Tinggi saung lebih tinggi dari tinggi badanku. Kuperkirakan sekitar 2 meteran lebih. Ada 7 buah anak tangga yang menghubungkan ke pintu rumah. Konon angka 7 melambangkan jumlah hari dalam sepekan.
Kepala harus menunduk saat melewati pintu. Jika tidak, bisa terantuk kusen pintu saung.
Bagian dalam, ruangan terbuka. Agak gelap. Remang-remang. Diterangi 1 lampu, yang terletak di atas. Sekilas terasa nuansa mistis. Â Nuansa khas bangunan tua di tanah air. Aku bayangin, merinding juga kalau menginap di sini.
Lantai saung beralas karpet, yang menutupi semua ruangan. Mungkin ini sebabnya, alas kaki harus dilepas, saat masuk ke dalam saung.
Ada tulisan peringatan larangan merokok di salah satu dinding kayu dalam rumah. Tentu saja, membahayakan, mengingat bangunan saung berbahan kayu berlantai karpet.
Secara keseluruhan, saung ini lekat dengan nuansa bangunan tua. Bentuk  rumah tradisional yang kental kisah bersejarah. Konon dipercaya merupakan bangunan tertua di Bekasi.
Mengulik dari beragam sumber, sejarah didirikannya Saung Ranggon bermula pada abad ke 16. Konon pendiri pertamanya adalah Pangeran Rangga, putra dari Pangeran Jayakarta, seorang tokoh pejuang Betawi pada masa penjajahan Belanda.
Sejarah itu nyambung dengan penuturan Ibu Sri. Menurut sejarah yang diketahuinya, Saung Ranggon ditemukan  kira-kira pada abad-16.  Namun kemudian terbengkalai, setelah para pendirinya wafat.  Ratusan tahun kemudian, sekitar tahun 1821 ditemukan kembali oleh Raden Abbas seorang pejuang Kerajaan Mataram. Lalu tempat itu ditinggali dan dirawat Raden Abbas. Berlanjut secara turun temurun hingga saat ini.
Nah Raden Abbas pula yang dianggap sebagai pemrakarsa nama Saung Ranggon yang dulunya disebut sebagai rumah tinggi.
Hebat ya, usia 500 tahun masih ada. Aku tidak tahu persis, apa Saung Ranggon pernah di cat  ya, namun yang jelas, saung  yang terbuat dari kayu ulin yang terkenal sebagai kayu besi yang awet itu, belum pernah diganti. Luar biasa ya.
Antara Historical dan Keramat