Mohon tunggu...
Rahman Wahid
Rahman Wahid Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Menggapai cita dan melampauinya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Babad Ikhwan Mistis: The Last Man Standing of Ikhwan Mistis Proletar

4 Juli 2020   18:45 Diperbarui: 4 Juli 2020   18:40 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Pixabay/Free-Photos

Sudah hampir seminggu Dede tampak lusuh, tak bergairah, dan murung. Ia menjadi jarang terlihat pada beberapa perkumpulan KIMBERLI baik itu di kantin belakang kampus atau di selasar masjid. Dede menjadi lebih suka berdiam diri di dalam kelas, seolah bangku kuliah menempel rapat pada tubuhnya. Sikap diamnya bukan terlihat seperti tidak diajak untuk ikut pada perkumpulan, namun lebih tampak atas kehendaknya sendiri yang sampai kini alasannya belum diketahui.

Anggota KIMBERLI yang lain tentu saja menyadari kejanggalan pada sikap Dede belakangan ini, terutama oleh Izal yang kini cukup dekat dan sering bersama Dede. Ia pun cukup heran dengan Dede, tak biasanya ia begini kecuali ditinggal pergi oleh akhwat pujaan hatinya atau ditikung lagi oleh ikhwan lain. Kalau soal masalah kuliah sepengetahuan Izal tidak akan berdampak besar pada sikap murung Dede, bahkan masalah kuliah seringkali jadi pemicu semangat dan gairah Dede.

Izal terkadang kebingungan untuk menemani Dede pada saat seperti ini, ia tak banyak bicara, tatapannya kosong, dan lebih banyak menundukan kepalanya. Tepat pada jam istirahat, saat Izal hendak mengajak lagi Dede untuk makan siang di kantin belakang kampus ia tidak melihat tanda-tanda Dede di dalam kelas, Izal keheranan dan kemudian mencari di sekitar lorong kelas, hasilnya juga nihil. Izal lantas mencari dengan sekup yang lebih luas, ia ke perpustakaan, lab komputer, taman depan kampus, namun tetap tidak ada. Dalam keputusasaan, Izal akhirnya menuju kantin belakang kampus seorang diri, selain karena tidak ada Dede, juga tidak nampak anggota KIMBERLI yang lain.

Sesaat setelah Izal sampai di kantin belakang kampus ia berseru

"Dari mana aja De gua cariin dari tadi!"

Dede menengok perlahan "Ada Zal" dan kemudian menyeruput kopinya dengan khidmat sampai terdengar suara "Slurrrrrp"

Izal menepuk bahu Dede "Dari tadi De?"

"Lumayan"

"Oooh okelah, gua pesen susu dulu ya"

"Oke" Jawab Dede datar.

Sambil melihat pemandangan belakang kampusnya yang tidak begitu elok dipandang, keduanya tak banyak berbicara. Tepat seperti dugaan Izal, kondisi Dede masih belum seperti biasanya, ia masih bimbang dan kelihatan cukup resah. Tetapi, Izal tak juga ingin membiarkan temannya ini larut dalam kemurungan, Izal memberanikan diri bertanya

"Kenapa De ko belakangan ini lu murung, lagi ada masalah apa?"

Dede tak lantas menjawab, ia membuka roti yang sudah dibelinya dan kemudian melahapnya dengan pasti. Izal tak segera mengulang pertanyaannya, ia melihat Dede memakan rotinya dengan lemah, kunyahannya tidak kuat, seolah gigi gerahamnya tak lagi ada. Bahkan ketika makan pun mulutnya lebih sering terkatup. Kecurigaan Izal bahwa Dede sedang tidak baik-baik saja lewat kejadian ini seolah tak dapat dibantah lagi.

Ketika seluruh roti telah tandas dilahap Dede, Izal masih belum berani mengulang kembali pertanyaannya sampai Dede menyeruput kopinya sebagai tanda melowongkan tenggorokannya dari sisa makanan. Saat tangan Dede menggenggam cangkir kopi dan meminumnya, beberapa detik kemudian Izal kembali mengulang pertanyannya

 "Kenapa De ko belakangan ini lu murung, lagi ada masalah apa?" Tanya Izal pelan.

"Nggak ada apa-apa" Jawab Dede sambil tertunduk.

"Gua liat beberapa hari ini lu kaya murung gitu"

Raut wajah Dede menampakan ekspresi kurang nyaman, kemudian menjawab "Aman ko Zal, cuma masalah sepele, bisa gua tanganin"

Kata "aman" yang keluar dari mulut Dede cukup aneh dan membuat Izal bertanya-tanya dalam hati, apa makna aman yang dimaksud oleh Dede.

"Oh gitu De" Kata Izal "Tapi kalo ada apa-apa cerita aja De, barangkali gua bisa bantu"

Tak lama setelah susu yang dipesan Izal datang pada saat yang bersamaan pula ponselnya berdering

"Halo Zal, dimana?"

"Kantin Duls, kenapa?"

"Sini ke kelas depan, ada akhwat nangis!" Suara Duls terdengar lugas

"Asli, siapa?"

"Udah sini dulu aja buruan penting, Kode Delta 1423!"

"Oalah, siap meluncur"

Pada kondisi yang dilematis, saat susu hangatnya baru datang dan laporan dari Duls tentang akhwat, tentu saja Izal memprioritaskan akhwat. Ia memberitahukan pula laporan dari Duls kepada Dede, namun sambutannya tidak begitu antusias. Ia hanya menitipkan laporan dari Duls pada Izal. Kedaruratan memaksa Izal bertindak cepat, ia izin meninggalkan Dede di kantin, dan segera menemui TKP yang disebutkan oleh Duls.

Kondisi darurat masih belum bisa membuat Dede lepas dari keantusiasannya, bahkan ketika ada akhwat sedang dalam masalah. Ini jelas sangat jauh dengan kebiasaan Dede yang selalu gerak cepat kilat dan sekelebat dalam upaya pengamanan akhwat. Faktanya sekarang sangat berbanding terbalik, ia seolah mematung di kantin belakang kampus, ia kembali murung, melamun, dan tampak ringkih.

Hari-harinya muram, penuh beban dan lamunan. Tangannya menopang dagunya, menahan laju imajinasinya agar tak terganggu, namun pada saat itulah sebuah tepukan pada pundaknya cukup membuat Dede kembali pada dunia nyata. Terlepas dari lamunannya, Dede kemudian mencari tepukan siapa yang menganggu lamunannya. Ketika ia menoleh ke belakang, betapa cukup kagetnya ketika yang dilihatnya adalah Yai Izan.

Dede tidak berkata-kata kecuali tersenyum kepadanya. Yai Izan duduk di samping Dede, barulah kemudian Dede mulai berbicara

"Ngopi Yai" Seru Dede

"Udah abis"

"Lho, ko udah abis lagi"

"Saya kan dari tadi di sini"

Dede cukup keheranan "Lho sejak kapan?"

"Kurang lebih sepuluh menit sebelum kamu datang"

Dede makin tambah heran "Lah, ko saya nggak liat Yai sih?" Tanya Dede.

"Ah kamu saja terlalu yang terlalu fokus saya liat mah" Jawab Yai Izan dengan senyum teduhnya.

"Hehehe, begitulah Yai"

"Ngomong-ngomong tadi saya juga dengar sedikit perbincangan kamu dengan Izal, katanya kamu lagi ada masalah?"

"Sepele Yai hehehe biasa"

"Saya dengar juga soal akhwat yang ada masalah, tapi ko nggak ikut ke sana?"

"Agak males pak Yai"

"Tidak seperti biasanya ya, hal sepele tampaknya tidak akan sampai membuat kamu begitu, sangat tidak mungkin saya kira"

"Tidak terlalu sepele juga sih Yai"

Lewat pendekatan yang bijak dan tak dapat dijelaskan dengan pasti, namun sedikit demi sedikit Dede mulai mau menceritakan perihal kegundahan hatinya selama ini. Cerita yang sebenarnya tentang keresahan Dede kemudian mulai terungkap.

"Oh jadi begitu ya De yang jadi beban pikiranmu"

"Kurang lebih itu Yai, saya sebetulnya senang kalau Wahyu, Ical, dan kaum pro lainnya mulai bisa menemukan akhwat yang bisa menjadi pasangannya, tapi saya cukup khawatir perjuangan ini menjadi kekurangan amunisi"

"Sudah kah kamu lihat dampaknya menjadi begitu?"

"Tidak sih Yai" Jawab Dede ragu

"Nah, yang terpenting bahwa perjuangan masih berada dalam relnya, kita hanya perlu saling mendoakan agar semua perjuangan tetap berlanjut dan masing-masing dari kita diberi kemudahan dan kebahagiaan, bagaimana bentuknya, itu teserah yang kuasa, kita hanya perlu mensyukuri pemberiannya, dan untuk nikmat teman-teman seperjuangan, kita tentulah perlu pula bergembira atasnya. Oleh karena itu jangan merasa sendiri dan ditinggalkan, mereka tetap ada dan bersama bagaimanapun kondisinya, itulah makna perjuangan yang hakiki, tenang saja".

To be continued!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun