Aku menoleh pada Yusuf. "Maksudmu?"
"Jangan serakah. Jangan pelit. Berbagilah dengan temanmu."
Aku mengernyitkan dahi. Semakin tidak mengerti apa yang dikatakan Yusuf. Apa dia mabuk? Tidak mungkin. Kami tidak membawa bir atau semacamnya.
"Tidurlah, Suf. Kau ngelindur." Balasku mencoba mengusirnya.
Angin berhembus kembali. Kali ini Yusuf ikut-ikutan memeluk tubuhnya sendiri. "Kalau kau sedang makan, kemudian kau kenyang dan makananmu tidak habis. Apa yang akan kau lakukan?"
"Hah? tentu saja menawarkannya pada orang lain--tidak. Maksudku kepada teman-teman. Mubazir jika dibuang." Jawabku terheran-heran.
Yusuf mengangguk. "Tepat sekali."
"Permainan apa ini, Suf? Kembalilah ke tenda. Kau merusak suasan---"
"Itu yang barusan ingin aku katakan padamu." Yusuf memotong perkataanku. Lalu dia menoleh padaku. Matanya memandangku tajam. Seolah tatapannya ingin menelanku hidup-hidup. "Maksudku, ayolah Tan. Kau harus jujur pada dirimu sendiri. Kalau kau sudah tidak sanggup, bicaralah. Jangan menahan diri. Jangan menyakitimu sendiri.." Yusuf kini menggenggam kedua bahuku. Wajahnya makin serius.
"Berbagilah, Intan. Berbagilah kepada temanmu---padaku. Kau tidak mungkin menghabiskan makananmu sendiri jika kau sendiri sudah tidak sanggup untuk makan lagi. Biar temanmu yang membantu menghabiskannya."
Aku terdiam. Memandangi wajahnya---matanya yang terlihat bersungguh-sungguh. Rasanya aku sudah mengerti apa maksud perkataan Yusuf. Sulit ditebak, tapi memang begitu gayanya.