"Dia.. tertangkap..." aku menyelesaikan kalimatku. Dengan perjuangan berat.
Yusuf diam tak bereaksi. Dia memandangi gemerlap lampu di ujung sana.
"Kau.. kau tahu siapa yang menangkapnya?!" aku bersuara kembali. Dengan intonasi yang lebih keras. "Kau pasti tahu, Yusuf! siapa lagi kalau bukan.. kalau bukan bawahan-bawahan busuk dari---"
"Dari Ayahku." Yusuf menimpali perkataanku untuk yang kedua kalinya.
Aku terdiam. Meringkuk. Menangis sejadi-jadinya. Suara gesekan pohon bukan apa-apa lagi. Udara dingin tidak masalah lagi. Hidupku sudah hancur.
"Maaf.. Intan.." lirih Yusuf.
"Bukan, ini bukan salahmu.." aku menoleh ke arahnya. "Ini salah orang-orang seperti ayahmu yang tidak mau membagi makanannya pada orang lain! Yang serakah tarhadap makanannya sendiri! Yang tidak pernah puas dengan makanan yang dia punya! Kini aku mengerti kenapa sebagian besar koruptor perutnya buncit." aku sesenggukan mengelap air mataku.
"Ibuku lah yang mencoba membujuk ayahmu untuk membagi makanannya. Tapi, dia terjun terlalu dalam.. inilah akibatnya sekarang.."
Tidak terasa langit sudah mulai terihat kemerah-merahan. Kabut samar-samar mulai muncul dan mulai mengaburkan pandanganku dan Yusuf. Terlebih dengan mata yang berlinang air mata seperti ini, melihat gemerlap lampu-lampu diujung sana sudah tidak mungkin. Aku merasa sendiri. Kami berdua kembali terdiam.
Tidak ada pembicaraan antara kami berdua kira-kira selama lima belas menit.
Ketika Mentari mulai memberanikan terbit di ufuk timur sana, Yusuf membuka suaranya.