"Kita telah berbicara panjang lebar, tapi aku belum tahu, siapa dirimu?" Tanya Samil membuka kembali percakapan.
"Maria," balasnya memperkenalkan diri. "Akankah kamu menetap di kota ini?" Lanjut perempuan itu bertanya.
"Jujur saja, kota ini sungguh memberikan kehangatan padaku, begitu pula kau, menambahkan kehangatan pada malam ini dalam segelas percakapan yang kita teguk sama-sama ini. Namun aku perlu melanjutkan perjalanan."Â
"Aku tak akan memaksa, tapi jika dirasa ingin menetap lebih lama, datanglah ke tempatku. Aku tinggal di sebuah bangunan tua tepat di seberang bar ini." Maria menawarkan dengan hangat sambil mengacungkan jari telunjuk ke arah yang dimaksud.
Lalu Maria melesat menghilang ditelan pintu bar yang masih beroyang keluar-masuk. Samil belum sempat mengucapkan selamat tinggal padanya. Saking asiknya obrolan tadi, Samil juga sampai lupa memperkenalkan dirinya pada Maria. Tapi tak apalah, pikirnya, ia sudah tahu nama perempuan itu adalah Maria.
Hari sudah siap. Malam telah melipat gelapnya. Terlihat sinar mentari yang menyorot melahap malam. Maria tidak nampak di pagi Natal ini. Mungkin, pikir Samil, Maria sedang menghabiskan Natal bersama keluarganya. Ingin rasanya barang sejenak singgah ke gedung tua di seberang bar itu untuk sekadar berpamitan dengan Maria sekaligus mencicipi kehangatan Natal bersama Maria di sana.
Derap langkah Samil sudah menjauh lantas mendekat pada stasiun yang menunggu kedatangannya ketika terdengar suara kereta yang ngos-ngosan. Rupanya Amor Tivanak bukanlah tujuan akhirnya. Lalu Samil melamun saja dalam kursi kereta yang mendekapnya hingga perasaan kangen pada Maria dan malam Natal di kota itu mampir. Padahal baru sekejap ia meninggalkan Amor Tivanak.
***
Sudah lima tahun. Sudah lima tahun Samil membiarkan langkahnya mengembara entah ke mana. Samil tidak tahu kemana langkahnya akan menuju. Barangkali sudah beribu detik berguguran di atas rambutnya yang tebal keemasan dalam cahaya senja. Waktu menderu bersama gaung suara di pikiran yang seirama dengan bunyi laju kereta di atas rel ketika Samil diingatkan telah berada di antah berantah betapa jauhnya. Dalam gerbong kereta ia terus saja melahirkan pikiran-pikiran dalam lamunannya dengan deras. Seperti sedang balapan beradu cepat antara derasnya aliran pikiran dengan laju kereta. Hingga tak terasa lantunan bunyi kereta yang memiliki irama itu menuntunnya ke dalam tidur yang lelap.
***
Pada sepertiga malam itu, gerimis menetes-netes jatuh ke bumi, angin mendesah di remang dingin malam menuju pagi yang tak pasti. Samil terbangun, ketika gerbong tepat bersebelahan dengan peron, ia memandang ke sebelah jendela bersitatap dengan butir-butir gerimis yang menempel pada kaca jendela kereta di hadapan wajahnya. Ia mengusap matanya, menguap, dengan raut muka yang tampak lelah dan kebingungan, di mana ia sekarang, tanyanya dalam hati. Di tatapnya lekat-lekat plang yang bertengger di lorong stasiun yang sejak tadi memperhatikannya dengan huruf-hurufnya yang kompak membentuk kata yang bertuliskan "Selamat Datang di Parahma Wedura".