"Gila, cowok ini baik juga ya ternyata. Aku kira sifat dinginnya dia gak akan peduli sama orang lain justru sebaliknya dia baik banget."
"Ran ... Ran ... Ran ... halo kamu baik-baik saja 'kan?" ucap Sheren sambil melambai-lambaikan tangannya ke mataku.
"Hhhh ... iya Sher ada apa?" jawabku sambil kebingungan.
"Tuh 'kan pasti kamu lagi melamun tentang ketos itu ya?" ledeknya.
"Apaan sih Sheren, sok tahu banget deh!"
"Iya deh, maaf," ucap Sheren.
      Hari ini ayah menjemputku untuk pulang karena ayah tahu takutnya aku tidak mendapatkan kendaraan umum untuk pulang. Saat aku bertemu ayah di gerbang sekolah, ayah terkejut ketika melihat lukaku ini. Diintrogasilah aku seperti berada di dalam sel penjara atas tuduhan tindakan kejahatan.
"Ayah jangan bertanya sekarang ya, nanti saja aku akan bercerita di rumah." Potongku sebelum ayah menanyakan hal itu padaku.
      Ayah menurutku seperti pahlawan yang berjuang pada masa perjuangan. Ayah selalu berusaha melindungiku dari serangan yang menimpa kepadaku. Namun, ayah seperti merasa gagal karena hari ini gagal melindungi putrinya dari serangan. Hatiku meleleh setelah mengerti sifat ayah yang selalu berusaha melindungiku. Bahkan ayah juga selalu membelaku jika ibu sedang memarahiku.
      Aku merasa sangat bersyukur memiliki ayah sepertinya. Aku pun merasa bahwa masa remajaku ini sangat dipenuhi oleh ayah setiap waktunya. Ayah selalu mendukungku dalam kondisi apapun itu. Ayah jika kamu tahu aku sedang memikirkanmu akan sifatmu pasti kau akan tersenyum dan ayah hanya satu yang ingin aku sampaikan kepadamu yaitu 'I LOVE YOU'.
      Tidak terasa perjalanan ini hanya sekejap mata bagiku. Entah aku yang terlalu fokus pada ayah atau memang waktunya yang diperlambat. Sesampainya di rumah ibu melihat luka yang tertera pada kakiku. Mulailah emosi ibu yang meluap-luap seakan terjadi banjir.