Mohon tunggu...
Rachmatullah Rusli
Rachmatullah Rusli Mohon Tunggu... Dosen - dosen tetap di universitas Pamulang

Seorang dai kemanusiaan dan juga seorang dosen tetap di UNPAM. Aktifis di bidang sosial kemanusiaan serta aktif mengajak masyarakat untuk kembali kepada fitah kemanusiaan, dalam meraih kebahagiaan yang hakiki.

Selanjutnya

Tutup

Financial

Kartu Kredit Syariah dalam Pandangan Maslahah

21 November 2022   05:55 Diperbarui: 21 November 2022   07:33 672
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Pendahuluan

 Sejarah awal munculnya alat pembayaran adalah dengan sistem barter (tukar menukar), baik berupa barang barang maupun barang jasa atau sebaliknya. Namun demikian sejalan berjalannya waktu, system barter memiliki banyak kelemahan yaitu masih belum ada kepastian mengenai standar dalam barter, untuk itu perlu ditetapkan dan diperkirakan nilai tukar dengan membuat satuan nilai tukar yang disebut uang. Hingga saat ini uang masih menjadi salah satu alat pembayaran utama yang digunakan masyarakat, terutama transaksi dalam jumlah kecil. 

Namun berjalannya waktu saat ini penggunaan uang masih memiliki kendala dalam efisiensi waktu dan resiko membawa uang dalam jumlah besar. pembawa uang berisiko tinggi dari tindakan orang jahat, seperti pencurian, perampokan dan pemalsuan uang sehingga penggunaan uang tunai sebagai alat pembayaran mulai berkurang. Kini beralih ke system pembayaran non tunai. Diantaranya adalah kartu kredit.

Kartu kredit adalah alat pembayaran sebagai pengganti uang tunai yang dapat digunakan konsumen untuk ditukar dengan barang dan jasa di tempat yang menerima pembayaran dengan kartu kredit. Kartu kredit dinilai lebih efektif dan efisien dibandingkan alat pembayaran lainnya, sehingga lebih dikenal di masyarakat. 

Perkembangan pesat penggunaan kartu kredit disebabkan oleh semakin pentingnya penggunaan kartu kredit sebagai alat pembayaran dan pengambilan tunai mengingat kepraktisan, kenyamanan, dan keamanan yang diciptakannya. 

Seiring dengan perkembangan zaman, instrumen pembayaran terus berkembang dari berbasis tunai menjadi instrumen pembayaran berbasis non tunai, yaitu pembayaran yang dilakukan tanpa menggunakan uang tunai seperti cek, bilyet giro dan kartu debit atau kredit. Kartu kredit dapat diartikan sebagai transaksi modern dalam perekonomian yang tidak menggunakan uang tunai. Kartu kredit adalah alat pembayaran melalui jasa bank atau perusahaan pembiayaan dalam transaksi jual beli barang atau jasa, atau alat untuk menarik uang tunai dari bank dan perusahaan pembiayaan.(Sosiologi et al., 2020)

Bahan dan Metode Penelitian

Adapun metode penelitian ini adalah kajian pustaka atau studi kepustakaan yaitu berisi teori teori yang relevan dengan masalah – masalah penelitian. Adapun masalah pada penelitian ini adalah untuk mengetahui “ Seberapa kuat dorongan Maslahah dalam penggunaan kartu kredit Syariah”. Pada bagian ini dilakukan pengkajian mengenai konsep dan teori yang digunakan berdasarkan literatur yang tersedia, terutama dari artikel-artikel yang dipublikasikan dalam berbagai jurnal ilmiah. 

Kajian pustaka berfungsi untuk membangun konsep atau teori yang menjadi dasar studi dalam penelitian. Kajian pustaka atau studi pustaka merupakan kegiatan yang diwajibkan dalam penelitian, khususnya penelitian akademik yang tujuan utamanya adalah mengembangkan aspek teoritis maupun aspek manfaat praktis. Sehingga dengan menggunakan metode penelitian ini penulis dapat dengan mudah menyelesaikan masalah yang hendak diteliti.

Tinjauan Pustaka

Kartu kredit Syariah dan perkembangannya di Indonesia

Dalam artiket yang di terbitkan secara Resmi di Web BI (www.bi.go.id n.d.) ,  menjelaskan bahwa kartu kredit adalah APMK (alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu), yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi, termasuk transaksi pembelanjaan dan atau untuk melakukan penarikan tunai, dimana kewajiban pembayaran pemegang kartu dipenuhi terlebih dahulu oleh acquirer atau penerbit, dan pemegang kartu berkewajiban untuk melakukan pembayaran pada waktu yang disepakati baik dengan pelunasan secara sekaligus (charge card) ataupun dengan pembayaran secara angsuran. Penggunaan kartu kredit ini di atur dalam beberapa aturan di antaranya:

  • PBI No. 14/2/PBI/2012 tentang Perubahan atas PBI Nomor 11/1/1/PBI/2009 tentang Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu
  • PBI No.11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu
  • SE BI No. 14/17/DASP tentang Perubahan atas SE BI No 11/10/DASP perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu
  • SE BI No. 11/10/DASP perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu

Dalam perkembangannya kartu kredit juga mendapatkan sambutan dari Lembaga keuangan Syariah atau perbankan Syariah dengan di keluarkannya Fatwa DSN-MUI mengenai kartu kredit Syariah. FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL NO: 54/DSN-MUI/X/2006 Tentang SYARIAH CARD menambah amunisi bagi Lembaga keuangan Syariah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam penggunaan kartu kredit yang terbebas dari riba. Tetapi dalam pelaksanaanya penerbitan kartu kredit oleh bank Syariah tidak sepesat kartu kredit yang di keluarkan oleh bank konvensional. Seperti yang tergambar dalam table berikut;

Tabel 1.

Tabel Jumlah kartu kredit Syariah yang beredar di BNI Syariah

Tahun

Jumlah kartu

2009

10.700

2010

25.600

2011

31.100

2012

50.000

Sumber: www.bnisyariah.co.id. 2013

Bank syariah sebagai bagian dari industri perbankan belum banyak menanggapi penawaran produk kartu kredit ini. Hingga 2016, baru satu bank syariah dari 22 bank yang menerbitkan kartu kredit syariah, yaitu Bank BNI Syariah.  Sebagai satu-satunya bank syariah yang menerbitkan kartu kredit Mengutip data dari penelitian yang di lakukan oleh Aprillia Russetyowati dalam jurnal yang berjudul “Peningkatan Minat Penggunaan Kartu Kredit Syariah melalui Pendekatan Kepercayaan, Sikap, dan Pendapatan”

Jumlah kartu kredit syariah yang diterbitkan BNI Syariah mengalami peningkatan dari setiap periodenya. Berdasarkan sumber Antaranews.com (2013) di akhir tahun 2012, penerbitan kartu kredit syariah mencapai 50.000 kartu. Pada pertengahan Juni 2013 meningkat lagi menjadi 92.000 kartu, melebihi target 90.000 kartu. Kontan.co.id (2013) menyebutkan hingga Agustus lalu, nasabah BNI Hasanah Card telah mencapai 119.732 orang.. 

Padahal, peningkatan yang dialami Bank BNI Syariah tidak sebanding dengan peningkatan jumlah kartu kredit di bank BNI konvensional. Meski mengalami pertumbuhan, nyatanya peningkatan pertumbuhan kartu kredit syariah di BNI syariah tidak secepat yang dialami oleh perusahaan induknya yaitu Bank BNI konvensional. Kompas.com (2013) mencatat terdapat 1,8 juta kartu kredit di Bank BNI pada Maret 2013, tumbuh 28 persen dari Maret 2012.”

Ada banyak faktor yang melatar belakangi kurangnya masyarakat yang menggunakan fasilitas kartu kredit syariah. Beberapa sumber menyebutkan minimnya pengetahuan masyarakat tentang keberadaan kartu kredit syariah menjadi salah satu faktornya. Ini menjadi tantangan bagi bank syariah untuk mendorong masyarakat agar tertarik secara signifikan menggunakan fasilitas kartu kredit syariah.(Russetyowati, 2018)

Bagi penulisa minimnya bank Syariah mengeluarkan produk kartu kredit Syariah serta kecilnya pengguna kartu kredit Syariah di bandingkan kartu kredit konvensional sebagaimana di alami oleh BNI Syariah memiliki penyebab yang mendasar yaitu seberapa besar maslahah yang menjadi pendorong di gunakanya kartu kredit Syariah. Karena bagi seorang muslim maslahah adalah pertimbangan utama dalam bertransaksi ekonomi menurut Syariah.

Secara teoritis perbankan syariah memiliki keunggulan yang terletak pada sistem yang didasarkan pada prinsip bagi hasil dan bagi hasil dan bagi hasil. Sistem ini merupakan sistem yang dapat menjadi cara untuk menghindari penerimaan dan pembayaran riba / bunga. 

Konsep ekonomi Islam tidak berarti melarang perolehan keuntungan / keuntungan, tetapi melarang menagih bunga di alam. Hal ini dikarenakan bunga / riba merupakan keuntungan yang dihasilkan dari pembebanan salah satu pihak yang jumlahnya tidak pasti karena tidak tergantung dari hasil aktual yang diperoleh. Ilustrasi seperti itu sebenarnya memberikan peluang bagi perbankan syariah untuk berkembang dan berkembang. mengembangkan. jangkauan manajemen di masyarakat. 

Melalui berbagai macam produk perbankan syariah yang ditawarkan dan fasilitas kerjasama dengan berbagai pihak dalam meningkatkan keuntungan / keuntungan melalui pemasaran skala besar di masyarakat, tidak hanya menarik masyarakat muslim, tetapi juga masyarakat non muslim. menjadi pelanggan dan menggunakan berbagai macam penawaran. Produk perbankan syariah. Salah satu produk perbankan syariah yang paling berkembang adalah kartu kredit syariah yang lebih dikenal dengan produk kartu syariah.

 Salah satu alasan berkembangnya kartu kredit syariah di masyarakat adalah situasi dan kondisi masyarakat yang sedang bergerak menuju cashless society. Di era globalisasi saat ini, di mana teknologi telah menguntungkan untuk melakukan transaksi secepat mungkin, dunia perbankan syariah dituntut untuk melakukan hal tersebut bagi para nasabahnya. 

Oleh karena itu, kemunculan kartu syariah akan sangat dibutuhkan untuk memudahkan transaksi yang dilakukan dan juga sebagai jawaban atas pertanyaan yang meragukan keberadaan perbankan syariah dalam kegiatan ekonomi dan keuangan modern. 

Oleh karena itu, pada tahun 2007 Bank Indonesia (BI) mengeluarkan pengaturan berupa surat Bank Indonesia No.9 / 183 / DPbS / 2007 tentang Kartu Kredit Syariah. Peraturan ini menjadi dasar hukum bagi bank syariah untuk menerbitkan kartu kredit syariah. 

Dalam perkembangannya, pemerintah mengeluarkan peraturan melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.11 / 11 / PBI / 2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Berbasis Kartu yang kemudian diubah dengan PBI Nomor 14/2 / PBI / 2012, menyebabkan pengetatan bisnis kartu kredit. 

Sehingga banyak bank yang menarik peredaran kartu kreditnya karena tidak menghasilkan banyak keuntungan, termasuk yang terjadi pada peredaran kartu syariah di bank syariah seperti Bank Danamon yang pada tahun 2007 mengeluarkan kartu dirham harus ditarik peredarannya pada tahun 2013.

Pengertian maslahah dan urgensi maslahah

Maslahah dan maqashid al-Syari'ah dalam Islam adalah dua hal penting dalam pembentukan dan perkembangan hukum Islam. Maslahah secara sederhana diartikan sebagai sesuatu yang baik dan dapat diterima oleh akal sehat. Diterima dengan akal, artinya akal dapat dengan jelas mengetahui manfaatnya. Menurut Amir Syarifuddin ada 2 bentuk maslahah: (syarifudin 2008)

  • Mewujudkan manfaat, kebaikan dan kesenangan bagi manusia disebut jalbu al Manafi '(mendatangkan manfaat). Kebaikan dan kenikmatan dirasakan langsung oleh orang melakukan sesuatu yang diperintahkan, namun ada juga kebaikan dan kesenangan yang dirasakan setelah tindakan itu dilakukan, atau dirasakan sehari kemudian, atau bahkan keesokan harinya (akhirat). Semua perintah Allah swt berlaku untuk menghasilkan kebaikan dan manfaat.
  • Menghindari umat manusia dari kerusakan dan keburukan yang disebut dar'u al-Mafasid. Ada juga kerusakan dan keburukan yang langsung dirasakannya setelah melakukan perbuatan yang dilarang, ada juga yang merasakan kenikmatan ketika melakukan perbuatan yang dilarang tersebut, namun setelah itu yang dirasakannya adalah kerusakan dan keburukan. Misalnya: perzinahan dengan pelacur yang sakit atau minum minuman manis untuk penderita penyakit gula. Secara bahasa, maqashid al-syari'ah terdiri dari dua kata yaitu maqashid dan al syari'ah. Maqashid berarti niat atau tujuan, sedangkan al-syariah berarti jalan menuju sumber air, bisa juga dikatakan jalan menuju sumber utama kehidupan. Sedangkan menurut istilah tersebut, al-Syatibi menyatakan:

ھذه الشریعة ... وضعت لتحقیق مقاصد الشارع في قیام مصالحھم في الدین و الدنیا معا

Padahal, syariah ditujukan untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia di dunia ini dan di akhirat. (As-Syatibi n.d.)

Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa tujuan syariah menurut Imam al Syatibi adalah untuk kemaslahatan umat manusia. Berkaitan dengan hal tersebut beliau menyatakan bahwa tidak ada satupun dari hukum Allah SWT yang tidak ada tujuannya karena hukum yang tidak mempunyai tujuan sama dengan memaksakan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan. 

Manfaat, dalam hal ini adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan rezeki manusia, pemenuhan penghidupan. manusia, dan perolehan apa yang dibutuhkan kualitas emosional dan intelektual mereka, dalam arti absolut. yang merupakan kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia.(Kara, Al-syatibi and Dan, 2012)

Tuntutan kebutuhan manusia ini bertingkat-tingkat, menurut al-Syatibi ada 3 (tiga) kategori tingkat kebutuhan, yaitu: dharuriyat (kebutuhan primer), hajiyat (kebutuhan sekunder), dan tahsiniyah (kebutuhan tersier).

  • Dharuriyat, tingkat kebutuhan 'primer' adalah sesuatu yang harus ada bagi keberadaan manusia atau dengan kata lain kehidupan manusia yang tidak sempurna tanpa harus dipenuhi oleh manusia sebagai ciri atau kelengkapan hidup manusia, yaitu dalam hal pangkat: agama, jiwa, pikiran, harta benda, dan keturunan. . Kelima hal ini disebut al-dharuriyat al-khamsah (lima dharuriyat) . Lima dharuriyat adalah hal yang mutlak harus ada dalam diri manusia. Oleh karena itu Allah swt memerintahkan manusia untuk melakukan segala upaya demi keberadaan dan kesempurnaannya. Di sisi lain, Allah SWT melarang melakukan tindakan yang dapat menghilangkan atau mengurangi salah satu dari lima dharuriyat. Setiap tindakan yang dapat mewujudkan atau mengabadikan lima elemen esensial adalah baik, dan oleh karena itu harus dilakukan. Sedangkan segala perbuatan yang merusak atau mereduksi nilai kelima unsur pokok tersebut adalah tidak baik, oleh karena itu harus ditinggalkan. Semua itu mengandung manfaat bagi manusia.
  • Hajiyat, kebutuhan akan tingkatan “sekunder” bagi kehidupan manusia, yaitu sesuatu yang dibutuhkan bagi kehidupan manusia, tetapi tidak mencapai tingkatan Dharuri. Jika  kebutuhan itu tidak terpenuhi dalam kehidupan manusia, maka tidak akan meniadakan atau menghancurkan kehidupan itu sendiri. Namun keberadaannya diperlukan untuk memberikan kemudahan dan menghilangkan kesulitan dan kesulitan dalam kehidupan mukallaf.
  • Tahsiniyat, kebutuhan akan jenjang “tersier” adalah sesuatu yang harus ada untuk mempercantik kehidupan. Tanpa pemenuhan kebutuhan ini hidup tidak akan rusak dan tidak menimbulkan kesulitan. Adanya tingkat kebutuhan ini sebagai pelengkap dari dua tingkat kebutuhan sebelumnya yang melengkapi kehidupan mukallaf yang menitikberatkan pada persoalan etika dan estetika dalam kehidupan.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Paradigma Maslahah dalam Pemenuhan Kebutuhan Manusia 

Hakikat masalah ekonomi dalam perspektif ekonomi konvensional (kapitalis atau sosialis) adalah masalah kebutuhan manusia yang tidak terbatas sedangkan alat pemuas kebutuhannya terbatas atau langka (scarcity). Dalam kaitan ini, ilmu ekonomi konvensional menempatkan keinginan dan kebutuhan sebagai bentuk yang setara dan saling bergantung karena keinginan dan kebutuhan berasal dari tempat yang sama, yaitu naluri keinginan manusia. 

Islam menolak anggapan bahwa kebutuhan manusia tidak terbatas. Karena pada kebutuhan tertentu seperti makan dan minum pada saat perut sudah kenyang, maka ia terpuaskan karena kebutuhannya telah terpenuhi. 

Jadi kesimpulannya adalah bahwa kebutuhan manusia terbatas sebagaimana dijelaskan dalam konsep hukum utilitas marjinal yang semakin berkurang, bahwa semakin banyak barang yang dikonsumsi, pada titik tertentu akan menimbulkan kepuasan tambahan dari setiap penambahan jumlah barang yang dikonsumsi akan berkurang. Jadi ada celah pemikiran yang menciptakan kebingungan persepsi antara pengertian tentang kebutuhan dan keinginan.

Jika perilaku manusia bertumpu pada keinginan, maka masalah ekonomi tidak akan pernah terselesaikan karena hawa nafsu manusia selalu merasa tidak akan pernah terpuaskan. Dalam kerangka Islam, tidak semua keinginan manusia dijadikan sebagai kebutuhan. Hanya keinginan yang memiliki nilai maslahah di dunia ini dan di akhirat yang dapat dijadikan kebutuhan. Rasionalitas sebagai konsekuensinya menuntut pemaksimalan keinginan akan kepuasan material sebagai “nilai” yang harus dicapai.

 Dengan inilah seperangkat asumsi dalam ilmu ekonomi konvensional dibangun. Robins mendefinisikan Ekonomi, "ilmu yang mempelajari perilaku manusia sebagai hubungan antara tujuan dan sarana langka yang memiliki kegunaan alternatif," menggambarkan "keserakahan" manusia terhadap kepuasan material dalam jumlah besar (beberapa tujuan dengan kegunaan alternatif) yang akan dicapai dalam situasi sumber daya. yang sangat terbatas. 

Rasionalitas dalam Islam kemudian tidak membatasi kesempatan untuk memaksimalkan kepentingan atau kebutuhan secara mutlak. Istilah "maksimisasi" masih bisa digunakan, hanya saja dibatasi oleh batasan etika dan moral Islam. Sehingga istilah "kepuasan" juga mengalami transformasi makna dari "kepuasan tak terbatas" menjadi falah, dalam arti luas, dunia dan akhirat. Falah di akhirat adalah tujuan akhir dari proses berkelanjutan di dunia. 

Dalam hubungan tujuan-tujuan, jika dibandingkan dengan pandangan sekuler, materi sebagai representasi falah di dunia berfungsi sebagai sarana, untuk mencapai tujuan akhir, falah yang sebenarnya, di dunia berikutnya, sebagai mana firman Allah dalam Al-Quran (Al-Qosos: 77)

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.

Dengan demikian pengejaran sarana material di dunia dapat dimaksimalkan guna memaksimalkan penyelenggaraan ibadah kepada Allah secara lebih sempurna. Paradigma Maslahah dalam Kegiatan Ekonomi Islam menekankan pentingnya setiap individu memperhatikan dan mencapai kesejahteraan dalam hidupnya, dan al-Syatibi menggunakan istilah maslahah untuk menggambarkan tujuan syariah. Dengan kata lain, manusia selalu dituntut untuk mencari keuntungan. 

Kegiatan ekonomi produksi, konsumsi, dan pertukaran yang mencakup manfaat sebagaimana didefinisikan oleh syariah harus diikuti sebagai kewajiban agama untuk memperoleh kebaikan di dunia dan akhirat. 

Manfaat dalam kegiatan ekonomi mengandung arti bahwa kegiatan ekonomi yang dilakukan atas dasar maslahah akan membawa manfaat dan berkah. Dengan demikian, segala kegiatan ekonomi yang mengandung manfaat bagi umat manusia disebut kebutuhan. Kebutuhan inilah yang harus dipenuhi. (Amalia 2007) Pemenuhan kebutuhan adalah tujuan kegiatan ekonomi, dan pencarian tujuan ini adalah kewajiban agama.

Perbedaan mendasar dalam tujuan konsumsi dalam syariah

Pendekatan ekonomi konvensional yang berarti keinginan tidak terbatas dalam kaitannya dengan kelangkaan sumber daya alam yang menentukan permasalahan ekonomi manusia dapat menjelaskan perilaku ekonomi masyarakat kapitalis. namun secara meyakinkan gagal menjelaskan perilaku beberapa masyarakat dunia tradisional. 

Anggota masyarakat tradisional tidak merasa termotivasi untuk memaksimalkan kepuasan keinginannya dengan sumber daya alam yang tersedia bagi mereka, karena mereka telah mencukupi kebutuhannya dan tidak merasa berkewajiban untuk menjaga kepuasan keinginannya melebihi kebutuhan yang ditentukan. sendiri atau lingkungannya.

Tujuan utama konsumsi dalam ilmu ekonomi konvensional adalah utilitas, dimana konsumen diasumsikan selalu bertujuan untuk memperoleh kepuasan (utilitas) dalam kegiatan konsumsinya. Utilitas dalam bahasa berarti berguna (kegunaan), membentuk (menolong) atau menguntungkan (keuntungan) .

Ini didefinisikan sebagai konsep kepuasan konsumen atas barang dan jasa. Utility memiliki ciri “kebebasan” karena lahir dari epistemologi Adam Smith yang mengatakan bahwa motivasi hidup adalah “dari kebebasan menuju kebebasan alami” (dari kebebasan menuju kebebasan alami). Menurut analisis Muflih terdapat beberapa dalil kegunaan: (Muflih 2006)

Sebuah. Konsep utilitas membentuk persepsi kepuasan materialistik

  • Konsep utilitas mempengaruhi persepsi keinginan konsumen
  • Konsep utilitas mencerminkan peran kepentingan pribadi konsumen
  • Persepsi keinginan memiliki tujuan untuk mencapai kepuasan materialistik.
  • Kepentingan diri mempengaruhi persepsi konsumen tentang kepuasan materialistik.
  • Persepsi kepuasan menentukan keputusan konsumen (pilihan).

Konsep di atas menunjukkan bahwa persepsi kepuasan konsumen didasarkan pada kepuasan materialistik karena diukur dari jumlah barang dan jasa yang dikonsumsi. Di sisi lain, ilmu ekonomi konvensional menggambarkan utilitas sebagai sifat barang atau jasa untuk memuaskan keinginan manusia. 

Artinya setiap orang harus menentukan tingkat kepuasannya berdasarkan kriteria yang ia ciptakan sendiri. Dengan kata lain, kepuasan ditentukan secara subjektif. Kegiatan ekonomi untuk mendapatkan atau menghasilkan sesuatu didorong oleh utilitas ini. Jika sesuatu dapat memberikan kepuasan kepada seseorang, maka manusia akan berusaha untuk mendapatkan, memproduksi dan atau mengkonsumsi sesuatu.

Dalam perspektif ekonomi syariah, pembangunan utilitas diarahkan agar sifat atau kekuatan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia di dunia adalah maslahah.  Sebagaimana dikemukakan oleh al-Syatibi, kemanfaatan hanya dapat dicapai dengan mempertahankan lima unsur utama kehidupan, yaitu agama, jiwa, budi, keturunan, dan harta. Oleh karena itu, setiap pelaku ekonomi selalu ingin meningkatkan maslahah yang didapatnya. 

Beberapa barang atau jasa akan memiliki maslahah yang lebih besar dan yang lainnya memiliki maslahah yang lebih kecil, tergantung dari perhatian barang atau jasa tersebut dalam mempertimbangkan kelima unsur dasar kehidupan. Barang atau jasa yang memelihara kelima unsur tersebut akan memiliki maslahah yang lebih besar dari pada barang atau jasa yang hanya berfungsi sebagai hiasan untuk kelima unsur tersebut. Dengan demikian, konsep maslahah merupakan konsep obyektif terhadap perilaku konsumen karena ditentukan oleh tujuan (maqashid) syariah.

Perilaku Konsumtif dalam penggunaan kartu kredit

Persoalan yang ingin diangkat oleh penulis bukan sebatas pada boleh tidaknya kartu syariah dan apa saja batasan-batasan serta kendalanya, tetapi penulis ingin menarik masalah kartu syariah ini ke dalam perilaku konsumtif yang ditimbulkan dari kemudahan- kemudahan penggunaan kartu tersebut dalam bertransaksi dalam memenuhi kebutuhan konsumsi di masyarakat. 

Tawaran-tawaran melalui pemasaran yang dikemas secara apik dan menarik perhatian masyarakat, ditambah kerjasama produsen dan distributor barang dan jasa dengan bank penyedia produk berupa kartu syariah, dapat meningkatkan keinginan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya di luar batas kemampuan dan kebutuhan. 

Kemudahan akses ke bank dan transaksi secara non tunai secara cepat dan mudah akan berdampak pada keinginan mendapatkan barang dan jasa secara lebih mudah. Sedangkan dalam konsep ekonomi syariah, salah satu perilaku yang harus dipegang teguh dan dijalani sebagai Muslim yang meyakini sistem syariah sebagai panduan hidup dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, adalah berupa perilaku konsumen yang tidak boros/ tidak bersikap konsumtif. 

Sebab dengan perilaku konsumen yang konsumtif maka jumlah dana/simpanan masyarakat akan semakin minim diakibatkan pola pikir dan kepuasan masyarakat yang mendapatkan barang dan jasa yang ditawarkan, sementara dana/simpanan masyarakat merupakan salah satu sumber peningkatan kesejahteraan umat manusia sebagai modal usaha yang harus dijalani secara berkelanjutan tanpa putus. 

Maka dari itu, dengan dikeluarkannya kartu Syariah yang merupakan kartu untuk pembiayaan konsumer dalam perbankan syariah sebagai upaya mempermudah bertransaksi bagi masyarakat, dalam hal ini tidak perbedaan antara kartu kredit konvensional dan kartu kredit Syariah (Kristianti et al., 1999)

Penggunaan kartu kredit Syariah mendorong perilaku konsumtif masyarakat semakin meningkat, sementara laju pendapatan tidak mengalami peningkatan yang sama pesatnya. Penggunaan kartu kredit syariah (sharia card) pada dasarnya adalah alat pembayaran berupa kartu yang juga dikenal dalam kegiatan perbankan konvensional. 

Penggunaan kartu kredit ini tidak dapat dilepaskan dari bagaimana karakteristik masyarakat sebagai konsumen sehingga dapat menarik mereka melalui iklan-iklan yang hanya difokuskan pada hal yang positif saja dari kartu tersebut, misalnya berupa aspek keamanan dari menghindari membawa uang tunai dalam jumlah banyak, tetapi juga aspek prestise dan pemuasan keinginan akan ambisi memperoleh materi dengan cara pembayaran melalui kartu kredit Syariah.

Terbukti dari hasil penelitian penggunaan kartu kredit menyebutkan Arti gaya hidup menggunakan kartu kredit bagi masyarakat perkotaan sendiri adalah penggunaan kartu kredit yang dibarengi dengan konsumsi masyarakat perkotaan yang berlebihan khususnya di Surabaya. 

Motif komunitas penggunaan kartu kredit tidak hanya efektif dan efisien tetapi juga atas dasar gaya hidup dan status sosial. Motif penggunaan kartu kredit oleh masyarakat perkotaan berdasarkan pertimbangan pilihan rasional antara kepentingan, nilai dan sumber daya yang dimiliki pelanggan dalam menggunakan kartu kredit. 

Minat pelanggan untuk mendapatkan kartu tersebut Kredit dimulai ketika keinginan muncul untuk memiliki atau mengkonsumsi barang atau jasa yang bukan dicapai karena kondisi yang tidak memadai sehingga diupayakan untuk segera dipenuhi punya kartu kredit.(Sosiologi et al., 2020)

Dorongan untuk berperilaku konsumtif inilah yang menurut hemat penulis menjadi dasar ketiaadaan maslahah dalam penggunaan kartu kredit Syariah sehinga seorang muslim sebaiknya menghindari kartu kredit syariah karena akan terjebak pada prilaku konsumtif yang akan merugikan diri sendiri.

Kesimpulan

  • Maslahah dan maqashid al-Syari'ah dalam Islam adalah dua hal penting dalam pembentukan dan perkembangan hukum Islam. Maslahah secara sederhana diartikan sebagai sesuatu yang baik dan dapat diterima oleh akal sehat. Diterima dengan akal, artinya akal dapat dengan jelas mengetahui manfaatnya. bahwa tujuan syariah adalah untuk kemaslahatan umat manusia. Berkaitan dengan hal tersebut tidak ada tujuannya karena hukum yang tidak mempunyai tujuan, sama dengan memaksakan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan. Manfaat, dalam hal ini adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan rezeki manusia, pemenuhan penghidupan. manusia, dan perolehan apa yang dibutuhkan. kualitas emosional dan intelektual mereka, dalam arti absolut. yang merupakan kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia. bentuk maslahah:
  • Mewujudkan manfaat, kebaikan dan kesenangan bagi manusia disebut jalbu al Manafi (mendatangkan manfaat). Kebaikan dan kenikmatan dirasakan langsung oleh orang melakukan sesuatu yang diperintahkan, namun ada juga kebaikan dan kesenangan yang dirasakan setelah tindakan itu dilakukan, atau dirasakan sehari kemudian, atau bahkan keesokan harinya (akhirat). Semua perintah Allah swt berlaku untuk menghasilkan kebaikan dan manfaat.
  • Menghindari umat manusia dari kerusakan dan keburukan yang disebut dar'u al-Mafasid. Ada juga kerusakan dan keburukan yang langsung dirasakannya setelah melakukan perbuatan yang dilarang, ada juga yang merasakan kenikmatan ketika melakukan perbuatan yang dilarang tersebut, namun setelah itu yang dirasakannya adalah kerusakan dan keburukan. Misalnya: perzinahan dengan pelacur yang sakit atau minum minuman manis untuk penderita penyakit gula. Secara bahasa, maqashid al-syari'ah terdiri dari dua kata yaitu maqashid dan al syari'ah. Maqashid berarti niat atau tujuan, sedangkan al-syariah berarti jalan menuju sumber air, bisa juga dikatakan jalan menuju sumber utama kehidupan
  • Tujuan utama konsumsi dalam ilmu ekonomi konvensional adalah utilitas, dimana konsumen diasumsikan selalu bertujuan untuk memperoleh kepuasan (utilitas) dalam kegiatan konsumsinya. Artinya setiap orang harus menentukan tingkat kepuasannya berdasarkan kriteria yang ia ciptakan sendiri
  • Penggunaan kartu kredit Syariah mendorong perilaku konsumtif masyarakat semakin meningkat, sementara laju pendapatan tidak mengalami peningkatan yang sama pesatnya. Dalam penggunaan kartu kredit ada aspek lain yang lebih dominan ketimbang maslahah yang menjadi dasar ukuran melainkan aspek prestise dan pemuasan keinginan untuk memperoleh materi dengan cara pembayaran melalui cicilan dengan kartu kredit Syariah.
  • Terbukti dari hasil penelitian Jurnal sosiologi dialektika yang berjudul “Gaya hidup penggunaan kartu kredit masyarakat urban di Surabaya”. Motif masyarakat perkotaan dalam penggunaan katu kredit tidak hanya efektivitas dan efisiensi melainkan atas dasar gaya hidup dan penunjukkan status sosial. Kepentingan nasabah dalam mendapatkan kartu kredit dimulai ketika muncul hasrat untuk memiliki maupun mengonsumsi barang atau jasa yang tidak tercapai karena kondisi yang kurang mencukupi sehingga berusaha agar segera terpenuhi dengan cara memiliki kartu kredit.

Daftar Pustaka

Kara, M., Al-syatibi, P. and Dan, M. (2012) ‘Pemikiran al-Syatibi tentang Maslahah dan implementasinya dalam pengembangan ekonomi syariah’, 2, pp. 173–184.

Kristianti, D. S. et al. (1999) ‘Kartu kredit syariah dan perilaku konsumtif masyarakat’, pp. 287–296.

Russetyowati, A. (2018) ‘Journal of Finance and Islamic Banking’, 1(1), pp. 39–54.

Sosiologi, D. et al. (2020) ‘Gaya hidup penggunaan kartu kredit masyarakat urban di Surabaya Lifestyle and the use of credit cards among urban people in Surabaya’, (Baudrillard 2004), pp. 72–78.

Amalia, Euis. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: Granada Pres, 2007.

As-Syatibi. Al-Muwafaqot fi Ushul al-Syariyah. Kairo: Musthofa Muhammad, n.d.

Muflih, Muhammad. Perilaku konsumen dalam perspektif Ekonomi Islam. Jakarta: Raja Grafindo persada, 2006.

syarifudin, Amir. Usul Fiqih. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.

www.bi.go.id. n.d.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun