Jika kita berjalan melewati pasar tradisional atau pasar desa, hampir bisa dipastikan kita akan menemui toko emas yang bersaing dengan kios-kios sayur, pakaian, atau makanan.
Meskipun pasar ini dikenal dengan kesan sederhana, toko emas selalu memiliki tempat khusus, seperti sebuah pusat daya tarik yang mengundang perhatian.
Namun, apa yang mendasari fenomena ini? Mengapa toko emas selalu hadir di hampir setiap pasar tradisional, bahkan di desa-desa yang jauh dari hiruk-pikuk kota besar? Apakah ini berkaitan dengan mitologi tertentu?
Jawabannya, ternyata, tidak sesederhana hanya soal angka permintaan-penawaran atau keuntungan bisnis semata. Fenomena toko emas di pasar tradisional mengandung berbagai lapisan sosial, budaya, dan ekonomi yang saling berhubungan.
Semakin penasaran? Untuk memahaminya, mari kita telusuri lebih dalam.
Awal Mula
Memang agak sulit menelusuri awal mula keberadaan toko emas di dalam pasar tradisional. Kurangnya sumber-sumber tertulis menjadi kerumitan tersendiri. Namun, untuk menambah wawasan dapat dijelaskan sebagai berikut.
Sejarah perdagangan emas di kawasan Coyudan, Solo, dimulai sekitar tahun 1930-an. Pada masa itu, kawasan ini menjadi pusat perdagangan emas yang ramai dengan berbagai toko perhiasan (Saputri, 2012).
Toko Emas Gadjah, salah satu yang terkenal, didirikan pada tahun 1934 oleh seorang pedagang emas keturunan Tionghoa bernama Lan Kiem Tjiang.
Sejak tahun 1960-an, banyak pedagang kaki lima mulai muncul di Coyudan.Â
Mereka umumnya berasal dari Banjarmasin dan membuka lapak di depan toko-toko besar karena tingginya permintaan akan emas dan kurangnya lapangan pekerjaan.
Di Kampung Ketandan, Yogyakarta, perubahan signifikan terjadi menjelang tahun 1950-an ketika hampir 90% penduduk beralih dari usaha jamu dan sembako ke bisnis toko emas (Detik.com, 26/10/2023).
Pendatang dari Banjar memainkan peran penting dalam memulai bisnis ini karena mereka melihat potensi keuntungan yang besar dari perdagangan emas.
Ketandan dikenal sebagai kawasan pecinan yang kaya akan budaya Tionghoa. Keberadaan toko emas di sini tidak hanya mencerminkan aspek ekonomi tetapi juga warisan budaya yang kuat.
Sejarah awal mula munculnya toko emas di pasar tradisional Indonesia sangat dipengaruhi oleh kedatangan berbagai etnis serta perkembangan ekonomi lokal.Â
Dari Coyudan yang menjadi pusat perdagangan emas sejak tahun 1930-an hingga Kampung Ketandan yang bertransformasi menjadi kawasan toko emas pada tahun 1950-an, masing-masing daerah memiliki cerita unik yang mencerminkan dinamika sosial dan ekonomi masyarakat setempat.
Emas sebagai Simbol Nilai Ekonomi
Emas telah lama dikenal sebagai simbol kekayaan dan stabilitas. Sejak zaman dahulu, emas digunakan sebagai alat tukar dan penyimpan nilai.
Bahkan di dunia modern sekalipun, meskipun ada berbagai instrumen investasi lainnya, emas tetap dianggap sebagai aset yang relatif aman.
Di pasar tradisional dan pasar desa, emas berfungsi lebih dari sekadar perhiasan. Dalam banyak kasus, toko emas adalah tempat di mana masyarakat menyimpan kekayaan mereka.
Ini berkaitan dengan prinsip dasar ekonomi yang mengedepankan nilai tukar yang stabil.
Di tempat di mana infrastruktur perbankan atau lembaga keuangan masih terbatas, emas menjadi alternatif yang lebih mudah diakses untuk menyimpan kekayaan atau sebagai alat transaksi.
Emas tidak hanya berfungsi sebagai benda materi, tetapi juga memiliki nilai sosial yang besar. Dalam teori modal sosial yang dikembangkan oleh Pierre Bourdieu, kita bisa melihat bagaimana kekayaan yang disimpan dalam bentuk emas dapat meningkatkan status sosial seseorang.
Di pasar tradisional, memiliki emas adalah simbol keberhasilan dan status yang diakui oleh masyarakat sekitar.
Emas menjadi alat untuk menunjukkan kedudukan sosial dalam sebuah komunitas yang sangat bergantung pada pengakuan sosial dan hubungan antarpersonal.
Peran Emas dalam Ekonomi Desa
Toko emas di pasar desa bukan hanya menjual perhiasan, tetapi juga berfungsi sebagai pusat ekonomi mikro.
Masyarakat desa yang mayoritas memiliki pendapatan terbatas sering kali menyimpan sebagian besar kekayaan mereka dalam bentuk emas, yang bisa dijual atau digadaikan ketika membutuhkan uang tunai.
Proses ini, yang dikenal sebagai perekonomian informal, seringkali menjadi jaring pengaman bagi mereka yang tidak memiliki akses mudah ke pinjaman formal atau fasilitas perbankan.
Sebagai contoh, seorang petani atau pedagang kecil yang memiliki perhiasan emas akan merasa lebih aman karena ia tahu bahwa emas tersebut dapat dijadikan sebagai sumber dana dalam keadaan darurat.
Fenomena ini diperkuat oleh teori ekonomi domestik yang menyatakan bahwa keputusan-keputusan ekonomi dalam rumah tangga sering dipengaruhi oleh kebutuhan praktis dan jangka pendek, yang seringkali mengabaikan instrumen investasi yang lebih kompleks.
Budaya dan Tradisi: Emas sebagai Bagian dari Kehidupan Sehari-hari
Namun, alasan mengapa toko emas selalu ada di pasar tradisional juga tidak bisa dipisahkan dari konteks budaya dan tradisi yang mendalam.
Di banyak kebudayaan di Indonesia, emas memiliki nilai simbolik yang kuat. Sebagai contoh, dalam banyak upacara pernikahan, emas bukan hanya berfungsi sebagai hadiah, tetapi juga sebagai simbol kesuburan, kesejahteraan, dan keberlanjutan hubungan.
Oleh karena itu, keberadaan toko emas menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sosial dan budaya masyarakat.
Jika kita membaca teori kebudayaan material, maka ini dapat digunakan untuk menjelaskan hubungan tersebut.
Kebudayaan material, berupa objek barang-barang memiliki 4 peran penting yaitu sebagai penanda nilai, penanda identitas, jaringan kekuasaan, dan wadah mitos.
Teori kebudayaan material berpendapat bahwa barang-barang materi, termasuk emas, tidak hanya berfungsi sebagai alat tukar atau pemenuhan kebutuhan fisik, tetapi juga mencerminkan struktur sosial yang ada dalam masyarakat.
Dalam hal ini, toko emas di pasar tradisional bukan hanya sekadar tempat jual beli, tetapi juga mencerminkan dinamika sosial dan budaya masyarakat tersebut.
Peran Psikologis: Rasa Aman dan Kepercayaan
Di pasar tradisional, toko emas sering kali menjadi lebih dari sekadar tempat perdagangan. Bagi sebagian orang, bertransaksi di toko emas juga memberikan rasa aman dan kepercayaan diri.
Dalam masyarakat yang belum sepenuhnya terintegrasi dengan sistem keuangan modern, toko emas sering kali menjadi tempat yang dapat diandalkan untuk menjaga nilai kekayaan.
Proses ini juga didorong oleh teori kepercayaan sosial yang menyatakan bahwa kepercayaan dalam hubungan sosial dan transaksi ekonomi sangat penting.
Toko emas yang sudah lama beroperasi dan dikenal memiliki reputasi yang baik sering kali menjadi tempat yang dipilih karena adanya rasa kepercayaan dari masyarakat terhadap transaksi yang dilakukan.
Toko Emas: Ekonomi Simbolik dalam Kehidupan Sehari-hari
Lebih jauh lagi, toko emas di pasar tradisional juga bisa dilihat sebagai manifestasi dari ekonomi simbolik. Toko emas sering kali menjadi tempat di mana nilai-nilai ekonomi dan sosial bertemu.
Emas, sebagai barang yang memiliki nilai intrinsik dan simbolik, memberikan peluang bagi masyarakat untuk bertransaksi dalam konteks yang lebih luas, yang melibatkan pertukaran bukan hanya materi, tetapi juga pengakuan sosial dan identitas.
Dalam masyarakat desa, di mana banyak transaksi ekonomi dilakukan secara langsung dan tanpa perantara formal, emas memberikan ruang bagi pertukaran yang lebih fleksibel.
Di sinilah letak peran toko emas sebagai "pusat sosial" yang memiliki nilai lebih dari sekadar keuntungan finansial.
Mereka yang bertransaksi di toko emas bukan hanya berurusan dengan barang, tetapi juga dengan kepercayaan, hubungan sosial, dan identitas mereka.
Penutup
Secara keseluruhan, keberadaan toko emas di pasar tradisional, baik di kota maupun desa adalah refleksi dari berbagai faktor yang saling terkait.
Emas berfungsi sebagai alat penyimpan kekayaan, simbol status sosial, dan jaring pengaman ekonomi.
Toko emas menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat desa.
Tidak hanya memenuhi kebutuhan ekonomi praktis, toko emas juga menciptakan ruang bagi masyarakat untuk mempertahankan nilai-nilai budaya, serta membangun dan memperkuat jaringan sosial yang ada.
Dengan demikian, toko emas di pasar tradisional bukan sekadar soal bisnis. Ia adalah bagian dari sistem sosial dan ekonomi yang lebih besar, yang menghubungkan kebutuhan materi dengan simbolisme budaya, kepercayaan sosial, dan dinamika perubahan yang terus bergerak.*
Referensi:
Saputri, Novita Wisma. 2012. Dinamika komunitas Cina pedagang emas kawasan Coyudan Surakarta tahun 1985-1995. Skripsi. Fakultas Sastra dan Seni Rupa. Universitas Sebelas Maret (UNS). https://digilib.uns.ac.id/dokumen/detail/26431/Dinamika-Komunitas-Cina-Pedagang-Emas-Kawasan-Coyudan-Surakarta-Tahun-1985-1995
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI