Udara dingin berhembus berulang kali. Membuatku harus terus memeluk diriku sendiri yang dibalut jaket. Pukul empat pagi. Lima jam setelah pesan singkat yang membuatku shock bukan main. Angin berhembus kembali. Membuat jaketku berkibar-kibar. Dingin sekali.
"Sudah kuduga kau di sini."
Daritadi aku mendengar suara gesekan tanaman. Aku tahu mungkin itu ulah angin. Tapi angin tidak berhembus sesering itu.
Seseorang muncul dari balik pohon. Yusuf. Aku tidak menghiraukan kedatangannya.
"Tinggalkan aku sendiri, Suf. Aku ingin sendiri." Bukannya memahami perkataanku, Yusuf malah duduk tepat di sampingku.
"Paling tidak kau menjadi lebih hangat sekarang."
"Tidak. Malah jadi lebih dingin." jawabku ketus.
"Kalau begitu aku akan menjadi teman yang berbagi dingin."
Aku menghembuskan napas berat. "Terserahmu. Kalau masuk angin aku tidak tanggung jawab."
Yusuf tersenyum. Aku melirik wajahnya. Sungguh, apa yang sebenarya dilakukan laki-laki ini? Sekarang pukul tiga pagi, waktu dimana bumi berada pada tiitk terdinginnya. Teman-teman lain masih tidur, tapi dia? Sungguh aku tidak mengerti cara berpikir laki-laki. Kami berdua terdiam di puncak Bogor, memandangi gemerlap lampu kota yang jauh di sana.
"Serakah itu tidak bagus."