Tuk. Tuk. Tuk. Seseorang yang tadi memerintahkan 36 pejuang, keluar dari ruangan---menampakkan diri.
"Oded?!" Aku tak percaya. Bagaimana mungkin prajurit terbaikku bisa membelot.
Amarahku sudah tak terbendung lagi. Kuarahkan senjata yang kupegang kepada Oded. Kutarik pelatuknya. Ceklek! Ternyata senjataku tidak ada amunisinya.
"Sialan!" Teriakku kesal sembari membanting senjata itu ke lantai.
"Santai, Bung. Tidak usah emosi." Kata Oded dengan nada mengejek.
"Mengapa kau berkhianat, Oded?!" Tanya Heru kesal.
Oded sebetulnya tidak berkhianat. Sedari dulu dia tidak pernah suka dengan keberadaan kelompok perjuangan. Baginya, kelompok perjuangan hanya sebuah kelompok yang justru menambah penderitaan masyarakat pribumi.
Dia beranggapan kalau kaum pribumi melakukan perlawanan, itu hanya akan menyengsarakan. Apa susahnya tunduk kepada Belanda. Menurut Oded jika kita tunduk kepada Belanda, maka peperangan akan berakhir. Tidak ada lagi kesengsaraan. Semua rakyat hidup damai, walaupun harus hidup di bawah kekuasaan Belanda.
"Kehidupanku semakin menderita selepas kepergian orang tua dan saudara kandungku, Bung." Kata Oded dengan suara lirih.
"Mereka mati karena melindungi kelompokmu. Semenjak kejadian itu, aku semakin yakin kalau kelompok perjuangan seperti kalian, hanya menambah penderitaan rakyat."
"Untuk mendapatkan kemerdekaan, kita memang perlu pengorbanan, Oded." Kataku, membantah argumen Oded.