Seumur-umur belum pernah dengar suara buaya secara langsung. Suaranya mirip lenguhan. Keras juga. Buaya yang bertarung itu sampai saling gigit dan terluka di kulitnya lor. Bayangin, padahal kulitnya keras, bisa keluar darah, berarti gigi-gigi buaya sungguh tajam.Â
Selain itu, siapa tahu bisa beruntung melihat telur-telur buaya atau bayi buaya yang baru saja menetas dari telurnya.
Sebagai edukasi kita bisa lebih dalam mengetahui habit hewan reptil yang masuk golongan buas ini. Â Belajar dari pawangnya tentang kebiasaan buaya dan cara menghindari bahaya yang ditimbulkannya.
Sebagai hiburan yang sensasional, cerita Pak Warsidi menyebutkan bahwa taman ini menyediakan atraksi buaya. Atraksi seru antara pawangnya dan buaya. Menyaksikan bagaimana pawang tidur di punggung buaya, atau kepala pawang masuk ke dalam mulut buaya.
Kondisi yang Butuh PerhatianÂ
Dulunya taman ini sempat ramai pengunjung. Namun seperti dituturkan Pak Warsidi, digerus  pandemi, tempat ini sepi. Sementara perawatan seperti biaya makan buaya mengandalkan tiket pengunjung. Maklum saja taman ini milik swasta. Â
Makanan buaya adalah ayam tiren. Namun saat ini tidak setiap hari buaya dikasih makan. Hanya tiap Selasa dan Jumat saja. Itu pun dengan jumlah terbatas. Di sisi lain, Â tidak ada pemeriksaan medis dokter hewan secara berkala.
Banyak buaya yang mati. Awalnya jumlah buaya di taman ini sekitar 500 ekor. Seiring waktu, jumlahnya menyusut. Sekarang tinggal 320 ekor buaya saja. Â
Pantesan, saat masuk aku mencium "bau-bau" bangkai getu. Ternyata memang ada buaya yang mati.
Tentu saja dengan kondisi darurat "SOS" demikian, berimbas kepada para petugasnya, seperti Pak Warsidi. Juga para pelaku usaha warung makan di taman.
Semoga saja ada langkah-langkah krusial dari pemiiknya atau siapapun yang peduli terhadap nasib ratusan buaya di taman ini, untuk menghidupkan dan membangkitkan kembali taman buaya ini.Â