Aku dan Heru terus berjalan. Kami menuruni bukit menuju ke pesisir pantai.
Di salah satu spot yang ada di pantai, terdapat sebuah bangunan dengan bendera merah putih berkibar di atasnya. Aku dan Heru menghampiri bangunan itu. Namun nampaknya bangunan itu kosong.
Heru membuka pintu perlahan. Kami pun masuk ke dalam bangunan. Benar, bangunannya ternyata kosong. Hanya ada beberapa kaleng makanan dan persenjataan tergeletak di salah satu meja yang ada di bangunan ini.
Pandanganku dan Heru berkeliling. Memperhatikan setiap sudut ruangan. Kami pun berpikir---mengapa bangunan ini dibiarkan kosong? Kemana para penghuninya?
Tuk. Tuk. Tuk. Seorang pria keluar dari salah satu ruangan. Tangannya terikat. Mulutnya tertutup lakban.
Melihat hal itu, alarm waspadaku berdentang. Refleks, aku langsung mengambil laras panjang yang ada di dekatku. Kewaspadaanku dan Heru sudah seratus persen.
"Keluar! Semuanya, keluar!" Seseorang berteriak dari dalam salah satu ruangan. Seketika, 30 orang pria dan 6 wanita keluar dari ruangan itu. Mereka adalah anggota kelompok perjuangan desa Karang Luhur. Kondisinya semua sama. Tangan terikat dan mulut tertutup lakban.
Aku semakin kebingungan. Ada apa ini sebenarnya? Aku dan Heru semakin kencang mencengkram senjata.
Para pejuang tadi, kini sudah berada di ruang tengah. Mereka membuat satu saf barisan. Setelah itu, masuklah satu regu bersenjatakan lengkap. Siapa lagi kalau bukan pasukan Belanda. Moncong senjatanya mengarah kepadaku, Heru, dan sekelompok orang yang tangnya terikat.
Dor! Satu peluru menembus salah satu kepala. Satu orang mati seketika.
Dor! Dor! Dor! Sekelompok pejuang yang tangannya terikat dihabisi oleh pasukan Belanda. Tuntas! Tidak ada yang tersisa. 36 anggota kelompok perjuangan desa Karang Luhur tewas seketika.