"Tidakkah kau menikmatinya di Gereja?"
"Lebih baik duduk di bar memikirkan Tuhan. Daripada duduk di Gereja memikirkan bir. Semua orang dapat mencintaimu lalu menipumu di belakang, sama seperti kita mencintai Tuhan lalu berbuat dosa setiap saat. Karena dicium bukan berati engaku dicintai." tuturnya mengutip perkataan presiden Zimbabwe, yang entah siapa namanya ia tak mampu mengingatnya. Samil tidak langsung menjawab ucapan perempuan itu, ia mencoba menafsirkan huruf demi huruf hingga menjelma kata yang menjelaskan padanya apa pesan tersirat perempuan itu.
Samil menggumam dalam hati, siapa perempuan cantik  yang menyambanginya ini, di sebuah bar malam-malam begini terlebih lagi ini malam Natal yang hangat, yang pikirnya, biasanya momen malam Natal begini biasanya dihabiskan bersama orang-orang terkasih di rumah. Apa mungkin ia turis sepertiku juga, namun dilihat dari tampak air mukanya perempuan itu memiliki perangai penduduk pribumi kota Amor Tivanak, ujar Samil dalam hati.
Jawaban perempuan yang terakhir tadi rupanya cukup menumbuhkan lebih banyak lagi  buah pikiran Samil di malam Natal itu. Sambil bercakap-cakap tentang cemara dan senja, pikiran Samil tidak henti-hentinya melahirkan buah-buah pikiran yang baru. Memang Samil cukup multi talent untuk urusan begini, ia bisa mengobrol sambil memikirkan hal lain di kepalanya. Ia sudah sering melakukannnya di rumah. Jadi melakukannya bukanlah suatu masalah baginya.
"Ke mana destinasi akhirmu?" Tanya perempuan itu sedikit penasaran.
"Entahlah, apa yang ada di depan sana?"
Alih-alih menjawab, perempuan itu malah balik melontar tanya yang sama.
"Apa yang menjadi tujuan akhirmu?"
"Entahlah." Jawab Samil lagi.
Samil memang tidak pernah tahu destinasi terakhirnya, ia hanya mengikuti jalur rel yang telah diciptakan pikirannya yang lahir dari pertanyaan-pertanyaan kecil tentang cinta kasih, kehidupan, rembulan, senja, dan apalah semacamnya.
Ia diam saja sambil memasang raut wajah kebingungan sambil berpikir mengenai perempuan di sampingnya yang sedang sibuk dengan segelas anggur dan sepuntung kretek di sela-sela jarinya yang manis. Dan tanpa Samil sadari sedikit demi sedikit bola mata perempuan yang indah itu melirik ke arahnya sambil menopang dagu seperti memberi isyarat ingin melanjutkan percakapan sebelum malam melipat gelapnya.