Mohon tunggu...
Ramadhana Bagus
Ramadhana Bagus Mohon Tunggu... Freelancer - Observer

Mencoba merubah hati manusia melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Setebal Kabut, Setitik Mentari

6 Januari 2020   14:19 Diperbarui: 6 Januari 2020   14:29 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pinterest.com/Ria ZonneStraaltje

Udara dingin berhembus berulang kali. Membuatku harus terus memeluk diriku sendiri yang dibalut jaket. Pukul empat pagi. Lima jam setelah pesan singkat yang membuatku shock bukan main. Angin berhembus kembali. Membuat jaketku berkibar-kibar. Dingin sekali.

"Sudah kuduga kau di sini."

Daritadi aku mendengar suara gesekan tanaman. Aku tahu mungkin itu ulah angin. Tapi angin tidak berhembus sesering itu.

Seseorang muncul dari balik pohon. Yusuf. Aku tidak menghiraukan kedatangannya.

"Tinggalkan aku sendiri, Suf. Aku ingin sendiri." Bukannya memahami perkataanku, Yusuf malah duduk tepat di sampingku.

"Paling tidak kau menjadi lebih hangat sekarang."

"Tidak. Malah jadi lebih dingin." jawabku ketus.

"Kalau begitu aku akan menjadi teman yang berbagi dingin."

Aku menghembuskan napas berat. "Terserahmu. Kalau masuk angin aku tidak tanggung jawab."

Yusuf tersenyum. Aku melirik wajahnya. Sungguh, apa yang sebenarya dilakukan laki-laki ini? Sekarang pukul tiga pagi, waktu dimana bumi berada pada tiitk terdinginnya. Teman-teman lain masih tidur, tapi dia? Sungguh aku tidak mengerti cara berpikir laki-laki. Kami berdua terdiam di puncak Bogor, memandangi gemerlap lampu kota yang jauh di sana.

"Serakah itu tidak bagus."

Aku menoleh pada Yusuf. "Maksudmu?"

"Jangan serakah. Jangan pelit. Berbagilah dengan temanmu."

Aku mengernyitkan dahi. Semakin tidak mengerti apa yang dikatakan Yusuf. Apa dia mabuk? Tidak mungkin. Kami tidak membawa bir atau semacamnya.

"Tidurlah, Suf. Kau ngelindur." Balasku mencoba mengusirnya.

Angin berhembus kembali. Kali ini Yusuf ikut-ikutan memeluk tubuhnya sendiri. "Kalau kau sedang makan, kemudian kau kenyang dan makananmu tidak habis. Apa yang akan kau lakukan?"

"Hah? tentu saja menawarkannya pada orang lain--tidak. Maksudku kepada teman-teman. Mubazir jika dibuang." Jawabku terheran-heran.

Yusuf mengangguk. "Tepat sekali."

"Permainan apa ini, Suf? Kembalilah ke tenda. Kau merusak suasan---"

"Itu yang barusan ingin aku katakan padamu." Yusuf memotong perkataanku. Lalu dia menoleh padaku. Matanya memandangku tajam. Seolah tatapannya ingin menelanku hidup-hidup. "Maksudku, ayolah Tan. Kau harus jujur pada dirimu sendiri. Kalau kau sudah tidak sanggup, bicaralah. Jangan menahan diri. Jangan menyakitimu sendiri.." Yusuf kini menggenggam kedua bahuku. Wajahnya makin serius.

"Berbagilah, Intan. Berbagilah kepada temanmu---padaku. Kau tidak mungkin menghabiskan makananmu sendiri jika kau sendiri sudah tidak sanggup untuk makan lagi. Biar temanmu yang membantu menghabiskannya."

Aku terdiam. Memandangi wajahnya---matanya yang terlihat bersungguh-sungguh. Rasanya aku sudah mengerti apa maksud perkataan Yusuf. Sulit ditebak, tapi memang begitu gayanya.

Aku terkekeh. "Menyebalkan. kau.. kau sungguh yang terburuk, Suf." Aku menyikutnya, memalingkan wajahku.

"Tidak ada yang menyebalkan selama aku masih bisa menghabiskan makananmu." Yusuf terkekeh diujung. Membuatku makin kesal padanya. Terlebih lagi air mataku mulai menetes satu demi satu.

"Jangan malu. Ini, pakailah."

Tanpa melihat, aku mengambil apa yang disodorkan Yusuf. Pasti sapu tangan. Ya, tentu saja sapu tangan. Benda yang selalu dibawanya ke mana-mana. "Ceritalah kalau sudah tenang." Ujarnya.

"Kau tahu, Suf."

"Tahu apa?"

Aku menoleh padanya, tanpa pikir panjang, dengan mata sembab dan ingus yang meleri ke mana-mana.

"Jangan bohong Kau pasti tahu!" seruku sambil menyamarkan tangisanku.

"Iya. Aku tahu. Tapi tolong bersihkan dulu ingus yang bergelantungan di hidungmu itu." aku reflek menutupi hidungku dengan sapu tangan. Yusuf tersenyum. Aku merasa malu.

Butuh waktu lima menit bagiku untuk membersihkan ingusku. Sialan. Kalau bukan karena udara dingin ini. keluhku.

"Yusuf, ibuku.. dia.. tertang.. dia.." aku gagal menyelesaikan kalimatku. Semua gara-gara air mataku menetes lagi. "Dia.. dia.. ukh.." aku tersedu kembali. Kini air mataku mengalir lebih deras.

"Dia.. tertangkap..." aku menyelesaikan kalimatku. Dengan perjuangan berat.

Yusuf diam tak bereaksi. Dia memandangi gemerlap lampu di ujung sana.

"Kau.. kau tahu siapa yang menangkapnya?!" aku bersuara kembali. Dengan intonasi yang lebih keras. "Kau pasti tahu, Yusuf! siapa lagi kalau bukan.. kalau bukan bawahan-bawahan busuk dari---"

"Dari Ayahku." Yusuf menimpali perkataanku untuk yang kedua kalinya.

Aku terdiam. Meringkuk. Menangis sejadi-jadinya. Suara gesekan pohon bukan apa-apa lagi. Udara dingin tidak masalah lagi. Hidupku sudah hancur.

"Maaf.. Intan.." lirih Yusuf.

"Bukan, ini bukan salahmu.." aku menoleh ke arahnya. "Ini salah orang-orang seperti ayahmu yang tidak mau membagi makanannya pada orang lain! Yang serakah tarhadap makanannya sendiri! Yang tidak pernah puas dengan makanan yang dia punya! Kini aku mengerti kenapa sebagian besar koruptor perutnya buncit." aku sesenggukan mengelap air mataku.

"Ibuku lah yang mencoba membujuk ayahmu untuk membagi makanannya. Tapi, dia terjun terlalu dalam.. inilah akibatnya sekarang.."

Tidak terasa langit sudah mulai terihat kemerah-merahan. Kabut samar-samar mulai muncul dan mulai mengaburkan pandanganku dan Yusuf. Terlebih dengan mata yang berlinang air mata seperti ini, melihat gemerlap lampu-lampu diujung sana sudah tidak mungkin. Aku merasa sendiri. Kami berdua kembali terdiam.

Tidak ada pembicaraan antara kami berdua kira-kira selama lima belas menit.

Ketika Mentari mulai memberanikan terbit di ufuk timur sana, Yusuf membuka suaranya.

"Berdirilah." Aku menoleh keheranan. Tapi malah disambut uluran tangannya. "Berdirilah, Tan. Lihat betapa beraninya mentari itu. Dia menyingkirkan kabut yang membuat kita samar-samar melihat kedepan."

Aku menuruti perkataan Yusuf. benar, perkotaan yang dibawah yang tadi tertutup kabut, sekarang menjadi jelas terlihat.

"Pasti kau pernah dengar habis gelap terbitlah terang. Ini tidak jauh berbeda, Intan." Yusuf menoleh padaku.

"Selama Mentari masih ada, Kabut akan menghilang, jalan akan terlihat, harapan akan---"

"Harapan akan selalu ada." Aku tersenyum, menimpali perkataan Yusuf.

"Dan kebenaran pasti akan menang." Yusuf menyelesaikan perkatannya. Dia balik tersenyum padaku.

Yusuf mendadak mengacak-ngacak rambutku. "Bangkitlah, Tan! Aku punya banyak rencana yang harus segera dilaksanakan sepulang dari sini."

"Lalu apa urusannya denganku?" Aku mencoba untuk menyingkirkan tangannya. Tapi percuma, aku terlalu lemah dan pendek. Tanganku tidak bisa mengalahkan lengan kekarnya.

Yusuf menghembuskan napas panjang. Tangannya tak lagi mengacak-ngacak rambutku.

"Bantu aku."

"Hah?"

"Bantu aku. Aku butuh banyak informasi banyak. Pasti reporter sepertimu punya koneksi yang banyak."

Seketika tubuhku merinding. Senyuman tersimpul di wajahku. "Beres!"

"Sudah pagi, ayo bangunkan yang lain!"

"Eh, tunggu!" Yusuf tiba-tiba berlari meninggalkanku. Sampai tidak sadar dia menjatuhkan barang berharga dari sakunya. "Lencanamu jatuh! Bisa apa kau tanpa ini!" aku berlari menyusulnya yang terlihat sudah berteriak semangat membangunkan teman-teman lain.

Ya, sebuah lencana kebanggaan berlambang Garuda dengan tulisan di bawahnya.

Komisi Pemberantasan Korupsi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun