Di Indonesia, Imlek telah menjadi bagian penting dari kehidupan sosial masyarakat Tionghoa sejak kedatangan imigran Tionghoa pertama di Nusantara pada abad ke-13 hingga ke-16.
Perayaan ini berlangsung selama 15 hari, dimulai dengan malam Imlek dan diakhiri dengan Cap Go Meh (Lindawati & Yuwanto, 2024).
Tradisi ini mencakup berbagai ritual seperti makan malam bersama keluarga, sembahyang kepada leluhur, serta berbagai pertunjukan budaya seperti tarian liong dan barongsai
Selepas Reformasi 1998, Imlek kembali diperkenalkan sebagai hari libur nasional dan mendapat pengakuan sebagai bagian dari budaya Indonesia yang pluralistik.
Seiring dengan kebebasan berekspresi yang lebih terbuka, perayaan Imlek tidak hanya dirayakan oleh masyarakat Tionghoa, tetapi juga oleh masyarakat Indonesia secara umum yang ingin merasakan keunikan budaya Tionghoa.
Mitos Hujan dan Pandangan Ilmiah
Fenomena hujan yang sering terjadi saat perayaan Imlek telah menjadi bagian dari mitos yang diyakini oleh banyak orang.
Masyarakat percaya bahwa hujan pada saat Imlek merupakan simbol berkah dan kesuburan.
Penjelasan ilmiah menunjukkan bahwa periode awal tahun baru Cina bertepatan dengan perubahan musim dari dingin ke semi di belahan bumi utara, yang dapat menyebabkan peningkatan curah hujan.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh beberapa ahli etnografi dan budaya, hujan selama Imlek sering dipandang sebagai lambang "keberkahan".
Salah satu studi yang diterbitkan oleh jurnal Asian Culture and History (2015) mengungkapkan bahwa hujan yang turun di hari pertama Imlek dianggap sebagai pertanda positif yang berkaitan dengan kelimpahan dan kesejahteraan.