"Presidential threshold 20 persen, menurut kami, adalah lelucon politik yang menipu rakyat Indonesia."Â
Itulah pernyataan tegas Prabowo Subianto, 8 tahun yang lalu, usai bertemu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di kediaman SBY, Puri Cikeas, Bogor, Jawa Barat, Kamis (27/7/2017) malam (Kompas.com, 2017).
Sikap politik Prabowo yang konsisten tersebut akan membawa pemahaman kita bahwa keputusan MK menghapus ambang batas pencalonan presiden memang sudah tepat.
Jejak sejarah penerapan ambang batas ini dapat kita lacak dengan menengok ke belakang saat Megawati menjabat sebagai Presiden RI ke-5.
Di bawah pemerintahan Megawati Soekarno Putri (2001-2004) untuk pertama kalinya sistem Presidential Threshold (PT) diperkenalkan melalui UU No. 23/2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Dalam pasal 5 ayat (4), dinyatakan bahwa pasangan calon presiden hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh minimal 15% kursi DPR atau 20% dari suara sah nasional dalam pemilu legislatif.
Berkenan dengan ketentuan presidential threshold diatas, apabila merujuk ke belakang, UU Pilpres tahun 2003 tersebut, adalah usulan inisiatif Pemerintah (Soselisa, 2024).
Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk memperkuat sistem presidensial dan mengurangi fragmentasi politik.
Fraksi-fraksi di DPR menolak. Diantaranya F-PDU, F-PBB, dan F-Reformasi. Umar Anggorojene dari LIPI bahkan secara tegas menyatakan bahwa syarat presidential threshold 20% tidak masuk akal.
Singkat cerita, karena maraknya penolakan atas pasal 5 ayat (4) UU No. 23/2003, maka sistem presidential threshold ditunda pemberlakuannya hingga Pilpres 2009.
Menjelang Pemilu 2009, ambang batas ini diubah melalui UU No. 42/2008. Pasal 9 menetapkan bahwa pasangan calon harus diusulkan oleh partai politik yang memiliki setidaknya 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional.
Selanjutnya, UU No. 7/2017 kembali mengatur ketentuan ini dengan merujuk pada hasil pemilu legislatif sebelumnya, menjadikan PT sebagai salah satu syarat untuk mencalonkan presiden.
Presiden silih berganti. Dari Megawati, SBY, hingga Jokowi. Sistem presidential threshold tetap berlaku. Sampai pada akhirnya, di era Presiden Prabowo, tepatnya 2 Januari 2025, PT 20% secara resmi ditiadakan alias tidak berlaku.
Amar Putusan MK
Agar semakin jelas, berikut adalah amar keputusan Mahkamah Konstitusi:
1. Penghapusan Pasal 222: MK menyatakan bahwa Pasal 222 yang menetapkan syarat minimal 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional sebagai syarat untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden adalah inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Keputusan ini diambil dalam perkara nomor 62/PUU-XXII/2024.
2. Pemberian Hak Konstitusional: MK menegaskan bahwa pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik adalah hak konstitusional. Oleh karena itu, tidak seharusnya dibatasi oleh ambang batas yang ditentukan berdasarkan hasil pemilu sebelumnya.
3. Rekomendasi untuk Revisi UU: MK merekomendasikan kepada DPR dan pemerintah untuk melakukan revisi terhadap UU Pemilu dengan memperhatikan beberapa hal:
- Semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
- Pencalonan presiden dan wakil presiden tidak boleh didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah nasional.
- DPR dan pemerintah diperbolehkan untuk membuat aturan yang memungkinkan partai politik berkoalisi dalam pencalonan, asalkan tidak menyebabkan dominasi yang membatasi pilihan pemilih.
4. Sanksi bagi Partai Politik: MK juga menyarankan agar partai politik yang tidak mengusulkan pasangan calon dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu berikutnya.
Keputusan MK sudah sangat jelas dan terang benderang. Semangat keputusan ini adalah memperluas kesempatan bagi lebih banyak calon presiden dan wakil presiden dalam pemilu mendatang, serta mengurangi polarisasi politik yang mungkin terjadi akibat pembatasan yang ada sebelumnya.
Rekayasa Konstitusional
Wakil Ketua MK Saldi Isra menggunakan istilah "rekayasa konstitusional" untuk merujuk pada upaya melakukan perubahan atau revisi terhadap Undang-Undang Pemilu.
Istilah ini ramai diperbincangkan oleh netizen. Berikut adalah beberapa poin penting terkait pengertian dan konteks dari rekayasa konstitusional tersebut:
1. Definisi: Rekayasa konstitusional merujuk pada proses perumusan dan penyusunan undang-undang yang mempertimbangkan aspek-aspek konstitusi serta hak-hak politik warga negara, dengan tujuan menciptakan sistem pemilu yang lebih inklusif dan adil.
2. Tujuan: Tujuan dari rekayasa konstitusional ini adalah untuk memastikan bahwa semua partai politik peserta pemilu memiliki hak untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden tanpa dibatasi oleh ambang batas tertentu, sehingga memberikan lebih banyak pilihan kepada pemilih.
3. Prinsip Partisipasi: Dalam rekayasa konstitusional, penting untuk melibatkan partisipasi semua pihak, termasuk partai politik yang tidak memiliki kursi di DPR, agar proses penyusunan undang-undang mencerminkan kepentingan masyarakat secara luas.
4. Pedoman MK: MK memberikan pedoman bagi pembentuk undang-undang dalam melakukan rekayasa konstitusional, termasuk:
- Semua partai berhak mengajukan calon.
- Pengusulan tidak harus berdasarkan persentase kursi di DPR.
- Gabungan partai politik harus mencegah dominasi yang membatasi pilihan pemilih.
- Sanksi bagi partai yang tidak mengajukan calon.
- Mengutamakan partisipasi publik yang bermakna dalam proses revisi.
Rekayasa konstitusional menjadi langkah strategis untuk memperbaiki dan menyempurnakan sistem pemilihan umum di Indonesia agar lebih demokratis dan representatif.
Keputusan MK dan Implikasinya
Keputusan Mahkamah Konstitusi untuk menghapus PT 20% merupakan langkah penting menuju pembaruan sistem pemilihan umum di Indonesia yang lebih inklusif, partisipatif dan berkeadilan.
Dengan pencabutan ini, diharapkan akan ada lebih banyak kesempatan bagi partai-partai kecil untuk berpartisipasi dalam pemilihan presiden tahun 2029, yang dapat memperkaya dinamika demokrasi di tanah air.
Pencabutan ini juga mencerminkan perubahan dalam konfigurasi politik yang lebih inklusif, memungkinkan lebih banyak calon dari berbagai latar belakang untuk bersaing secara adil.
Namun, ada juga kekhawatiran bahwa penghapusan ini bisa menyebabkan "penggelembungan" jumlah calon presiden, yang mungkin mengaburkan kualitas kandidat yang diajukan.
Masyarakat mungkin akan dihadapkan pada banyak pilihan, tetapi tidak semua kandidat mungkin memenuhi standar kualitas yang diharapkan.
Masa Depan Partai Politik
Dengan keputusan ini, partai politik dituntut lebih fokus pada kaderisasi dan pengembangan sumber daya manusia. Tanpa batasan ambang, partai-partai kecil memiliki kesempatan lebih besar untuk berpartisipasi dalam kontestasi politik.
Ini dapat memicu inovasi dalam strategi kampanye dan program-program yang lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Namun, tantangan juga muncul bagi partai-partai besar yang selama ini diuntungkan oleh ambang batas. Kontestasi elektoral ke depan yang ditandai dengan banyaknya kandidat menuntut partai-partai besar lebih selektif lagi dalam menentukan calonnya.
Mereka harus bersiap menghadapi kompetisi yang lebih ketat dari partai-partai kecil dan independen. Ini memerlukan adaptasi strategi politik dan peningkatan kualitas calon yang mereka usung.
Tindakan yang Dapat Dilakukan oleh Partai Politik
1. Meningkatkan Kualitas Kader: Partai politik perlu fokus pada pengembangan kader berkualitas untuk memastikan bahwa mereka dapat bersaing secara efektif dalam pemilu mendatang.
2. Strategi Kampanye Inovatif: Mengingat akan ada banyak calon, partai harus merumuskan strategi kampanye yang kreatif untuk menarik perhatian pemilih.
3. Membangun Koalisi: Partai-partai kecil mungkin perlu membentuk koalisi untuk meningkatkan daya saing mereka melawan partai besar. Juga sebaliknya, partai besar membutuhkan koalisi untuk memastikan kemenangan dan menjaga stabilitas pasca-pemilu.
4. Mendengarkan Aspirasi Masyarakat: Dengan meningkatnya jumlah kandidat, penting bagi partai untuk mendengarkan aspirasi masyarakat agar program-program mereka relevan dan menarik bagi pemilih.
5. Memperkuat Basis Dukungan: Memperkuat jaringan basis dukungan lokal akan menjadi kunci dalam memenangkan hati pemilih di tingkat daerah.
6. Pemanfaatan Teknologi Informasi: Aspek ini menjadi begitu penting dan mendesak di tengah kemajuan teknologi yang sangat pesat. Partai yang tidak mampu beradaptasi dengan kemajuan teknologi, sudah dapat dipastikan akan ketinggalan zaman. Akhirnya, ditinggalkan pemilih, setidaknya anak-anak muda.
7. Penggalangan Dana Independen: Biaya politik, termasuk pilpres sangat tinggi. Mulai dari pendanaan saksi, kampanye akbar, alat peraga, pertemuan tatap muka, dan sebagainya. Partai politik dan capres dipaksa untuk memikirkan strategi penggalangan dana secara independen.
Era Presiden Prabowo ditandai dengan terbukanya ruang-ruang demokratik yang salah satunya ditandai dengan penghapusan PT 20%. Padahal tuntutan itu sudah lebih dari 30 kali digugat ke MK. Demi keberlanjutan, maka ruang demokratik ini harus dirawat bersama.
Keputusan MK untuk menghapus presidential threshold adalah langkah menuju demokrasi yang lebih inklusif di Indonesia. Meskipun memberikan peluang baru bagi banyak partai politik, tantangan tetap ada dalam hal kualitas kandidat dan strategi politik.
Partai-partai harus bersiap menghadapi dinamika baru ini dengan memfokuskan usaha pada pengembangan kader dan inovasi dalam kampanye untuk menarik pemilih menjelang pemilu 2029 mendatang.*
Referensi:
Soselisa, D.L., Pietersz, J.J., & Nendissa, R.H. (2024). Presidential Threshold Dalam Sistem Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia. PAMALI: Pattimura Magister Law Review, 4(1), 10 - 23.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H