Tuntutan kebutuhan manusia ini bertingkat-tingkat, menurut al-Syatibi ada 3 (tiga) kategori tingkat kebutuhan, yaitu: dharuriyat (kebutuhan primer), hajiyat (kebutuhan sekunder), dan tahsiniyah (kebutuhan tersier).
- Dharuriyat, tingkat kebutuhan 'primer' adalah sesuatu yang harus ada bagi keberadaan manusia atau dengan kata lain kehidupan manusia yang tidak sempurna tanpa harus dipenuhi oleh manusia sebagai ciri atau kelengkapan hidup manusia, yaitu dalam hal pangkat: agama, jiwa, pikiran, harta benda, dan keturunan. . Kelima hal ini disebut al-dharuriyat al-khamsah (lima dharuriyat) . Lima dharuriyat adalah hal yang mutlak harus ada dalam diri manusia. Oleh karena itu Allah swt memerintahkan manusia untuk melakukan segala upaya demi keberadaan dan kesempurnaannya. Di sisi lain, Allah SWT melarang melakukan tindakan yang dapat menghilangkan atau mengurangi salah satu dari lima dharuriyat. Setiap tindakan yang dapat mewujudkan atau mengabadikan lima elemen esensial adalah baik, dan oleh karena itu harus dilakukan. Sedangkan segala perbuatan yang merusak atau mereduksi nilai kelima unsur pokok tersebut adalah tidak baik, oleh karena itu harus ditinggalkan. Semua itu mengandung manfaat bagi manusia.
- Hajiyat, kebutuhan akan tingkatan “sekunder” bagi kehidupan manusia, yaitu sesuatu yang dibutuhkan bagi kehidupan manusia, tetapi tidak mencapai tingkatan Dharuri. Jika kebutuhan itu tidak terpenuhi dalam kehidupan manusia, maka tidak akan meniadakan atau menghancurkan kehidupan itu sendiri. Namun keberadaannya diperlukan untuk memberikan kemudahan dan menghilangkan kesulitan dan kesulitan dalam kehidupan mukallaf.
- Tahsiniyat, kebutuhan akan jenjang “tersier” adalah sesuatu yang harus ada untuk mempercantik kehidupan. Tanpa pemenuhan kebutuhan ini hidup tidak akan rusak dan tidak menimbulkan kesulitan. Adanya tingkat kebutuhan ini sebagai pelengkap dari dua tingkat kebutuhan sebelumnya yang melengkapi kehidupan mukallaf yang menitikberatkan pada persoalan etika dan estetika dalam kehidupan.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Paradigma Maslahah dalam Pemenuhan Kebutuhan Manusia
Hakikat masalah ekonomi dalam perspektif ekonomi konvensional (kapitalis atau sosialis) adalah masalah kebutuhan manusia yang tidak terbatas sedangkan alat pemuas kebutuhannya terbatas atau langka (scarcity). Dalam kaitan ini, ilmu ekonomi konvensional menempatkan keinginan dan kebutuhan sebagai bentuk yang setara dan saling bergantung karena keinginan dan kebutuhan berasal dari tempat yang sama, yaitu naluri keinginan manusia.
Islam menolak anggapan bahwa kebutuhan manusia tidak terbatas. Karena pada kebutuhan tertentu seperti makan dan minum pada saat perut sudah kenyang, maka ia terpuaskan karena kebutuhannya telah terpenuhi.
Jadi kesimpulannya adalah bahwa kebutuhan manusia terbatas sebagaimana dijelaskan dalam konsep hukum utilitas marjinal yang semakin berkurang, bahwa semakin banyak barang yang dikonsumsi, pada titik tertentu akan menimbulkan kepuasan tambahan dari setiap penambahan jumlah barang yang dikonsumsi akan berkurang. Jadi ada celah pemikiran yang menciptakan kebingungan persepsi antara pengertian tentang kebutuhan dan keinginan.
Jika perilaku manusia bertumpu pada keinginan, maka masalah ekonomi tidak akan pernah terselesaikan karena hawa nafsu manusia selalu merasa tidak akan pernah terpuaskan. Dalam kerangka Islam, tidak semua keinginan manusia dijadikan sebagai kebutuhan. Hanya keinginan yang memiliki nilai maslahah di dunia ini dan di akhirat yang dapat dijadikan kebutuhan. Rasionalitas sebagai konsekuensinya menuntut pemaksimalan keinginan akan kepuasan material sebagai “nilai” yang harus dicapai.
Dengan inilah seperangkat asumsi dalam ilmu ekonomi konvensional dibangun. Robins mendefinisikan Ekonomi, "ilmu yang mempelajari perilaku manusia sebagai hubungan antara tujuan dan sarana langka yang memiliki kegunaan alternatif," menggambarkan "keserakahan" manusia terhadap kepuasan material dalam jumlah besar (beberapa tujuan dengan kegunaan alternatif) yang akan dicapai dalam situasi sumber daya. yang sangat terbatas.
Rasionalitas dalam Islam kemudian tidak membatasi kesempatan untuk memaksimalkan kepentingan atau kebutuhan secara mutlak. Istilah "maksimisasi" masih bisa digunakan, hanya saja dibatasi oleh batasan etika dan moral Islam. Sehingga istilah "kepuasan" juga mengalami transformasi makna dari "kepuasan tak terbatas" menjadi falah, dalam arti luas, dunia dan akhirat. Falah di akhirat adalah tujuan akhir dari proses berkelanjutan di dunia.
Dalam hubungan tujuan-tujuan, jika dibandingkan dengan pandangan sekuler, materi sebagai representasi falah di dunia berfungsi sebagai sarana, untuk mencapai tujuan akhir, falah yang sebenarnya, di dunia berikutnya, sebagai mana firman Allah dalam Al-Quran (Al-Qosos: 77)
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.