seperti kita mencintai Tuhan lalu berbuat dosa setiap saat. Karena dicium bukan berati engaku dicintai." tuturnya mengutip perkataan presiden Zimbabwe, yang entah siapa namanya ia tak mampu mengingatnya. Samil tidak langsung menjawab ucapan perempuan itu, ia mencoba menafsirkan huruf demi huruf hingga menjelma kata yang menjelaskan padanya apa pesan tersirat perempuan itu.

Samil menggumam dalam hati, siapa perempuan cantik  yang menyambanginya ini, di sebuah bar malam-malam begini terlebih lagi ini malam Natal yang hangat, yang pikirnya, biasanya momen malam Natal begini biasanya dihabiskan bersama orang-orang terkasih di rumah. Apa mungkin ia turis sepertiku juga, namun dilihat dari tampak air mukanya perempuan itu memiliki perangai penduduk pribumi kota Amor Tivanak, ujar Samil dalam hati.

Jawaban perempuan yang terakhir tadi rupanya cukup menumbuhkan lebih banyak lagi  buah pikiran Samil di malam Natal itu. Sambil bercakap-cakap tentang cemara dan senja, pikiran Samil tidak henti-hentinya melahirkan buah-buah pikiran yang baru. Memang Samil cukup multi talent untuk urusan begini, ia bisa mengobrol sambil memikirkan hal lain di kepalanya. Ia sudah sering melakukannnya di rumah. Jadi melakukannya bukanlah suatu masalah baginya.

"Ke mana destinasi akhirmu?" Tanya perempuan itu sedikit penasaran.

"Entahlah, apa yang ada di depan sana?"

Alih-alih menjawab, perempuan itu malah balik melontar tanya yang sama.

"Apa yang menjadi tujuan akhirmu?"

"Entahlah." Jawab Samil lagi.

Samil memang tidak pernah tahu destinasi terakhirnya, ia hanya mengikuti jalur rel yang telah diciptakan pikirannya yang lahir dari pertanyaan-pertanyaan kecil tentang cinta kasih, kehidupan, rembulan, senja, dan apalah semacamnya.

Ia diam saja sambil memasang raut wajah kebingungan sambil berpikir mengenai perempuan di sampingnya yang sedang sibuk dengan segelas anggur dan sepuntung kretek di sela-sela jarinya yang manis. Dan tanpa Samil sadari sedikit demi sedikit bola mata perempuan yang indah itu melirik ke arahnya sambil menopang dagu seperti memberi isyarat ingin melanjutkan percakapan sebelum malam melipat gelapnya.

"Kita telah berbicara panjang lebar, tapi aku belum tahu, siapa dirimu?" Tanya Samil membuka kembali percakapan.

"Maria," balasnya memperkenalkan diri. "Akankah kamu menetap di kota ini?" Lanjut perempuan itu bertanya.

"Jujur saja, kota ini sungguh memberikan kehangatan padaku, begitu pula kau, menambahkan kehangatan pada malam ini dalam segelas percakapan yang kita teguk sama-sama ini. Namun aku perlu melanjutkan perjalanan." 

"Aku tak akan memaksa, tapi jika dirasa ingin menetap lebih lama, datanglah ke tempatku. Aku tinggal di sebuah bangunan tua tepat di seberang bar ini." Maria menawarkan dengan hangat sambil mengacungkan jari telunjuk ke arah yang dimaksud.

Lalu Maria melesat menghilang ditelan pintu bar yang masih beroyang keluar-masuk. Samil belum sempat mengucapkan selamat tinggal padanya. Saking asiknya obrolan tadi, Samil juga sampai lupa memperkenalkan dirinya pada Maria. Tapi tak apalah, pikirnya, ia sudah tahu nama perempuan itu adalah Maria.

Hari sudah siap. Malam telah melipat gelapnya. Terlihat sinar mentari yang menyorot melahap malam. Maria tidak nampak di pagi Natal ini. Mungkin, pikir Samil, Maria sedang menghabiskan Natal bersama keluarganya. Ingin rasanya barang sejenak singgah ke gedung tua di seberang bar itu untuk sekadar berpamitan dengan Maria sekaligus mencicipi kehangatan Natal bersama Maria di sana.

Derap langkah Samil sudah menjauh lantas mendekat pada stasiun yang menunggu kedatangannya ketika terdengar suara kereta yang ngos-ngosan. Rupanya Amor Tivanak bukanlah tujuan akhirnya. Lalu Samil melamun saja dalam kursi kereta yang mendekapnya hingga perasaan kangen pada Maria dan malam Natal di kota itu mampir. Padahal baru sekejap ia meninggalkan Amor Tivanak.

***

Sudah lima tahun. Sudah lima tahun Samil membiarkan langkahnya mengembara entah ke mana. Samil tidak tahu kemana langkahnya akan menuju. Barangkali sudah beribu detik berguguran di atas rambutnya yang tebal keemasan dalam cahaya senja. Waktu menderu bersama gaung suara di pikiran yang seirama dengan bunyi laju kereta di atas rel ketika Samil diingatkan telah berada di antah berantah betapa jauhnya. Dalam gerbong kereta ia terus saja melahirkan pikiran-pikiran dalam lamunannya dengan deras. Seperti sedang balapan beradu cepat antara derasnya aliran pikiran dengan laju kereta. Hingga tak terasa lantunan bunyi kereta yang memiliki irama itu menuntunnya ke dalam tidur yang lelap.

***

Pada sepertiga malam itu, gerimis menetes-netes jatuh ke bumi, angin mendesah di remang dingin malam menuju pagi yang tak pasti. Samil terbangun, ketika gerbong tepat bersebelahan dengan peron, ia memandang ke sebelah jendela bersitatap dengan butir-butir gerimis yang menempel pada kaca jendela kereta di hadapan wajahnya. Ia mengusap matanya, menguap, dengan raut muka yang tampak lelah dan kebingungan, di mana ia sekarang, tanyanya dalam hati. Di tatapnya lekat-lekat plang yang bertengger di lorong stasiun yang sejak tadi memperhatikannya dengan huruf-hurufnya yang kompak membentuk kata yang bertuliskan "Selamat Datang di Parahma Wedura".

Nampaknya kali ini Samil terbangun di suatu kerajaan kecil bernama Parahma Wedura. Suatu kerajaan kecil dengan banyak bangunan peninggalan purbakala berupa candi, dengan desain kota yang menakjubkan, berserta bangunan-bangunan tua buatan tangan-tangan luar biasa dengan sentuhan cinta sederhana. Entah tangan mana yang mampu mengerjakan mahakarya semacam itu, pikirnya.

***

Ketika suatu sore tiba, Samil berjalan-jalan di tengah kesederhanaan kerajaan Parahma Wedura layaknya turis yang sedang singgah untuk berlibur menikmati yang telah tercipta di dunia. Ditemani bayangan di bawah sinar senja keemasan, Samil berjalan-jalan sambil menerjemahkan kesederhaan cinta pada setiap langkahnya sampai sinar senja hampir larut dalam genangan malam ketika angin berhenti. Lalu lampion-lampion mulai menyala di sepanjang jalan. Tapi tak seorang pun nampak di sepanjang jalan itu ketika kebijaksanaan sore dengan sederhana menebarkan cinta dan kasihnya pada kehidupan di bumi.

Indahnya senja terbenam tidak membuatnya berhenti melangkah di sepanjang jalan yang sunyi itu. Akan tetapi suatu ketika dalam langkahnya, Samil berpapasan dengan seseoang yang nampak tenang dengan senyum sederhana di bibirnya. Hal itu yang menghentikan langkah Samil di kesunyian jalan. Orang itu hendak mendatangi sebuah bangunan tua untuk membabarkan ajaran kebaikan kepada orang-orang yang sudah menunggu di sana. Namun karena bertemu dengan Samil yang sedikit kelaparan sebab jauhnya perjalanan, orang itu berhenti menyapa Samil dan mengajaknya ikut pergi bersama.

"O, kamu terlihat lelah dan kebingungan," kata orang itu kepada Samil lalu mengajaknya.

"Ikutlah denganku dan makanlah di tempatku!". 

Tanpa menjawab, kedua kaki Samil langsung saja mengikuti langkah orang yang berwibawa itu di bawah senja yang telah seutuhnya terbenam dalam malam. Di bangunan itu sudah ramai orang dan banyak makanan yang tersedia. Lantas orang itu menyuruh para pelayan menyiapkan makanan untuk Samil.

"Siapkahlah makanan untuk orang ini!" Seru orang itu pada para pelayan.

Kemudian Samil diberikan semangkuk bubur dan makannya lainnya, setelah perutnya kenyang ia duduk dengan tenang membaur bersama penduduk pribumi yang sedari tadi menunggu Sang Guru. Ternyata beliau adalah Sang Guru di tempat ini. Kemudian orang yang biasa dipanggil Sang Guru oleh para pribumi itu mulai membabarkan suatu ajaran tentang kebaikan dan kebijaksanaan cinta yang sederhana. Malam dengan sengit mendesahkan anginnya seraya menutup pembabaran orang itu tentang kebijaksanaan cinta sederhana.

Penduduk pribumi keheranan dengan apa yang dilakukan Sang Guru pada sore ini. Mereka berkata "Saudaraku, Guru kita tidak seperti biasanya, beliau tidak pernah melakukannya sebelum ini. Tetapi saat melihat orang asing itu kelaparan serta kelelahan, Sang Guru meminta kepada pelayan untuk menyediakan makanan untuknya."

Sang Guru mendengar percakapan itu lalu berujar. "Jikalau Aku mebabarkan ajaranku kepada orang yang perutnya kosong, ajaranku juga akan terasa kosong. Ia tidak akan dapat mengerti apa yang kuucapkan. Karena itu Aku melakukan apa yang harus kulakukan. Percayalah kelaparan adalah penyakit yang paling berat." Ujar Sang Guru dengan bijak bersama raut senyum yang sederhana di wajahnya.

Mendengar perkataan Sang Guru, Samil kembali melahirkan buah-buah pikirannya saat melamun di dalam balutan desir angin malan bersama kesunyian. Dari hal itu, Samil banyak belajar mengenai kebijaksaan cinta yang sederhana. Samil mencoba mencerna dan menafsirkan apa yang dimaksud dengan kesederhanaan cinta.

Samil kembali ke gerbongnya tapi bayangan Sang Guru dengan raut senyumnya itu terus saja memenuhi pikirannya. Samil pergi tidur malam itu saat kereta kembali melesat pergi dari tempat itu. Tetapi ia tidak dapat tidur malam itu. kebisingan di dalam kepalanya mengalahkan deru bunyi kereta yang meraung-raung.

 

Apa yang dikatakan lamunannya kemudian benar, Samil suka mengarang dongeng dan mitos tentangnya dan seutuh senja yang hilang berceceran di comberan. Entah mengapa, Samil sepertinya sering kehilangan akal sehatnya saat malam-malam mengerubungi pikirannya. Ia selalu menjadikan kesunyian sebagai renungan selayang pandang. Di dalam malam yang penuh dengan obrolan ia selalu meracau laju khayalan. Seperti setiap saat sering terjadi pergumulan yang tak sesungguhnya.     

***

 

Suara kereta sedang menderu-deru beradu bising dengan bunyi dengkuran. Samil tertidur pulas, amat sangat pulas, tetapi Samil terbangun di dunia lainnya. Ia menggumam ketika terbangun tidak berada di kursi penumpang kereta, melainkan ia terbangun pada setangkai bunga tidur di antah berantah. "Ini sorga?" Katanya dalam suara yang menggema. Ketika Samil tertidur di dunia nyata, di waktu bersamaan ia juga terbangun di dunia mimpi.

 

Langit sedang bersemu keungu-unguan kala itu, Samil kembali mengarungi waktu bersama desir detik jarum jam yang berdetak pelan amat sangat lamban di dalam lamunannya sehingga pikirannya mendesah pelan nyaris tak terdengar. Seperti gerak bibir yang dilihat dari kejauhan, hanya lamat-lamat kedengaran suara detak dalam pikirannya yang sedang menyampaikan segenap rahasia yang sulit diterjemahkan oleh bahasa dan mustahil terungkapkan hanya oleh sepotong kata.

Dengan kepala yang selalu penuh dengan beragam rupa hal yang kadang kala semestinya tak mesti dipikirkan, Samil berada di alam bunga tidur yang didekap oleh kabut-kabut lembut. Matanya redup menatap mega di waktu fajar terbit dengan seraut wajah berisi kebingungan. Ia masih saja celingak-celinguk kikuk sambil memandangi lembaran awan yang berarak tak rata di atas langit. Ia tahu perjalanannya belum berakhir. Ia tak pernah tahu tepatnya, di mana dan kapan perjalanan ini akan berakhir. Perjalanan ini belum juga berakhir setelah Samil mengarungi beribu detik yang menjelma selembar kalender dari suatu masa pertama kali Samil merasakannya. Lagi pula siapa bisa menebak di mana sembunyinya dari segala akhir?

Di semesta mimpi, Samil melangkah pelan dan sangat hati-hati. Ia berjalan-jalan. Kemudian ia berada di sebuah jalan setapak yang sempit di antara pepohonan tinggi dengan celah-celah rerimbun daunnya memancarkan sinar dari sepotong mentari yang menyala-nyala. Menurutnya ini tempat yang sungguh asing yang sulit diterjemahkan dengan tepat dan dalam waktu yang cepat. Di bawah terpaan mega yang direka-reka dari lembar-lembar awannya yang berserakan itu, Ia mendengar suara tangis serta lantunan nyanyian cinta. Ia berjalan mengikuti bunyi yang menggema di telinganya sembari mengarungi tidurnya ke tempat yang sama menuju kota lampau itu, tempat di mana tujuh sorga berada.

Kemudian Samil meilhat dari kejauhan sesosok yang dikenal dengan penyair sufi di semestanya. Sesosok penyair yang selalu waspada terhadap kemilau dan gemerlap dunia yang memperdayakan ini. Pikirnya dunia hanya serupa fatamorgana yang memabukkan, dengan tatapan mata yang menatap dengan penuh berahi, hati memikirkannya dengan penuh hasrat, dan jiwa menginginkannya dengan penuh harap.

 Ia melangkah mendekat dengan perlahan sebab takut mengganggu Sang Penyair yang sedang khusyuk di atas peraduannya. Penyair itu nampak sedang khidmat menatap mega di dalam rerimbun kabut lepas di bawah semburan air berwarna jingga di waktu senja bersama dengan aroma malam dan bulan saat purnama. Saking khusyuk ia menatap angin sampai bergenang air mata di atas peraduannya. Diriwayatkan memang Ia sering menghabiskan hari dengan sembahyang dalam renungan selayang pandang hingga garis wajahnya berlinang air mata sampai pagi menjelang kembali.

 

Penyair sufi itu tinggi dan berbadan besar dengan rambut ikalnya yang terurai di atas bahu. Dia menelengkan kepalanya memandang Samil penuh selidik, terlihat dari sorot matanya yang tak lepas dari Samil. Kemudian penyair itu mengatakan sesuatu yang di luar jangkauan kemampuan Samil. "Tidurlah kemudian anggap seolah-olah kematian telah berada di dekatmu. Bayangkan dan ambillah saat itu juga segala sesuatu yang kau sukai dan segera tinggalkan segala sesuatu yang kau benci." Penyair itu bertutur.

Samil terhenyak, mendongak terpaku pada sepasang mata biru itu. Samil mengangguk singkat, lalu ditinggkalnya oleh penyair itu yang menyelinap lalu lenyap di sela pepohonan yang daunnya berguguran dihempas-hempaskan angin di hadapanku. Samil tertegun, bahwa penyair itu ada di dalam, bahwa dia ada di dalam otak Samil sekarang. Tentu saja Samil terkesima, penyair itu pernah masuk ke dalam kepalanya, karena memang di sanalah penyair itu berasal.

Perjalanan Samil tak pernah berhenti sampai pada destinasinya, langkah kakinya yang lelah hanya berputar-putar di atas bianglala yang mengerang di dalam kepala. Pertemuan antarjiwa yang terjadi di dalam dunia mimpi, dalam mimpi Samil itu sendiri, dan di sana si penyair hanyalah seorang tamu tak diundang barangkali, atau malah tamu istimewa yang telah dinanti-nanti. Tetapi tanpa Samil sadari ia telah mementaskan drama di atas panggung mimpinya di mana ia bertemu dengan penyair sufi di semesta mimpi. Samil dan Penyair itu bukanlah dua orang berbeda di dalam mimpi itu. mereka berdua berada di balik dinding mimpi dan imajinasi yang sama.

***

Kereta masih menderu-deru beradu cepat dengan waktu yang sedang berkejaran dengan detik yang berdetak di pucuk jarum jam. Di semesta mimpi, malam telah menjelang, menandakan rembulan telah datang ke peraduannya setelah senja lelah memancar hangat tadi sore di balik awan yang keemasan. Samil senang bisa melihat senja tadi sore, dan menikmati rembulan saat malam ini di sini, di dunia mimpi. Tetapi Samil mesti pulang dari mimpinya, kembali ke dunia nyata dan kembali pada tidur pulasnya di sana. Di dunia yang nyata di dalam gerbong kereta, Samil  masih dalam tidurnya yang lelap dan merasa tak perlu bangun lagi, yang ternyata sebenarnya Samil kembali bangkit dari tidurnya di sebuah antah berantah nan jauh di sana yang barangkali di sanalah destinasi terakhirnya berada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun