Mohon tunggu...
Tino Rahardian
Tino Rahardian Mohon Tunggu... Jurnalis - Pegiat Sosial⎮Penulis⎮Peneliti

Masa muda aktif menggulingkan pemerintahan kapitalis-militeristik orde baru Soeharto. Bahagia sbg suami dgn tiga anak. Lulusan Terbaik Cumlaude Magister Adm. Publik Universitas Nasional. Secangkir kopi dan mendaki gunung. Fav quote: Jika takdir menghendakimu kalah, berikanlah dia perlawanan yang terbaik [William McFee].

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perayaan Imlek dan Mitos Hujan yang Menyertainya

28 Januari 2025   18:02 Diperbarui: 28 Januari 2025   18:02 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Syifa/Suarapemerintah.id

Walaupun hujan pada hari pertama Imlek dapat dijelaskan secara ilmiah sebagai bagian dari siklus musiman, dalam budaya Tionghoa, ia tetap memiliki makna yang mendalam sebagai simbol keberkahan, pertumbuhan, dan harapan.

Sampai saya menulis artikel ini, Kota Depok, tempat saya tinggal masih diguyur hujan sejak pagi tadi.

Perayaan Imlek di Indonesia adalah perpaduan antara tradisi budaya dan kepercayaan akan mitos-mitos tertentu, seperti fenomena hujan.

Hujan yang sering menyertai perayaan ini tidak hanya dilihat sebagai faktor cuaca tetapi juga sebagai simbol harapan dan keberuntungan bagi masyarakat Tionghoa.

Perayaan Tahun Baru Imlek, yang dikenal luas di Indonesia ditandai hiasan warna merah, kue keranjang, jeruk mandarin, kembang api, barongsai dan pertunjukan liong, bukan hanya sekadar sebuah pesta tahunan bagi masyarakat Tionghoa.

Lebih dari itu, Imlek mengandung serangkaian tradisi dan kepercayaan yang telah berkembang dalam berbagai dimensi budaya, baik dalam konteks lokal maupun global.

Di Indonesia, selain menjadi ajang silaturahmi, perayaan Imlek juga dilengkapi dengan mitos dan simbolisme yang menarik, salah satunya adalah kepercayaan tentang datangnya hujan pada saat Imlek.

Sejarah dan Perkembangannya di Indonesia

Imlek, telah ada sejak zaman Dinasti Xia. Dirayakan setiap tanggal 1 bulan pertama dalam kalender lunar Tionghoa, yang biasanya jatuh antara akhir Januari hingga Februari.

Dalam sejarahnya, perayaan ini bermula dari tradisi masyarakat Tionghoa kuno untuk menyambut tahun baru berdasarkan perhitungan bulan dan matahari.

Di Indonesia, Imlek telah menjadi bagian penting dari kehidupan sosial masyarakat Tionghoa sejak kedatangan imigran Tionghoa pertama di Nusantara pada abad ke-13 hingga ke-16.

Perayaan ini berlangsung selama 15 hari, dimulai dengan malam Imlek dan diakhiri dengan Cap Go Meh (Lindawati & Yuwanto, 2024).

Tradisi ini mencakup berbagai ritual seperti makan malam bersama keluarga, sembahyang kepada leluhur, serta berbagai pertunjukan budaya seperti tarian liong dan barongsai

Selepas Reformasi 1998, Imlek kembali diperkenalkan sebagai hari libur nasional dan mendapat pengakuan sebagai bagian dari budaya Indonesia yang pluralistik.

Seiring dengan kebebasan berekspresi yang lebih terbuka, perayaan Imlek tidak hanya dirayakan oleh masyarakat Tionghoa, tetapi juga oleh masyarakat Indonesia secara umum yang ingin merasakan keunikan budaya Tionghoa.

Mitos Hujan dan Pandangan Ilmiah

Fenomena hujan yang sering terjadi saat perayaan Imlek telah menjadi bagian dari mitos yang diyakini oleh banyak orang.

Masyarakat percaya bahwa hujan pada saat Imlek merupakan simbol berkah dan kesuburan.

Penjelasan ilmiah menunjukkan bahwa periode awal tahun baru Cina bertepatan dengan perubahan musim dari dingin ke semi di belahan bumi utara, yang dapat menyebabkan peningkatan curah hujan.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh beberapa ahli etnografi dan budaya, hujan selama Imlek sering dipandang sebagai lambang "keberkahan".

Salah satu studi yang diterbitkan oleh jurnal Asian Culture and History (2015) mengungkapkan bahwa hujan yang turun di hari pertama Imlek dianggap sebagai pertanda positif yang berkaitan dengan kelimpahan dan kesejahteraan.

Masyarakat Tionghoa percaya bahwa hujan yang datang pada saat yang tepat dapat membersihkan segala dosa dan memberi kesempatan untuk memulai lembaran baru dengan penuh harapan.

Secara ilmiah, fenomena hujan yang sering terjadi saat Imlek mungkin disebabkan oleh perubahan cuaca yang terjadi seiring berjalannya musim.

Di Indonesia, musim hujan biasanya berlangsung dari bulan November hingga Maret, yang bertepatan dengan perayaan Imlek.

Oleh karena itu, fenomena hujan ini bukan hanya sekadar mitos, tetapi juga dipengaruhi oleh siklus alam yang sudah ada jauh sebelum kepercayaan tersebut muncul.

Namun, pandangan masyarakat Tionghoa di Indonesia tidak hanya melihat hujan dari sudut pandang ilmiah. Mereka sering mengaitkan hujan dengan "ong" atau rezeki yang datang melimpah.

Hujan yang turun dianggap menyuburkan bumi, yang simbolisnya diartikan sebagai penyuburan keberuntungan, kesehatan, dan kebahagiaan bagi keluarga dan komunitas.

Imlek dalam Konteks Sosial dan Budaya Indonesia

Imlek di Indonesia tidak hanya dirayakan dengan upacara adat seperti sembahyang keluarga, namun juga menjadi ajang interaksi sosial antar masyarakat.

Beberapa elemen budaya Tionghoa yang lekat dalam perayaan ini, seperti pemberian angpao (amplop merah berisi uang), liong, dan makan bersama, telah menjadi bagian dari warisan budaya Indonesia.

Perayaan ini juga dimaknai sebagai waktu untuk berbagi kebahagiaan, mempererat ikatan sosial, dan merayakan nilai-nilai kekeluargaan.

Hujan yang datang bersamaan dengan perayaan ini, dengan demikian, juga dapat dilihat sebagai metafora bagi keharmonisan dan keseimbangan yang diinginkan dalam masyarakat Indonesia yang multikultural.

Masyarakat yang beragam ini, meskipun memiliki latar belakang yang berbeda, dapat merayakan hari besar ini bersama-sama, merasakan semangat kebersamaan, dan menyambut tahun baru dengan doa dan harapan yang baik.

Mitos hujan yang datang bersama Imlek menggambarkan bagaimana masyarakat Tionghoa di Indonesia mengaitkan fenomena alam dengan kehidupan sosial dan spiritual mereka.

Melalui perayaan ini, masyarakat Indonesia menunjukkan kedalaman budaya yang melampaui batas etnis dan agama, sekaligus menghargai pentingnya keberagaman.

Dengan cara ini, Imlek menjadi lebih dari sekadar perayaan Tahun Baru; ia menjadi momen untuk memperkuat ikatan sosial dan merayakan keberagaman yang menjadi inti dari kekuatan budaya Indonesia.

Bagimana dengan daerah kamu, apakah hari ini hujan?

Referensi:

Lindawati, Amelia., & Listyo Yuwanto. 2024. Mitos tradisi Imlek ditinjau dari teori kebutuhan Maslow. Santhet: Jurnal Sejarah, Pendidikan, dan Humaniora. Vol. 8, No. 2, hal. 2469-2476. DOI: 10.36526/js.v3i2.4632.

Daulay, Arifah Mufaradiba., & Apriliani Lase. 2023. Dinamika akulturasi budaya Tionghoa Kota Medan: Studi kasus perayaan tahun baru Imlek di Kota Medan. JIPSI (JURNAL ILMIAH PARIWISATA IMELDA). Vol. 1 No. 2 (Juli),hal. 1-8.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun