Masyarakat Tionghoa percaya bahwa hujan yang datang pada saat yang tepat dapat membersihkan segala dosa dan memberi kesempatan untuk memulai lembaran baru dengan penuh harapan.
Secara ilmiah, fenomena hujan yang sering terjadi saat Imlek mungkin disebabkan oleh perubahan cuaca yang terjadi seiring berjalannya musim.
Di Indonesia, musim hujan biasanya berlangsung dari bulan November hingga Maret, yang bertepatan dengan perayaan Imlek.
Oleh karena itu, fenomena hujan ini bukan hanya sekadar mitos, tetapi juga dipengaruhi oleh siklus alam yang sudah ada jauh sebelum kepercayaan tersebut muncul.
Namun, pandangan masyarakat Tionghoa di Indonesia tidak hanya melihat hujan dari sudut pandang ilmiah. Mereka sering mengaitkan hujan dengan "ong" atau rezeki yang datang melimpah.
Hujan yang turun dianggap menyuburkan bumi, yang simbolisnya diartikan sebagai penyuburan keberuntungan, kesehatan, dan kebahagiaan bagi keluarga dan komunitas.
Imlek dalam Konteks Sosial dan Budaya Indonesia
Imlek di Indonesia tidak hanya dirayakan dengan upacara adat seperti sembahyang keluarga, namun juga menjadi ajang interaksi sosial antar masyarakat.
Beberapa elemen budaya Tionghoa yang lekat dalam perayaan ini, seperti pemberian angpao (amplop merah berisi uang), liong, dan makan bersama, telah menjadi bagian dari warisan budaya Indonesia.
Perayaan ini juga dimaknai sebagai waktu untuk berbagi kebahagiaan, mempererat ikatan sosial, dan merayakan nilai-nilai kekeluargaan.
Hujan yang datang bersamaan dengan perayaan ini, dengan demikian, juga dapat dilihat sebagai metafora bagi keharmonisan dan keseimbangan yang diinginkan dalam masyarakat Indonesia yang multikultural.