Mohon tunggu...
Rahmad Alam
Rahmad Alam Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa psikologi UST, suka menulis dan rebahan.

Seorang mahasiswa fakultas psikologi universitas sarjanawiyata tamansiswa yogyakarta yang punya prinsip bahwa pemikiran harus disebarkan kepada orang lain dan tidak boleh disimpan sendiri walaupun pemikiran itu goblok dan naif sekalipun.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Resensi Buku: Akar Kekerasan Karya Erich Fromm

21 Agustus 2022   20:57 Diperbarui: 21 Agustus 2022   20:58 2133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


*Judul Buku: Akar Kekerasan, Analisis Sosio-Psikologis atas Watak Manusia
*Penerbit: Pustaka Pelajar
*Penulis: Erich Fromm
*Penerjemah: Imam Muttaqin
*ISBN: 979-9289-25-4
*Jumlah Halaman: xxxvii, 724
*Harga: Rp.76.600

Buku ini berjudul lengkap Akar Kekerasan: Analisis Sosio-psikologis Atas Watak Manusia, adalah sebuah karya dari Erich Fromm yang dalam judul asli bahasa inggrisnya berjudul The Anatomy of Human Destructiveness. 

Buku terbitan aslinya telah terbit pada tahun 1973 dan telah diterjemahkan dan dicetak ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 2000.


Erich Fromm adalah seorang psikolog sosial yang terkenal akan banyak karyanya seperti Escape from Freedom, Man for Himself, Marx's Concept of Human, dan masih banyak lagi. 

Fromm sangat terkenal akan konsepnya yang bercorak marxisme dan teori psikologinya yang bermazhab psikoanalisis. 

Pemikirannya membawa perubahan besar dalam psikoanalisis dan psikologi modern terkhusus pada bidang sosial yang membuatnya dianggap sebagai filsuf sosial.


Dalam buku ini Fromm membahas secara terperinci tentang akar dari kekerasan sehingga diawal kita akan diberi pertanyaan bagaimana kekerasan berasal dan diakhir buku kita dapat mendapat kesimpulan dari pertanyaan kita diawal. 

Sebelum masuk ke pembahasan tentang kekerasan atau agresi ini Fromm menegaskan bahwa agresi yang akan menjadi topik bahasan adalah agresi jahat yang sifatnya destruktif dan bukan agresi "lunak" yang bersifat defensif.


Fromm membagi tiga bagian dalam buku ini dimana bagian pertama menjelaskan sumber-sumber dan teori-teori yang berkaitan denga munculnya kekerasan yaitu instingtifisme lama, enviromentalis dan behaviorisme, dan juga psikoanalisis. 

Bagian kedua menjelaskan tentang bukti yang menentang teori instingtifisme melalui pendekatan neurofisiologi, etologi, palaentologi dan antropologi. 

Di bagian akhir buku ini dijelaskan berbagai ragam agresi mulai dari agresi lunak hingga agresi jahat seperti sado-masokisme dan nekrofilia, pada bagian akhir ini juga disertai studi kasus dari agresi jahat orang terkemuka seperti Joseph Stalin, Heinrich Himmler, dan tentu saja Adolf Hitler.

Instingtifme Lama, Behaviorisme, dan Psikoanalisis

Pada bab pertama buku ini dijelaskan bagaimana teori instingtifisme lama menjadi akar dari kekerasan. Dalam teori instingtif ini percaya bahwa kekerasan merupakan sebuah dorongan bawaan yang ada pada manusia. 

Teori dari Sigmud Freud dan Konrad Lorenz menyuguhkan suatu konsep yang menyerupai sebuah sistem hidrolik dimana semakin tinggi konsenterasi dorongan maka semakin besar kemungkinan kekerasan akan muncul.


Kekurangan dari teori ini adalah Freud tidak hanya kurang data empiris namun juga merancukan analisanya dengan mencampurkan dorongan-dorongan agresi terhadap salah satu dari dua insting nya (insting hidup dan insting mati) yang seharusnya bukan dari keduanya.

 Sedangkan dari teori Lorenz adalah kesalahan dalam mengkategorikan agresi lunak dan jahat menjadi satu macam agresi dan juga menyamakan antara agresi hewan untuk bertahan hidup dengan agresi manusia yang destruktif.


Pada bab 2 kita dijelaskan bagaimana teori behaviorisme dan enviromentalisme membentuk perilaku agresi. Teori ini bergantung pada faktor eksternal atau lingkungan dalam membentuk perilaku. 

Dalam bab ini teori dari B.F. Skinner dipakai untuk menggambarkan bagaimana behaviorisme itu terkhusus pembentukan perilaku agresi.


Teori behaviorisme dari skinner memang memuaskan keilmiahan dari eksperimen tentang perilaku namun terdapat beberapa bantahan dari Fromm terkait hal ini. 

Bantahan pertama, konsep behaviorisme hanya melihat dari sudut laboratorium saja tanpa melihat berbagai faktor nilai-nilai sosial yang ikut membantu dalam pembentukan perilaku.

 Lalu yang kedua, teori behavioris hanya tertuju kepada perilaku namun tidak pada pelaku sehingga mengabaikan karakter yang bermacam-macam dari setiap orang.


Bab 3 Fromm menjelaskan bagaimana perbedaan orientasi antara dua teori yang bersebrangan sebelumnya yaitu instingtifiseme yang mengandalkan faktor internal dan behaviorisme yang mengandalkan faktor internal.

 Perselisihan antara keduanya mungkin didasari banyak faktor selain fanatisme mereka terhadap keilmuannya seperti konflik sosial-politik antar kapitalisme yang banyak dianut negara barat.


Dan pada bab 4 yang jadi akhir bagian pertama, Fromm menjelaskan bagaimana psikoanalisis yang telah diperbaharuinya imbang pada faktor eksternal (behavioris) maupun internal (instingtifis). 

Walaupun teori psikoanalisis ortodoks dari Freud masih mengandung kelemahan-kelemahan dari dua teori tersebut, Freud memberikan kunci bagi dorongan non-nurani dan interaksi dari luar yang membentuk karakter seseorang dan menghasilkan perilaku agresi. 

Teori psikoanalisis baru dari Adolf Meyer, Harry Stack Sullivan, Frieda Fromm-Reichmann, Theodore Lidz, dan R.D. Laing mengembangkan teori Freud ini menjadi lebih menjanjikan.

Bukti yang Menentang Tesis Instingtifis


Dalam bagian kedua buku ini, Fromm walau seorang psikoanalisis namun mempertegas bahwa kedestruktifan bukan berasal dari dorongan sejak manusia dilahirkan.

Dalam memperkuat pendapatnya tersebut,  Fromm mengemukakan bukti dari bidang neurofisologi, psikologi binatang, palaentologi, dan antropologi.


Pada bab 5 kita dijelaskan mengenai pendekatan neurofisologi. Walaupun masalah psikologi belum bisa dipecahkan secara menyeluruh melalui pendekatan neurofisiologi, namun dapat memberi petunjuk guna memahami agresi khususnya yang defensif. 

Bukti neurofiologi membuktikan bahwa ada wilayah pengaktif agresi di otak bernama Amigdala dan wilayah penonaktifnya bernama nuklei ventromedial di hipotalamus.


   Melalui pendekatan neurofisiologis, agresi yang berasal dari beberapa sistem otak tersebut berguna untuk defensif dan penyelamatan diri. Kondisi seperti "keberjejalan" dan rusak nya struktur sosial kelompok dapat memicu agresi.

 Juga kondisi terancam juga dapat membuat munculnya agresi. Sedangkan untuk agresi pemangsaan bagi karnivora sendiri berbeda dengan agresi defensif karena tujuannya jelas untuk pencarian makan dan termasuk agresi instrumental. 

Agresi manusia tidak dapat disandingkan dengan agresi pemangsa karena tujuannya tidak beralasan kecuali untuk membunuh dan menyiksa.


Lalu pada bab 6 kita dijelaskan bagaimana perilaku binatang khususnya agresifitasmya berbeda dengan agresifitas milik manusia. Agresi binatang dan juga terkadang manusia disebabkan oleh keterkekangan atau hal-hal yang membatasi hak mereka. 

Lalu penyebab lainnya yaitu keberjejalan yang jika di dunia manusia disebabkan kepadatan penduduk dan rusaknya struktur sosial. Hewan biasanya di alam bebasnya tidak terlalu agresif dibandingkan dengan habitat buatannya seperti kebun binatang.


Yang mungkin jelas terlihat perilaku agresif hewan di habitat aslinya disebabkan teritorialisme dan dominansi namun tidak seperti manusia, hewan tidak melakukan invasi secara terstruktur dan dominasi hanya dibuat untuk mengikat komunitas spesiesnya bukannya membunuh dan meyiksa anggotanya.

 Dan melalui banyak bukti observasi, J.P. Scott mengatakan bahwa mamalia memiliki faktor eksternal untuk memunculkan agresi dan bukannya dari faktor internal. 

Lalu bab ini ditutup dengan penjelasan bahwa sarana pencegahan kekerasan pada manusia khususnya pembunuhan ada pada ikatan perasaan.


  Dalam bab selanjutnya kita dijelaskan mengenai pendekatan palaentologi yang membuktikan apakah sebenarnya dorongan agresifitas adalah bawaan atau tidak. 

Manusia saat ini tidak memakai naluri kebinatangannya utntuk menentukan sesama spesiesnya melainkan menggunakan pikiran dan juga pembeda buatan seperti budaya, ras, agama, dan sosial yang menyebabkan mereka merasa asing bagi spesiesnya sendiri. 

Keterasingan tersebut membuat ikatan perasaan yang menjadi pencegah kekerasan menjadi hilang.


Bukti palaentologis berupa ditemukannya Australopithechus Africanus yang merupakan omnivora karena terkadang memangsa hewan kecil seperti reptil dan mamalia kecil membuat D. Freeman merasa yakin bahwa dorongan agresif berasal dari dorongan internal karena leluhur manusia yang pemangsa. 

Fromm tidak setuju akan hal ini dengan mengemukakan bahwa landasan karnivora sekalipun tidak membuktikan agresi merupakan bawaan karena itu merupakan dorongan instrumental pencarian makan.


 Pada bab 8 sekaligus bagian akhir untuk tesis yang menentang istingtifisme ini, kita dijelaskan melalui pendekatan antropologis mengenai agresi pada manusia. 

Bukti tersebut meliputi ditemukannnya sifat agresi yang minim antara pemburu primitif, lalu juga pada perang primitif melalui penelitian Q.Wright menyatakan bahwa manusia yang paling primitf adalah yang paling tidak suka berperang.

 Hal tersebut dikarenakan masyarakat primitif dan prasejarah tidak punya kepemilikan pribadi yang besar dan bekerja sama dengan komunitasnya.


Perang yang terorganisir baru dicapai ketika terjadi revolusi masyarakat pemburu dan pengumpul makanan menjadi masyarakat perkotaan. 

Fromm memang tidak menyajikan analisisnya secara statistik namun dia memberikan gambaran bahwa juga terdapat masyarakat primitif yang cinta damai. 

Melalui analisis tiga puluh suku primitif, Fromm mengkategorikannya menjadi tiga yakni, sistem A yang cinta kehidupan yang diwakilkan oleh suku Indian Zuni, sistem B yang non-destruktif tapi agrsif yang diwakilkan oleh suku Manu, dan terakhir sistem C yang penuh destruktifitas dan diwakilkan oleh suku Dobu.


Kekerasan seperti kanibalisme yang terkadang menjadi indikator dari tindak agresi sebetulnya jarang dilakukan dan dilakukan hanya pada ritual tertentu seperti bukti pada temuan tengkorak Neanderthal di Monte Circeo. 

Kendati bukan merupakan sebuah motivasi dari dalam diri manusia maka dorongan instingtifis mengenai agresi kedestruktifan dapat diragukan.

Ragam Agresi dan Kedestruktifan Beserta Kondisi-kondisinya

Bagian ketiga buku ini kita dijelaskan berbagai macam agresi beserta beberapa studi kasus mengenainya. Pada bab ke 9 kita akan dijelaskan berbagai agresi lunak yang bersifat defensif dan bawaan. Agresi tersebut tidak dmaksudkan untuk menyiksa atau membunuh namun hanya dipakai untuk pertahanan diri. 

Beberapa agresi lunak seperti agresi aksidental, agresi permainan, agresi penegasan diri, agresi kebebasan, agresi narsisme, dan agresi perlawanan.


Perbedaan antara agresi pertahanan antara manusia dan hewan adalah tentang banyaknya aspek yang harus dipertahankan bagi manusia seperti harta, budaya, agama, pemikiran, dan lainnya sehingga memperbanyak probabilitas agresi yang harus dilakukan. 

Syarat utama tidak terjadinya agresi defensif ini adalah bahwa individu maupun kelompok satu sama lain tidak dalam keadaan mengancam dan terancam.


Pada bab 10 akhirnya kita dapat mulai mendekati permasalahan inti yakni beberapa premis yang menyebabkan agresi jahat yang destruktif. Premis akan agresi jahat tersebut berasal dari penghambatan akan fitrah manusia yang bereksistensi melalui karakternya. 

Kebutuhan eksistensi tersebut seperti kebutuhan akan orientasi, berikatan dengan sesama dan lingkungannya, keberefekan kepada lingkungan, kegairahan dan yang lainnya.


Jika beberapa kebutuhan akan eksistensi ini dihambat seperti ditegaskan diawal maka akan terjadi agresi jahat yang dimulai dengan depresi kronis dan kejenuhan. Namun selain juga karena faktor luar, faktor karakter juga mengambil peran dalam pembentukan perilaku agresi ini.

 Pertumbuhan karakter yang tidak baik karena kondisi sosial yang mengekang kebutuhan karakter tadi dapat menjadi premis akan agresi yang jahat. 

Walaupun begitu sebetulnya insting manusia adalah alat rasional dalam mengarahkan manusia kepada pertumbuhannya yang paling baik dan hanya karena lingkungan yang tidak memadai membuat agresi jahat tersebut muncul.


Di bab ke 11 ini kita akan mengenali ragam sifat agresi jahat yang destruktif. Agresi ini bersifat nyata dan beralasan destruktif dan beberapa ragamnya seperti kedestuktifan kesumat atau pembalasan, kedestuktifan ekstase atau ketidaksadaran, dan juga upaya dalam pemujaan kedestuktifan. Dalam pemujaan kedestuktifan ini si pelaku agresi merasakan kepuasan ketika melakukan perilaku destruktif.


Studi klinis atas pemujaan kedestuktifan ini bisa kita lihat dari kasus Kern dan Von Salomon yang merupakan seorang revolusioner dan terlibat pembunuhan menteri luar negeri Jerman pada 1922. 

Lalu juga ada jenis agresi sadisme dan masokisme yang bentuknya bisa seksual dan non seksual. Contoh dari sadisme dan masokisme seksual dapat kita lihat dari novel karya Pauline Reage berjudul The Story of O yang menggambarkan tokoh O yang puas secara seksual akan kesakitan.

 Lalu jika kita melihat agresi sadisme-masokisme non-seksual dapat kita lihat dari pemerintahan Joseph Stalin yang kerap kali mempermainkan dan menguasai baik lawan politiknya maupun bawahan setianya.


 Sadisme-masokisme juga dapat dikaitkan dengan psikoanalisis Freud dimana sifat anal-penimbun dapat mendasari agresi ini. Salah satu studi kasus nyata akan hal ini adalah Heinrich Himmler si anjing polisi bagi Nazi dan pengikut setia Hitler. 

Salah satu ciri dari Himmler yang menandakan dia memiliki sifat anal-penimbun adalah sifatnya yang kelewat tertib, kepatuhannya, dari sifat sombongnya.


Di bab 12 kita akan dijelaskan salah satu sifat agresi lainnya yakni nekrofilia. Nekrofilia sendiri merupakan ketertarikan kepada kematian dan kerusakan, dan berbeda dengan sadisme-masokisme yang bertujuan menguasau, nekrofilia murni bertujuan meniadakan kehidupan atau membunuh.


Nekrofilia sendiri memiliki karakter menyukai segala sesuatu yang mati, membusuk, beraroma busuk, dan penyakit; serta perilakunya yang selalu ingin meniadakan sesuatu yang hidup.

 Nekrofilia sendiri dapat berupa perilaku seksual dan non-seksual sama seperti sadisme-masokisme. Perilaku ini berkaitan dengan kondisi oedipus complex yang terjadi pada masa kanak-kanak yang berkembang tidak baik. 

Juga Fromm mengkategorikan ini sebagai perilaku ringan atas autisme dan skizofernia yang tidak disadari.


Salah satu studi kasus yang ada adalah dari tokoh Adolf Hitler yang terangkum pada bab 13 buku ini. Dalam bab ini kita dijelaskan bagaimana masa lalu Hitler membuatnya menjadi seorang Nekrofilia yang non-seksual. 

Dari perlindungan yang berlebihan dari ibunya hingga sifat narsistik yang membuat dia ditolak masuk ke sekolah seni membuat dia menjadi sosok "monster" yang memusnahkan banyak jiwa pada Perang Dunia Kedua.


Jadi kesimpulan saya sendiri atas buku ini adalah Fromm ingin membuktikan bahwa perilaku agresif yang destruktif seperti sadisme-masokisme dan nekrofilia sebelumnya memiliki akar kemunculannya. 

Fromm juga membantah agresi atau kekerasan yang destruktif itu sebagai sifat bawaan karena hal tersebut akan membuat kita mewajarkan kedestruktifan tersebut dan pasif akan kekerasan yang ada disekitar kita.


Fromm memberikan harapan kita bahwa sebuah masyarakat dan sosial bisa merubah karakter seseorang menjadi destruktif jika ada beberapa faktor moral dan kemanusiaan yang direnggut oleh instansi pemerintahan. 

Pencegahan kepada beberapa orang yang destruktif untung memegang tampuk kekuasaan juga menjadi harapan agar kekerasan berskala besar seperti perang dan genosida tidak terjadi.


Kelebihan dari buku ini menurut saya pribadi ada pada penyajian data dan analisisnya yang dibangun oleh Erich Fromm. 

Penjabarannya juga lumayan banyak walau mungkin terlihat agak terlalu panjang jika dilihat dari tebal buku ini yang mencapai 720 halaman. Juga pembawaannya dirasa tidak terlalu berat apalagi jika pembaca seorang akademisi psikologi atau sosiologi.


Walaupun begitu beberapa kekurangan yang mungkin saya temukan dari segi teoritis mungkin terletak kepada kurangnya penjelasan kuantitatif yang bersifat statistik pada suku primitif yang tidak melakukan kekerasan sehingga tidak menjawab pertanyaan "apakah kebanyakan suku primitif tidak destuktif?". 

Dan kekurangan yang lain mungkin dari tebal buku ini yang membuat pembaca santai mundur, juga bahasa psikologi dan sosiologi dalam buku ini yang kadang tidak dipahami oleh masyarakat awam.


Jadi untuk kalian yang berkeinginan untuk membeli buku ini pastikan punya pemahaman dasar tentang psikologi atau sosiologi. 

Dan juga sangat dianjurkan bagi pembaca yang "kuat" membaca buku berhalaman-halaman terlebih buku ini termasuk buku saintis yang banyak data dan analisis disana-sini namun penjelasan naratifnya terhadap beberapa studi kasus membuat menghilangkan kejenuhan akan data dan analisanya, contohnya seperti latar belakang Hitler muda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun